Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Taken 3 (2015)

Berusia 62 tahun dan masih merupakan salah satu action hero paling badass sekaligus bankable saat ini. Berikan film bergenre action/thriller pada Liam Neeson dan pendapatan setidaknya seratusan juta dollar akan kau dapat. Neeson bisa menyulap film langgar medioker menjadi gunungan uang sekaligus membuat penonton memaafkan buruknya kualitas film tersebut alasannya pesona sang pemain drama yang masih begitu tinggi. Bahkan nama-nama menyerupai Stallone, Schwarzenegger dan Bruce Willis tidak bisa melaksanakan semua itu di usia senja. Saya tidak heran disaat Luc Besson menjilat ludah sendiri dengan membuat Taken 3 setelah tiga tahun kemudian sang produser (juga Liam Neeson) menyatakan franchise ini tidak akan menjadi trilogi. Keuntungan lebih dari $200 juta film keduanya menjadi alasan besar lengan berkuasa kenapa film ketiga harus ada, setidaknya bagi pihak studio. Hampir semua penonton termasuk saya tahu film ini tidak akan bagus, tapi tetap saja berbondong-bondong tiba ke bioskop dengan satu alasan: Liam Neeson. 

Penggerak utama plot-nya ialah sebuah twist jadi saya tidak akan menuliskan sinopsis film ini. Satu yang niscaya bahwa tidak ada yang diculik dalam film ini, well setidaknya penculikan bukanlah fokus utama filmnya. Menggelikan memang disaat film berjudul Taken bukan bertutur perihal penculikan, tapi untungnya Luc Besson selaku penulis naskah mau "repot-repot" memikirkan interpretasi lain dari kata tersebut. Pada karenanya judul Taken 3 tidak terkesan konyol macam The Hangover III yang sama sekali tidak memunculkan hangover di dalamnya. Tapi tidak perlu menjadi ahlik prediksi handal untuk bisa menebak film ini bakal berakhir buruk, alasannya sudah banyak kritikus yang mengakibatkan judul filmnya sebagai materi ejekan. Kalimat yang jamak digunakan kurang lebih menyerupai ini: "Nothing is taken except your time and money". Hampir semua review yang ada mengandung kalimat dengan makna kurang lebih menyerupai itu dan sukses membuat saya menurunkan ekspektasi. Hasilnya? Film ini tetap tidak menjadi sajian yang mengesankan. Tetap buruk, tidak penting, tapi saya tidak menganggapnya sebagai sampah.

