Tidak hingga delapan bulan lagi Star Wars: The Force Awakens bakal mengguncang layar bioskop. Menandai kembalinya franchise ini sesudah satu dekade. Meski masih cukup lama, saya merasa tidak ada salahnya untuk menengok kembali keenam episode yang telah kemudian demi menyegarkan ingatan sekaligus membangkitkan nostalgia. Well, setelah Han Solo dan Chewie akibatnya kembali pulang ini waktu yang tepat bukan? Makara inilah mini review saya untuk keenam episode Star Wars.
EPISODE I: THE PHANTOM MENACE (1999)
Saya tidak bisa membayangkan perasaan para fans ketika mendapati penantian 16 tahun mereka berujung kekecewaan besar. Sedari opening crawl sudah ada yang terasa "keliru". Daripada bercerita perihal peperangan antar galaksi, narasinya mengisahkan tetek bengek konflik embargo perdagangan. Tidak dilema sebenarnya, bahkan bisa memperlihatkan konflik segar pada franchise ini. Tapi dongeng perihal konspirasi kekuasaan berbalut unsur politik dan perdagangan kental butuh naskah kuat. Geroge Lucas tidak punya itu. Lucas hendak mencoba tampil pintar, tapi berujung kebosanan sebab dongeng yang tidak mengikat. Tiap petualangan, tiap pertempuran jadi terasa pointless. Penggunaan CGI berlebihan turut melucuti daya tarik action-nya. Hampa.
And of course there's Jar Jar Binks here. Dia bukan "the next C-3PO", sebab droid tersebut meski penakut tapi punya hati, peduli pada rekan-rekannya, dan tidak pernah jadi fokus utama. Jar Jar sebaliknya. Bodoh, egois, clumsy berlebihan, menyebalkan, tidak pernah sekalipun bertindak tepat, dan jadi fokus utama. Bahkan ia menjadi jenderal! Lucas tidak punya selera komedi dan Jar Jar mengambarkan itu. Untung The Phanton Menace punya pertarungan lightsaber menghibur dengan koreografi yang lebih cepat. Kehadiran Darth Maul pun cukup mengisi lubang ketiadaan Darth Vader. Terlalu banyak obrolan rumit yang buruk, petualangan yang tidak seru, CGI berlebihan, drama huruf yang begitu lemah. Naskah Lucas membuat film ini terasa kaku dan kering.
EPISODE II: ATTACK OF THE CLONES (2002)
Film ini ialah usaha Lucas untuk membuat romansa klasik namun berujung kegagalan total. Disini Anakin telah menjadi Padawan, dan Padme ialah seorang Senator. Keduanya jatuh cinta dalam sebuah romansa paling cheesy yang disuguhkan dengan sangat menggelikan. Dialog ala-sinetron Lucas berkolaborasi dengan akting kaku Hayden Christensen. Jangan bandingkan ini dengan korelasi Han Solo-Princess Leia. Han ialah antihero keren, sedangkan Anakin hanya anak muda egois yang doyan merengek, stalker creepy, perayu gombal kelas teri. Apa yang membuat kisah cinta Han-Leia menarik ialah sebab walaupun ucapan romantis (hampir) tidak pernah mereka ucapkan, kita tahu keduanya saling mencintai. Anakin-Padme sebaliknya. Terus mengungkapkan itu tapi terasa kosong, bahkan menyebalkan. Bagaimana mungkin bocah annoying ini menjadi sosok menyerupai Darth Vader?
Penggunaan CGI dari Lucas makin tamak. Daripada film, Attack of the Clones lebih menyerupai sequence dari video game. Awkward moment bukan cuma hadir sebab obrolan dan akting buruk, tapi juga CGI buruk yang membuat aktornya tampak menggelikan. (poor Ewan McGregor & Christopher Lee) Konspirasi politiknya pun makin tak menarik, bertumpuk dengan kisah cinta buruk tadi. Untung klimaksnya menyelamatkan film ini. Battle of Geonosis sangat menghibur. Ayunan lightsaber begitu banyak menghiasi layar, adegan agresi bergerak cepat, sangat jauh dibandingkan drama di paruh awal yang begitu diseret membosankan. Menyenangkan melihat Yoda akibatnya beraksi meski dalam versi CGI buruk. Kemunculan clone troopers hingga terjunnya mereka ke medan perang untuk pertama kali turut membantu film ini sedikit mendekati kesan epic yang diinginkan Lucas.
