Friday, January 11, 2019

Ini Lho The Raid 2: Cecunguk (2014)

Ada dua film Indonesia yang paling saya tunggu tahun ini, yang pertama yaitu Killers  garapan Mo Brothers yang rilis awal Februari kemudian dan yang kedua yaitu The Raid 2: Berandal milik Gareth Evans. Kedua film tersebut tidak hanya sama-sama dibentuk oleh sutradara yang mumpuni tapi juga sama-sama menjadi official selection dalam Sundance Film Festival awal tahun ini. The Raid 2: Berandal merupakan sekuel yang sudah sangat dinanti menyusul kesuksesan The Raid baik di dalam maupun luar negeri dua tahun yang lalu. Uniknya, film ini awalnya akan dibentuk oleh Evans sesudah Merantau, bahkan sebuah teaser trailer sudah sempat dirilis. Namun alasannya faktor kesulitan dana, proyek Berandal pun ditunda dan Gareth Evans berpaling pada sebuah proyek yang berskala lebih kecil dan lebih murah, yaitu The Raid. Pasca kesuksesan besar The Raid yang menunjukkan standar gres dalam genre film action lewat kebrutalannya, tentu saja ekspektasi sangat tinggi membayangi sekuelnya. Menjanjikan sebuah tontonan dengan skala yang jauh lebih besar dibandingkan film pertama yang hanya berada dalam satu gedung, Berandal tidak hanya membawa kembali Iko Uwais sebagai Rama tapi juga mendapat suplemen suntikan nama-nama besar lain sebut saja Arifin Putra, Oka Antara, Tio Pakusadewo, Alex Abbad, Julie Estelle, hingga Yayan "Mad Dog" Ruhian yang juga kembali tapi memerankan huruf yang berbeda. Semua itu belum termasuk tiga pemeran Jepang, Ryuhei Matsuda, Kenichi Endo, serta Kazuki Kitamura.


Kisah dalam Berandal dimulai dua jam sesudah film pertamanya selesai, dimana Rama (Iko Uwais) yang masih penuh luka tanggapan pertarungan brutal yang gres ia jalani dipertemukan dengan Bunawar (Cok Simbara), kepala kepolisian bab anti-korupsi. Dari situlah Rama mendapat sebuah misi undercover untuk mendekati Uco (Arifin Putra), putera tunggal dari Bangun (Tio Pakusadewo) yang merupakan pucuk pimpinan dari segala kriminalitas di Jakarta. Selama ini Bangun menjalankan agresi kriminalnya dengan proteksi gembong krimina dari Jepang berjulukan Goto (Kenichi Endo). Misi itu dilakukan untuk mencari informasi wacana para politikus serta petinggi kepolisian yang terlibat korupsi dan mendapat sogokan dari para kriminal tersebut. Untuk menjalankan misinya tersebut, Rama harus mendekam di penjara untuk mengambil perhatian dan mendekati Uco secara belakang layar guna mendapat kepercayaannya supaya sanggup masuk lebih jauh kedalam bisnis dari Bangun. Tapi tentu saja misi tersebut tidak mudah, alasannya disisi lain ada juga gangguan dari Bejo (Alex Abbad), seorang gangster ambisius yang mempunyai banyak pembunuh berdarah cuek di sekitarnya. Bejo jugalah yang diawal film diperlihatkan membunuh Andi (Donny Alamsyah), abang Rama dan menciptakan Rama menyetujui misi itu guna sanggup menemukan Bejo.

