Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Spring (2014)

Tanyakan pada saya film ini tergolong genre apa, dan percayalah saya tidak akan bisa memberi tanggapan pasti. Spring dimulai dengan layar blackout dan hanya terdengar bunyi nafas berat. Kita hasilnya tahu bahwa itu ialah nafas dari ibu Evan (Lou Taylor Pucci) yang terbaring lemah di kasur akhir kanker yang ia derita. Atmosfernya unsettling, apalagi disaat perempuan renta yang sekarat itu menceritakan sebuah banyolan ihwal kematian. Tidak usang kemudian ia meninggal. Dengan suasana ibarat itu, rasanya ini ialah film horror. Kematian sang ibu menciptakan Evan berduka. Apalagi beberapa bulan sebelumnya sang ayah juga meninggal. Pemuda ini tinggal sebatang kara. Duka tersebut membuatnya terlibat dalam perkelahian di sebuah kafe tempatnya bekerja. Perkelahian yang tidak hanya menciptakan Evan dipecat tapi juga dikejar pihak kepolisian. Berniat kabur sekaligus mengubur duka, Evan pergi ke Italia.

Mendadak filmnya terasa bagaikan sebuah road trip. Karakter utama yang berada dalam titik terendah menentukan pergi dengan keinginan menemukan obat untuk memulai hidup baru. Disana Evan bertemu dengan dua laki-laki asal Inggris, sempat berpesta bersama sebelum menetap sambil bekerja di perkebunan jeruk milik Angelo (Francesco Carnelutti). Matahari bersinar terang di latar serta penggunaan filter warna yang lembut tapi cerah menyuguhkan suasana hangat. Indah, layaknya kisah pencarian makna hidup. Evan pun hasilnya bertemu dengan perempuan lokal berjulukan Louise (Nadia Hilker) yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Makara benar, Spring adalah journey movie tentang seorang laki-laki yang melaksanakan perjalanan, kemudian bertemu cinta sejati yang akan menyembuhkan dukanya. Benar begitu? Well, not really. Saya tidak akan memberi spoiler. Jadi yang bisa saya sebutkan ialah filmnya akan berubah lagi menjadi: romance, monster movie, body horror, science-fiction, and romance (again.) Spring is batshit crazy...in a good terms.
Sangat sulit menggabungkan beberapa genre menjadi satu, apalagi jikalau tiap-tiap genre bukan hanya suatu selipan tapi sempat mengambil alih spotlight. Inilah kenapa duo sutradara Justin Benson (juga penulis naskah) dan Aaron Moorhead layak disebut jenius. Bukan hanya bisa merangkai suatu kisah koheren yang tidak berantakan, keduanya juga berhasil mengambil unsur substansial dari masing-masing genre, kemudian memaksimalkannya. Makara penonton bakal mencicipi kisah cinta yang romantis, kemudian suasana mencekam juga disturbing, sampai sci-fi ihwal stem cell yang tidak asal mengambil fakta sains. Bagai membagi semua itu kedalam babak-babak, tone dari tiap genre begitu terasa. Benson dan Moorhead bisa mengecoh persepsi penonton. Membuat kita percaya pada apa yang hadir sebelum kemudian menawarkan twist mengejutkan tanpa harus menipu. Keduanya bukan sekedar memelintir dongeng secara paksa. Semua fakta sudah ditanam jauh sebelumnya secara tersirat. 

Diantara banyak genre yang ada, sebetulnya romansa ialah pondasi utama. Semuanya percuma jikalau kisah cinta Evan dan Louise gagal mencuri hati penonton, sebab itulah motor pencetus dinamika film. Tanpa itu Spring hanya akan menjadi lemparan kegilaan yang tak mengikat. Evan ialah laki-laki yang baik. Dia tengah berduka dan kita bersimpati sebab itu. Tapi ia tidak gloomy. Dia penuh perhatian dan sungguh-sungguh mengejar cintanya tanpa harus terasa annoying. Saat jatuh cinta dengan Louise pun bukan sebab Evan mencari, tapi ia menemukan cintanya. Romantis. Sedangkan Louise ialah gadis yang misterius tapi unik dan atraktif. She's that kind of girl that most of us guys wanna spend our time with, even though just for a little chat. Hubungan keduanya hadir begitu hidup. Tidak ada dialog gombal soal cinta dan perasaan. Saat menghabiskan waktu, keduanya lebih sering bicara hal santai atau saling ejek satu sama lain. Cair serta dinamis. Layaknya karya Richard Linklater, romansanya didominasi obrolan-obrolan cerdas yang menjerat penonton.
Pada third act yang kental penggabungan romansa dan sci-fi, sebetulnya hanya digunakan sebagai daerah menjelaskan segala teori sains yang rumit. Disaat kebanyakan film menjelaskan science mumbo jumbo hanya dalam waktu singkat yang meninggalkan kebingungan dan kesan buru-buru, Spring memakai sepertiga selesai filmnya untuk itu. Kenekatan yang bisa jadi membosankan, tapi Benson dan Moorhead sukses menghindarkan kesan itu. Alih-alih membosankan, penggalan ini justru tidak hanya berhasil menjelaskan segala teorinya dengan detail tapi juga membangun hubungan Evan dengan Louise menjadi lebih kuat. Membuat penonton lebih bersimpati pada mereka. Karakterisasi keduanya jadi unsur vital disini. Salah satu rangkaian adegan terbaik hadir pasca sebuah kejadian gila di rumah Louise. Ada perasaan shock pada diri mereka khususnya Evan, tapi Benson dan Moorhead menyuntikkan nuansa komedi sebagai bentuk konsistensi hubungan antara dua karakternya yang cair. Alhasil adegan setipe yang biasanya terasa kaku dalam film lain justru begitu dinamis disini. Atensi penonton pun bisa terambil, menciptakan kita bisa fokus mencerna segala klarifikasi yang ada.

Spring mampu melaksanakan apa yang oleh banyak film romansa pop gagal lakukan, yakni menyajikan kisah cinta dua manusia yang "berbeda" tanpa harus terasa menggelikan, bahkan believable. Sesungguhnya film ini melaksanakan hal yang tampak tidak mungkin dan sering menciptakan film macam Twilight jadi materi olok-olok. Manusia dan "monster" saling mencintai? Ada. Manusia berumur cukup umur awal mengasihi lawan jenisnya yang berumur puluhan ribu tahun dan hidup abadi? Ada. Tapi daripada menggelikan, ini terasa romantis. Setiap pengorbanan dan istilah "cinta buta" yang hadir bisa kita maklumi sebab sebelumnya kita sudah mencicipi bagaimana indahnya romansa kedua abjad utamanya. Spring mampu menghadirkan percintaan (super) asing yang memikat. Maka disaat film diakhiri dengan ending sederhana yang begitu manis, saya pun tersenyum simpul.

Verdict: Spring menjadi bukti bahwa "genre" dalam film hanya sebagai pembagian terstruktur mengenai dan bukan sebuah kotak pembatas eksplorasi. Part Linklater's chatty romance, part Cronenberg's body horror. Justin Benson dan Aaron Moorhead mempersembahkan salah satu film paling kaya dan berwarna sepanjang masa.

Artikel Terkait

Ini Lho Spring (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email