EPISODE III: REVENGE OF THE SITH (2005)
Akhirnya sebuah peningkatan. Revenge of the Sith adalah ketika Lucas menanggalkan segala basa-basi tak menarik perihal kisruh politik dan masuk ke fokus (seharusnya) utama dalam prekuel trilogi ini: kelahiran Darth Vader. Opening sequence yang menampilkan peperangan di Coruscant berhasil membuka film dengan lantang. Setelah itu filmnya bergerak cukup cepat. Masih ada romansa tak menarik Anakin dan Padme, tapi kita tahu itu tak terhindarkan demi kelahiran Vader, dan lebih dari itu kita tahu kemampuan bertutur Lucas dalam romansa tidak akan berkembang. Makara kali ini anggaplah saya sudah kebal. Penggunaan CGI juga lebih tepat guna, yaitu untuk mengemas action sequence jadi lebih megah. Saya masih menyukai versi oldskul tentu, tapi kali ini obsesi Lucas pada imbas komputer tidak begitu mengganggu.
Mendekati paruh selesai filmnya makin menyenangkan, apalagi ketika rujukan pribadi dengan original trilogy mulai bermunculan. Tapi disitu pula masalahnya. Lucas hanya connecting the dots. Menghubungkan satu per satu apa yang sudah muncul di trilogi lawas, mengaitkannya begitu saja dengan film ini. Murni hanya menuturkan lebih detail tanpa eksplorasi lebih dalam. Sebagai pola kita akibatnya tahu kenapa Anakin menjadi Darth Vader tapi tidak pernah terikat secara emosional. Tentunya itu turut dipengaruhi akting Hayden Christensen yang tidak hingga setingkat lebih baik dari sebelumnya. Ada potensi kisah tragis nan mengenaskan. Apalagi kebrutalan cukup dihadirkan Lucas pada third act yang penuh pembantaian. Tapi lagi-lagi penonton hanya diajak untuk tahu, bukan mengerti apalagi ikut merasakan.
The one that started this phenomenal franchise. Tidak peduli pendapat orang ketika ini, George Lucas punya visi serta konsep yang berpengaruh ketika memulai Star Wars disini. Meski merupakan awal, kita bisa mencicipi mitologi dan universe yang sudah terbentuk dengan pondasi berpengaruh bahkan sedari penyerangan Darth Vader terhadap pesawat Princess Leia. A New Hope langsung membawa penonton ke tengah konflik yang sudah usang berkecamuk dalam dunia penuh cerita, karakter, serta legenda. Tapi penonton tidak pernah tersesat. Banyak layer tapi Lucas mengungkapnya satu demi satu dengan begitu rapih lewat timing sempurna. Ceritanya kaya dengan sentuhan unsur religius.
Desain huruf tidak pernah berhenti membuat saya terkagum. Begitu pula desain set, pesawat, hingga segala properti lainnya. Imajinatif, berwarna sekaligus ikonik.Begitu pula karakternya. Han Solo pribadi mencuri perhatian sedari kemunculan pertama sebagai anti-hero penuh gaya keren. Disaat bersamaan Leia menjadi huruf perempuan yang menyimpan kekuatan meski berstatus puteri (salah satu adegan memperlihatkan ia sanggup memimpin Han dan Luke). Penggunaan banyak practical effect daripada bergantung pada CGI turut membuat dunia yang benar-benar hidup, bukan sekedar gambar kosong dua dimensi. Sebuah awal berpengaruh yang membuka jalan pada Star Wars untuk melaju dengan kecepatan cahaya.
Terasa lebih gelap apalagi ketika film diakhiri dengan kondisi tokoh utama yang terdesak oleh pihak Emperor. Ditambah lagi sebuah twist tentang Darth Vader yang tidak hanya mengejutkan namun merubah arah franchise ini, memperdalam, menambah kompleksitas ceritanya. Meski gelap namun tetap imajinatif. Meski mengambil skala yang lebih kecil, namun bukan berarti episode V ini berjalan lambat dan terksan kerdil. Sutradara Irvin Kershner terus memacu film sedari awal, namun tidak melelahkan. Scoring John Williams turut menjadi kemegahan dramatis yang merupakan latar tepat bagi petualangan luar angkasa penuh misteri sekaligus imaji ini. Berfokus pada huruf membuat film ini jadi sekuel blockbuster langka sekaligus salah satu yang terbaik.