Seperti yang dijanjikan, Berandal memang punya dongeng yang lebih kompleks daripada sekedar perjuangan melarikan diri dari sebuah gedung, skala yang jauh lebih besar, dan beberapa klarifikasi wacana beberapa nama misterius yang disebut pada penghujung film pertamanya menyerupai Reza dan Bunawar. Gareth Evans tahu benar apa yang harus dilakukan dalam sebuah sekuel. Sekuel yang baik memang harus berani menambah skala atau menyebarkan ceritanya dan bukan hanya mengulang formula yang ada di film sebelumnya. Untuk hal ini, Evans benar-benar mengerti bagaimana menciptakan sekuel yang punya skala jauh lebih besar tapi tidak asal besar menyerupai sekuel kebanyakan yang kesannya malah berujung kekecewaan. Dia memperbesar dan memperluas cakupan ceritanya, menciptakan ceritanya menjadi lebih kompleks, tapi tetap mempertahankan formula The Raid, yakni rentetan adegan agresi yang tersaji brutal dan terkoreografi dengan indah, Dalam Berandal akan ada banyak unsur dalam ceritanya mulai dari kisah gangster, pihak-pihak korup, perebutan kekuasaan, balas dendam, hingga konfik yang mengiringi sebuah misi undercover. Sekilas mungkin akan terlihat rumit apalagi melihat ada banyaknya huruf yang hadir, tapi bahu-membahu dongeng dalam Berandal tetaplah sangat sederhana. Bahkan bahu-membahu banyak konflik yang sanggup diperdalam namun hanya tampil secara dangkal, semisal konspirasi gangster dan kepolisian hingga hubungan antar-tokoh termasuk dilema yang biasa dihadapi polisi undercover dalam hal ini Rama dengan Uco yang selalu berada di dekatnya.
Banyak potensi dongeng yang tidak dieksplorasi dan terasa sebagai tempelan belaka. Kesan rumit muncul juga bukan alasannya kisahnya yang kompleks tapi lebih alasannya Gareth Evans memang kurang piawai dalam merangkai cerita. Tapi toh plot yang ada dalam film ini sudah menjadi pondasi yang cukup untuk menciptakan filmnya tidak terasa kosong. Lagipula siapa yang menyebabkan aspek dongeng sebagai alasan utama mereka menonton Berandal? Itu sama saja anda menonton film Jackass untuk mencari kualitas akting sekelas Oscar disana. Biarlah ceritanya tempelan, dan biarlah Gareth kurang piawai merangkum cerita, alasannya yang paling penting ia begitu hebat dalam menyajikan rangkaian adegan agresi brutal penuh kegilaan yang tiada henti. Darah dimana-mana, bunyi tulang retak dan badan dihantam, sayatan pisau yang menyakitkan, hantaman palu yang menciptakan ngilu, semuanya jadi sebuah hiburan luar biasa yang tersaji disini. Seperti yang sudah saya sebutkan pula, skala adegan aksinya pun lebih besar. Tidak hanya body count-nya bertambah, tapi juga jenis adegan aksinya lebih luas dengan set piece yang jauh lebih besar. Jika dalam trailer-nya kita sudah melihat adegan kendaraan beroda empat menabrak halte busway, dalam filmnya akan ada pula adegan car chase yang seru dan tidak hanya menjanjikan adegan kendaraan beroda empat saling tubruk dan saling kejar tapi juga adegan pertarungan dalam kendaraan beroda empat yang sempit. Yang paling penting takaran kebrutalannya ditingkatkan lagi. Yang jadi keunggulan The Raid maupun Berandal adalah setiap pukulan atau sayatan yang muncul tidak hanya sambil kemudian tapi sanggup meninggalkan rasa nyeri dan sakit bagi penontonnya.
Salah satu peningkatan signifikan film ini dibanding film pertamanya ada pada aspek visual. Baik itu dikala adegan pertempuran yang brutal maupun pada dikala tidak ada pertarungan, Berandal sering menghadirkan gambar-gambar indah. Sebagai pola salju yang muncul pada "penutup" kisah Prakoso, atau lampu-lampu neon dalam ruangan yang menciptakan saya merasa Gareth sedang keranjingan menonton film-filmnya Nicolas Winding Refn dikala menciptakan film ini. Sinematografi yang indah itu menciptakan film ini tidak hanya terasa brutal tapi juga sanggup begitu indah. Selain sinmeatografi indah, pergerakan kamera yang "ajaib" juga menciptakan banyak sekali adegannya terasa lebih epic dan menegangkan. Bukti kehebatan gerak kameranya tersaji misal dalam adegan pertarungan penjara yang banyak menampilkan long take ataupun adegan car chase yang mengambil setting di lokasi yang begitu sempit itu. Belum lagi iringan scoring baik yang sanggup memacu adrenaline hingga yang terasa menyayat garapan trio Fajar Yuskemal, Aria Prayogi dan Joseph Trapanese. 
Bicara soal kekerasan, banyak pihak yang menyampaikan The Raid maupun Berandal hanya menyajikan kekerasan tanpa tujuan, hanya style lebih tepatnya. Saya tidak setuju. Kebrutalannya substansial alasannya terjadi pada peperangan dunia hitam yang begitu kejam. Beberapa mungkin berlebihan tapi bagi saya banyak yang masuk akal. Tapi jikalau anda masih menyampaikan semuanya berlebihan mungkin anda perlu sesekali "menengok" dunia "bawah tanah" menyerupai yang hadir disini, dan anda akan sadar betapa kekerasan dunia konkret sudah hingga pada taraf yang tinggi. Tentu saja yang paling bertanggung jawab atas banyak sekali kebrutalannya yaitu karakter-karakter yang tersaji disini. Memang tidak ada lagi Mad Dog, tapi sebagai gantinya ada trio pembunuh gila milik Bejo, yaitu duo abang beradik sinting Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman) serta The Assassin (Cecep Arif Rahman). Saya sangat suka sosok Hammer Girl disini. Jika film pertama didominasi para laki-laki macho, sangat menyenangkan melihat huruf perempuan badass dalam film ini. Adegan yang pertama kali menunjukkan beliau beraksi dengan dua palunya juga benar-benar brutal dan gila. 