Selain sosok Bryan Mills yang super badass, apa daya tarik utama franchise ini? Ceritanya terperinci sangat standar, adegan aksinya pun tidak bisa disebut bombastis. Jawabannya ialah ketegangan yang hadir alasannya tempo cepatnya tempo film. Taken pertama bisa menghadirkan itu, lengkap dengan sentuhan twist. Filmnya memang menjadi hiburan non-stop pemacu adrenalin, tapi hal itu hanya akan berlaku sekali. Dua kali bahkan tiga kali, formula serupa tidak akan bekerja lagi. Sutradara Olivier Megaton memang paham akan daya tarik itu, dan berusaha membuat film ketiga ini bergerak secepat mungkin. Untuk menghadirkan itu, bukan alurnya saja yang dikemas cepat tapi juga adegan aksinya. Megaton menentukan untuk melaksanakan itu dengan cara editing yang begitu cepat berpindah dari satu gambar ke gambar yang lain. Tiap potong demi potong adegan berpindah dengan cepat, dan itu bukan membuat ketegangan tapi membuat saya tidak bisa menikmati aksinya. Perpindahan yang terlalu cepat, bahkan sering saya tidak tahu sedang melihat apa. Kacau. Adegan Liam Neeson memanjat pagar saja diambil lebih dari empat sudut pandang. It's so fake and laughable.
Disaat banyak film agresi terselamatkan oleh adegan kejar-kejaran seru, Taken 3 malah membuat saya mual dengan adegan yang dikemas lewat cutting super cepat nan kacau tersebut. Secara keseluruhan, kecuali anda menganggap adegan kendaraan beroda empat men-tackle roda pesawat jet itu keren, maka tidak ada adegan agresi memukau dalam film ini. Tidak hanya terkesan biasa, beberapa momen agresi justru terasa konyol. Tentu saja momen jagoan yang "tidak bisa ditembak" masih jadi sajian wajib disini, dan alasannya hal tersebut sudah menjadi "keharusan" dalam film one man army saya bisa memaafkannya. Tapi melihat Bryan selamat dalam dua kali ledakan mobil? Olivier Megaton dan Luc Besson bisa jauh lebih kreatif daripada itu. Untung lagi-lagi film ini punya Liam Neeson. Disaat Stallone atau Bruce Willis tidak bisa mati atau sekedar dikalahkan dalam film, saya terganggu. Tapi dengan Liam Neeson, saya bisa menerimanya. Dia bagaikan seorang pemimpin kelompok cult, dan saya pengikutnya. Apapun kekurangan yang ada padanya saya tidak masalah. Dia selamat dari ledakan dua kali? Tidak masalah. Dia bisa mengalahkan sekelompok bandit plus LAPD sendirian? He's Liam fucking Neeson, so fuck logic, right?
Tapi biar bagaimanapun, Neeson tidak bisa mengalahkan usia. Fisiknya tidak lagi seprima tujuh tahun kemudian ketika di film pertama. Sekedar untuk berlari saja ia kepayahan. Semakin terlihat ialah ketika ia harus melakoni adegan perkelahian tangan kosong. Di tangan sutradara yang cermat mengemas agresi plus koreografer handal, hal itu tidak jadi masalah. Tapi Olivier Megaton lagi-lagi menentukan editing cepat dan kacau itu, membuat adegannya makin tidak bisa dinikmati. Pada zaman dimana banyak film agresi brilian mulai berkiblat pada The Raid, apa yang dilakukan Megaton terperinci tidak menghibur. Mungkin 20 tahun lagi pengemasan menyerupai ini bakal jadi nostalgia menyenangkan, tapi untuk ketika ini tidak. Untuk dongeng sekaligus naskah, terperinci bukan jadi sesuatu yang bisa dibutuhkan dalam film macam ini, tapi ironisnya disaat adegan aksinya melempem, aspek dongeng jadi salah satu penyelamat, tapi disisi lain juga menambah keburukan. Cerita penuh twist yang ditulis Luc Besson terperinci tidak pintar, tapi kejutannya masih menghibur. Setidaknya masih ada motor pencetus dan punya kualitas yang lebih baik dari film kedua.

Cerita dalam naskah jadi penyelamat, tapi tidak dengan dialog. Lagi-lagi saya tidak berharap ada obrolan pintar, tapi apa yang tersaji disini sering terasa menggelikan. Pada first act yang berfokus pada drama ayah-anak dan mantan suami-istri, berbagai momen unintentionally funny. Contoh paling aktual ialah ketika Bryan coba menjelaskan pada Kim bahwa ia menolak berciuman bukan alasannya tidak mau, tapi bla bla bla. Kalimat memalukan bagi sosok keren menyerupai dia. Tapi yang paling menggelikan ialah ketika obrolan film ini terasa menyerupai sebuah parodi terhadap Taken itu sendiri. Tentu kita semua tahu belahan obrolan super jantan berikut ini: "I don't know who you are, I don't know what you want.........I will find you and I will kill you". Itu ialah kalimat yang mendefinisikan tidak hanya huruf Bryan tapi juga Taken. Terasa menyerupai sebuah parodi ketika kalimat dengan tipe serupa muncul hingga dua kali dalam film ini.  

Tapi masih ada hal lain yang sama menggelikannya, yaitu Forest Whitaker. Saya tidak tahu apakah itu inspirasi sang aktor, naskah Luc Besson, atau aba-aba Olivier Megaton hingga karenanya Whitaker selalu memainkan bidak kuda atau karet. Sebuah akting dan huruf bisa diperkuat dengan keberadaan business act dengan menempatkan sebuah benda sebagai satu kesatuan dengan tokoh itu. Tapi harus ada makna dibalik penggunaan hal tersebut, sedangkan yang dilakukan Whitaker benar-benar kosong, tak bermakna. Siapapun yang membuat ciri itu sedang berusaha memasukkan metafora penuh filosofi, yang pada karenanya gagal dan berujung pada akting jelek dari sang aktor. Pada karenanya memang faktor Liam Neeson berhasil menjadi guilty pleasure yang membuat film ini tetap watchable sampai akhir, meski tetap menjadi film yang buruk. Sebuah kesalahan membuat Tak3n, tapi masih termaafkan bagi saya, asalkan jangan ada T4ken. Karena kalau film keempat dibuat, tentu Liam Neeson yang semakin renta tidak akan lagi bisa menjadi penyelamat. Jangan sampai franchise pembangkit karir Liam Neeson ini kelak juga menjadi penghancur karirnya.

Artikel Terkait

Ini Lho Taken 3 (2015)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email