Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Into The Woods (2014)

Bukankah menarik melihat fakta bawa kebanyakan dongeng karya Grimm Brothers mengakibatkan hutan sebagai sumber bahaya yang begitu menyeramkan? Mungkinkah semua itu sejatinya berada di daerah yang sama? Into the Woods karya Rob Marshall yang merupakan pembiasaan pertunjukkan musikal Broadway ini mengusung wangsit tersebut. Makara dalam film ini kita akan menemui Cinderella, gadis berkerudung merah, Jack, hingga Rapunzel dimana kisah mereka semua bercampur, saling berafiliasi satu sama lain. Penghubung dari beberaa fairy tale tersebut ialah seorang pembuat roti (James Corden) dan istrinya (Emily Blunt). Mereka hidup senang dan saling mencintai, tapi tetap saja ketiadaan seorang anak membuat kehidupan mereka terasa tidak lengkap. Sampai suatu hari rumah mereka didatangi seorang penyihir (Mery Streep) yang mengaku telah mengutuk rumah sang pembuat roti sehingga sang istri tidak sanggup hamil. Kutukan itu diberikan akhir perbuatan ayah sang pembuat roti yang dulu mencuri benih kacang asing milik sang penyihir.

Untuk mencabut kutukan tersebut, sang pembuat roti harus mencari empat benda yang diminta oleh penyihir, yaitu sapi seputih susu, mantel merah darah, rambut kuning layaknya jagung, dan sepatu emas. Keempat benda itu harus didapat di tengah hutan dalam waktu tiga malam. Tentu saja kita tahu bahwa keempat benda tersebut merupakan kepunyaan keempat aksara fairy tale yang saya sebut di atas. Pada waktu bersamaan pula, semua aksara yang ada memasuki hutan dengan membawa tujuan mereka masing-masing. Mereka memasuki hutan sambil menyanyikan lagu Into the Woods yang amat menyenangkan untuk didengar. Opening film ini berhasil mencuri perhatian, membuat saya tersenyum dan duduk manis berkat suasana gembira, lucu dan kesan exciting yang berhasil dibangun. Dengan lagu yang anggun serta pembawaan menarik setiap aksara khususnya gadis berkerudung merah (Lilla Crawford) yang lucu, film ini berhasil dibuka dengan baik. Tapi sayang, seiring berjalannya waktu Into the Woods gagal menjadi sebuah sajian twisted fairy tale yang merupakan potensi besar film ini.
Meski menjadi usaha untuk men-twist kisah dongeng, tetap saja dasar alur film ini ialah dongeng yang membuat kisahnya mau tidak mau berjalan ibarat itu. Hal itu berujung hadirnya banyak "penggambangan" berupa tindakan/kejadian tanpa alasan jelas. Karena memang begitulah fairy tale yang bertutur dengan cara "yang penting terjadi" tanpa memperhatikan motivasi terstruktur. Itulah kenapa dongeng semakin ditinggalkan sampaumur ini alasannya orang-orang semakin punya cara berpikir kompleks dan logis. Tapi bukan itu saja permasalahan alur film ini. Begitu banyak dongeng dibaur menjadi satu pada ahirnya membuat segalanya terburu-buru, meski penulis naskah James Lapine sudah melaksanakan penyesuaian dengan cara menghilangkan beberapa subplot yang ada di pementasan Broadway-nya, ibarat kisah Sleeping Beauty dan Snow White. Cara lain yang dilakukan ialah dengan melewati momen ikonik tiap fairy tale supaya penonton tidak bosan alasannya lagi-lagi dijejali dengan kisah yang sudah ratusan kali mereka dengar. 

Into the Woods bertutur ihwal apa yang terjadi diluar petualangan Jack di rumah raksasa atau romansa Cinderella di istana. Masalahnya, adegan ikonik itu ialah bab paling menarik dalam tiap dongeng. Menghilangkan petualangan Jack, romansa Cinderella, atau usaha Rapunzel terperinci menghilangkan daya tarik mereka. Pada balasannya itu sanggup sedikit dimaklumi alasannya poin utama film ini gres hadir pada paruh kedua, disaat masing-masing aksara menyadari bahwa selesai happily ever after yang mereka sanggup tidak sebahagia itu. Paruh kedua menawarkan twist pada dongeng tiap karakter, suatu aspek yang seharusnya menarik gagal memenuhi potensinya. Meski tidak terlalu kuat, paruh pertama film ini masih menghibur alasannya memang sudah punya dasar dongeng kuat. Sedangkan paruh kedua disaat harus membuat dongeng yang benar-benar baru, filmnya terasa kehilangan arah, tidak tahu hendak melaksanakan apa. Hal itu membuat momen demi momen terasa hampa dan membosankan, termasuk nomor musikalnya yang tidak lagi menarik. Well, pada dasarnya memang keseluruhan lagu yang hadir disini tidak terlalu Istimewa kecuali pada adegan pembuka.
Kenapa musikalnya tidak terlalu berkesan walau para pemain sudah tampil maksimal dan lagu yang ada pun cukup yummy didengar? Jawabannya alasannya tidak adanya sisi emosi yang hadir. Film ini memang cukup menyenangkan, dan beberapa kali komedinya sanggup menghadirkan tawa, tapi secara emosi benar-benar kosong. Sangat disayangkan, alasannya potensi untuk menjadi sajian emosional yang kelam terperinci ada. Tapi pilihan untuk mengemasnya lebih ringan dan family-friendly melucuti segala potensi itu. Tidak sanggup dipungkiri ada beberapa momen dark, tragis, bahkan sadis, tapi benar-benar diminimalisir, berbeda dengan versi Broadway-nya. Alhasil film ini sedikit kehilangan esensinya sebagai twisted fairy tale. Into the Woods jadi satu lagi perwujudan wajah industri perfilman Hollywood yang tega melucuti esensi demi jangkauan penonton yang lebih luas. Setidaknya saya menyukai bagaimana film ini mengakibatkan hutan sebagai perlambang kehidupan. Ada jalur yang kita ikuti untuk melangkah disana, kita sanggup tersesat, pun sanggup kehilangan sesuatu bahkan seseorang. Kita sanggup merasa sendiri disana meski sejatinya kita tidak pernah selalu sendirian.

Akting para pemainnya memuaskan. Meryl Streep hadir dengan gestur yang luar biasa, cara bertutur, hingga verbal yang menghadirkan kesan kejam sekaligus lucu disaat bersamaan. Meski saya pastikan Best Supporting Actress tidak akan ia menangkan alasannya Oscar terperinci bakal lebih menentukan performa yang berfokus di emosi daripada gestur dan verbal eksternal macam ini. Emily Blunt turut mencuri perhatian khususnya ketika harus melucu dengan verbal dan gerak konyolnya itu. Chris Pine tidak jauh beda terlebih ketika ia menyanyikan Agony sambil membuka kancing baju. Aktirs cilik Lilla Crawford yang merupakan jebolan Broadway sendiri mengakibatkan gadis berkerudung merah sebagai sosok yang lucu disaat karakternya berpotensi jatuh menjadi menyebalkan. Johnny Depp? Well, kita sudah hingga pada kala dimana aksara absurd Depp tidak lagi menarik. Sayang, lagi-lagi semua aksara unik itu kehilangan daya tarik mereka di paruh kedua. Alur yang kehiangan arah membuat masing-masing aksara juga mengalami permasalahan serupa. Into the Woods adalah sajian yang cukup menghibur, tapi hanya itu.

Artikel Terkait

Ini Lho Into The Woods (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email