Lalu ada sosok The Assassin yang sanggup dibilang merupakan versi lebih "pendiam" dari Mad Dog. Biarpun lebih pendiam, sosoknya tetaplah mengerikan, apalgi dengan bersenjatakan dua buah Karambit (senjata tradisional Minangkabau). Pertarungannya dengan Rama di titik puncak juga tersaji dengan begitu seru, menegangkan serta tentunya penuh darah meski saya masih lebih menyukai pertarungan Rama dan Andi melawan Mad Dog. Yayan Ruhian sendiri kembali sebagai Prakoso yang meski kiprahnya tidaklah banyak tapi mempunyai subplot yang cukup menarik, bahkan diakhiri dalam salah satu adegan paling indah dalam film ini. Tapi villain yang mencuri perhatian tidak hanya mereka yang jago bela diri saja, alasannya Arifin Putra sebagai Uco yaitu jawaban atas impian saya atas sosok villain yang kompleks dan tidak terasa dua dimensi. Dengan akting yang bagus, Arifin Putra sukses menghadirkan sosok Uco yang mungkin tidak jago bela diri tapi tetap terasa brutal, bengis dan yang paling membuatnya menarik yaitu ambisinya yang luar biasa untuk menjadi sosok besar yang ditakuti. Bicara soa akting, mungkin Berandal tidak menghadirkan banyak akting-akting luar biasa, tapi masing-masing karakternya memuaskan. Banyak munculnya pemeran senior baik dengan tugas yang besar maupun hanya numpang lewat juga jadi faktor pendukung keberhasilan tersebut. Begitu pula dengan Iko Uwais yang sedikit mengalami peningkatan kualitas berakting. Sayangnya salah satu duduk perkara fatal yang juga muncul dalam The Raid kembali terasa, yaitu beberapa obrolan yang tidak terang terdengar, dan beberapa yaitu obrolan penting yang memberi klarifikasi wacana "apa" dan "siapa".

The Raid 2: Berandal adalah sebuah pola tepat sebuah sekuel serta definis yang tepat mengenai sekuel harus lebih besar. Lebih besar dalam segala hal, tapi diluar dugaan juga lebih indah. Berandal mungkin tidak setegang film pertamanya dan tidak hingga menciptakan saya sesak nafas. Masih ada beberapa ruang demi ceritanya yang cukup lebar untuk bernafas sambil bersiap menanti serbuan demi serbuan kebrutalan yang menanti di depan. Alurnya berjalan cukup lambat di beberapa bagian, dan memang durasinya sangat panjang, tapi tidak pernah terasa membosankan. Wajar saja jikalau tingkat ketegangan dan klaustrofobiknya menurun, alasannya film pertamanya yaitu sebuah action dengan wangi sruvival yang tentunya tidak pernah menginjak rem, sedangkan Berandal lebih banyak berfokus pada pengembangan dongeng dan karakternya yang cukup banyak sehingga mustahil bagi film ini untuk terus-terusan digeber dengan kecepatan tinggi alasannya sanggup jadi akan terasa terlalu dipaksakan. Kesenangan saya juga bertambah alasannya salah satu adegan paling keren dalam film ini diambil di sebuah benteng daerah wisata yang terletak di kota daerah asal saya. Pada akhirnya, The Raid 2: Berandal adalah sekuel yang tepat dengan taraf kegilaan serta kebrutalan yang ditas rata-rata. Sinting! 

Artikel Terkait

Ini Lho The Raid 2: Cecunguk (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email