Friday, January 11, 2019

Ini Lho The Selfish Giant (2013)

Pada tahun 2010 kemudian Clio Barnard sempat menciptakan film dokumenter berjudul The Arbor yang penyampaiannya terasa inovatif. Dalam film tersebut, Barnard menyajikan kisahnya bagaikan sebuah pertunjukkan diatas panggung, hanya saja kebanyakan set-nya berada di taman lengkap dengan sofa di tengahnya. Tapi meskipun unik saya langsung tidak terlalu menyukai dokumenter itu. Kali ini beliau kembali dengan sebuah drama berjudul The Selfish Giant yang terinspirasi dari kisah buatan Oscar Wilde dengan judul sama. Jika film sebelumnya dari Barnard berjudul The Arbor, kali ini tokoh utama dalam The Selfish Giant yang berjulukan Arbor. Diperankan oleh Conner Chapman, Arbor yaitu seorang bocah yang hidup di Bradford, Inggris. Dalam kesehariannya Arbor banyak tidak disukai oleh orang-orang termasuk sahabat bahkan guru di sekolahnya. Semua itu sebab gangguan psikologis yang ia miliki. Arbor tidak hanya hiperaktif, tapi juga gampang marah. Karena itulah beliau dijauhi sebab dianggap memperlihatkan banyak imbas buruk. 

Walaupun begitu, Arbor beruntung mempunyai seorang sahabat yang begitu sabar dan setia menemani Arbor dengan segala "keliaran" yang ia miliki. Sahabatnya itu berjulukan Swifty (Shaun Thomas). Sama menyerupai Arbor, kehidupan Swifty juga tidaklah bahagia. Sesungguhnya beliau yaitu anak yang sangat baik dan simpatik, tapi kondisi keluarganya yang miskin dan ayahnya yang "hobi" menjual barang-barang rumah untuk melunasi hutang menciptakan Swifty selalu dicela orang-orang di sekitarnya. Pada jadinya kedua bocah yang terbuang oleh sosialnya itupun selalu bersama-sama termasuk ketika mereka bekerja di sebuah daerah pengumpulan besi bekas milik Kitten (Sean Gilder). Mereka pun bersama-sama bekerja, mencari uang sembari bersenang-senang sebagai pengumpul besi bekas bahkan hingga mencuri kabel-kabel. Ya, begitulah kisah dari The Selfish Giant. Sebuah kisah ihwal dua anak insan yang sama-sama kesepian, sendiri dan terbuang. Keduanya pun saling mengisi satu sama lain. Karena itulah saya sangat sanggup memaklumi kenapa Swifty yang begitu baik masih terus betah berteman dengan Arbor yang menyebalkan dan begitu egois. Keduanya tidak hanya menemukan sosok sahabat biasa, tapi sahabat sejati yang akan selalu bersama. Ini yaitu studi karakter, bahkan studi hubungan yang sederhana tapi mendalam diantara keduanya.
Saat saya menyebut kata "sederhana" itu memang benar. The Selfish Giant punya kisah yang sangat sederhana dan berjalan begitu sederhana. Tidak ada konflik yang terlampau rumit, tidak ada pula letupan-letupan besar dalam lebih banyak didominasi durasinya. Ceritanya hanya seputar persahabatan dua orang bocah yang mengisi waktunya dengan mengumpulkan barang bekas sambil sesekali diselipi konflik dalam keluarga masing-masing. Kesederhanaan bertutur inilah yang justru menjadi kekuatan film ini. Semua yang terjadi terasa begitu nyata, begitu realistis. Saya pun dengan gampang sanggup untuk memaklumi segala konflik yang ada dan terbawa dalam kisah persahabatan antara Arbor dan Swifty. Kemudian kalau bicara ihwal sosok Arbor saya pun sempat mencicipi dilema dimana saya pada awalnya merasa susah untuk menyukai dirinya bahkan terasa benci. Bayangkan seorang bocah yang begitu egois, senang melontarkan umpatan dan penuh dengan kesinisan, niscaya hampir semua orang membencinya. Tapi disisi lain saya sangat ingin tidak membenci Arbor sebab saya memahami kenapa beliau sanggup berperilaku menyerupai itu. Dia punya kondisi psikis yng terganggu khususnya sebab keluarga dan lingkungan yang kurang kondusif.
Tapi mungkin inilah yang ingin diperlihatkan Clio Barnard dalam filmnya, dimana lingkungan masyarakat tidak seharusnya memperlihatkan cap pada seseorang dengan begitu mudahnya. Kita boleh saja merasa risih dan tersinggung dengan sikap orang-orang menyerupai Arbor, tapi sebelum memperlihatkan cap dan mengasingkan mereka, cobalah terlebih dahulu menengok latar belakangnya. Tanpa disadari justru sikap masyarakat yang menyerupai inilah yang menciptakan sosok menyerupai Arbor semakin menjadi dan tidak sanggup mendapat kemajuan dalam hidupnya. Tapi disamping itu, saya pun sanggup dibentuk bersimpati pada Arbor sebab di dalam hatinya terpancar kebaikan dan kepedulian menyerupai yang ia tunjukkan pada Swifty maupun sang ibu ketika mereka tengah mendapat masalah. Arbor dan Swifty memang sebuah hubungan mutualisme, dimana hanya mereka yang sanggup mengerti satu sama lain. Swifty selalu setia bersama Arbor dan sebaliknya Arbor pun tahu bagaimana caranya menciptakan Swifty senang dengan cara yang mugkin tidak akan diduga dan digunakan oleh orang lain termauk orang renta Swifty sekalipun. Hal ini sanggup terasa maksimal sebab akting luar biasa dari kedua pemeran utamanya. Dua pemeran cilik yang begitu luar biasa.

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, The Selfish Giant berjalan sederhana tanpa ada banyak letupan besar bahkan punya tempo yang cukup lambat. Tapi semuanya berubah ketika sebuah kejutan luar biasa yang terasa tragis terjadi pada penghujung filmnya. Sebuah kejutan yang tiba-tiba dan disusul dengan adegan sunyi yang seolah menggambarkan perasaan penontonnya termasuk saya yang niscaya akan melongo melihat itu walaupun sudah sanggup memperkirakan hal itu sekalipun. Tapi disinilah momen coming-of-age yang bersama-sama benar-benar terasa. Banyak yang menyampaikan bahwa untuk merubah seseorang harus ada sebuah insiden besar yang terjadi dalam hidupnya, dan film ini menerangkan hal tersebut. Momen itulah yang pada jadinya merubah Arbor seutuhnya dan menciptakan saya makin bersimpati bahkan memaafkan segala hal jelek nan menyebalkan yang telah ia lakukan sedari awal. The Selfish Giant merupakan sebuah kisah sederhana namun begitu mengena. Terasa getir sekaligus tragis namun juga begitu indah pada akhirnya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Selfish Giant (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email