Tone jelas jauh lebih ringan apalagi dengan hadirnya para Ewoks. Terasa betul usaha membuat Return of the Jedi menjadi tontonan yang lebih bisa menjangkau semua umur. Uniknya ketika film secara keseluruhan kehilangan kedalaman huruf Luke justru makin menarik. Disini kita melihat bahwa sang pahlawan punya potensi untuk jatuh dalam dark side, menyerupai sang ayah. Return of the Jedi juga punya momen-momen ikonik yang tetap membuatnya jadi hiburan menyenangkan: Boba Fett, Darth Vader's redemption, dan tentunya Leia sebagai budak Jabba the Hutt. Tidak buruk, hanya saja selepas apa yang dicapai The Empire Strikes Back, episde VI ini terang sebuah kemunduran. Still very entertaining though.
EPISODE V: THE EMPIRE STRIKES BACK (1980)
Mengejutkan. George Lucas yang sekarang dikenal sebagai salah satu wajah industri Hollywood pernah mengambil jalan yang berlawanan dengan tren sekuel sebuah blockbuster. The Empire Strikes Back tidak menggunakan formula "the bigger, the better". Sebaliknya, film ini lebih personal, lebih kelam, lebih punya perasaan. Ber-setting tiga tahun pasca A New Hope, kita melihat ketiga huruf utamanya telah berkembang. Luke bukan lagi pemuda annoying yang doyan mengeluh. Dia telah menjadi salah satu prajurti pemberontakan. Begitu pula Han Solo yang lebih condong sebagai pure hero daripada anti-hero, tanpa mengurangi daya tariknya. Naskahnya lebih banyak menggali inner tiap tokoh. Filmnya bukan sekedar epic soap opera megah. Ini ialah drama humanis penuh ukiran moralitas yang ambigu dan dilema dalam diri karakter.Terasa lebih gelap apalagi ketika film diakhiri dengan kondisi tokoh utama yang terdesak oleh pihak Emperor. Ditambah lagi sebuah twist tentang Darth Vader yang tidak hanya mengejutkan namun merubah arah franchise ini, memperdalam, menambah kompleksitas ceritanya. Meski gelap namun tetap imajinatif. Meski mengambil skala yang lebih kecil, namun bukan berarti episode V ini berjalan lambat dan terksan kerdil. Sutradara Irvin Kershner terus memacu film sedari awal, namun tidak melelahkan. Scoring John Williams turut menjadi kemegahan dramatis yang merupakan latar tepat bagi petualangan luar angkasa penuh misteri sekaligus imaji ini. Berfokus pada huruf membuat film ini jadi sekuel blockbuster langka sekaligus salah satu yang terbaik.
EPISODE VI: RETURN OF THE JEDI (1983)
Setelah hadir lebih gelap dalam seri sebelumnya, penutup original trilogy mengambil langkah berkebalikan. Tentu saja action scale ditingkatkan. Sebuah kewajaran mengingat statusnya sebagai konklusi sebuah perang antar galaksi. Menyenangkan tapi mulai menjadi kosong. Peperangan melawan Death Star maupun yang bertempat di "Forest moon of Endor" tetap menghibur tapi intensitas tidak sekuat dua film sebelumnya. Apa yang muncul tidak lebih dari ledakan melawan ledakan daripada usaha insan melawan sisi jahat. Minim emosi berujung pada tidak pernah sampainya film ini pada status epic conclusion seperti seharusnya.Tone jelas jauh lebih ringan apalagi dengan hadirnya para Ewoks. Terasa betul usaha membuat Return of the Jedi menjadi tontonan yang lebih bisa menjangkau semua umur. Uniknya ketika film secara keseluruhan kehilangan kedalaman huruf Luke justru makin menarik. Disini kita melihat bahwa sang pahlawan punya potensi untuk jatuh dalam dark side, menyerupai sang ayah. Return of the Jedi juga punya momen-momen ikonik yang tetap membuatnya jadi hiburan menyenangkan: Boba Fett, Darth Vader's redemption, dan tentunya Leia sebagai budak Jabba the Hutt. Tidak buruk, hanya saja selepas apa yang dicapai The Empire Strikes Back, episde VI ini terang sebuah kemunduran. Still very entertaining though.
Overall Verdict: Sudah niscaya George Lucas terjerumus kedalam dark side bernama "uang" ketika tetapkan membuat trilogi prekuel-nya. Bukan hanya tidak pernah menandingi kualitas trilogi "asli", prekuel itu pun terasa berasal dari universe yang berbeda. Tiga film pertama ialah sajian klasik penuh mitologi yang seharusnya cukup dibiarkan tak terjawab menjadi misteri. Tapi sekarang semua telah terjadi, dan saya yakin J.J. Abrams bisa lebih baik dari Lucas. So JJ, May the force be with you.
Ini Lho Star Wars Episode I - Vi
4/
5
Oleh
news flash