Sunday, January 13, 2019

Ini Lho Third Star (2010)

Melihat setting tempatnya, mungkin Third Star tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah road movie. Namun banyak sekali unsur yang terkandung dalam sebuah road movie terang terasa dalam debut penyutradaraan Hattie Dalton ini. Ada kisah perjalanan empat orang sahabat yang dalam perjalanan tersebut perlahan mulai menemukan banyak hal bermakna dalam hidup mereka. Third Star memiliki abjad utama berjulukan James (Benedict Cumberbatch) yang tengah merayakan ulang tahunnya yang ke 29. Namun ketika itu ia dan kerabat-kerabatnya sadar bahwa itu yaitu ulang tahun terakhir James yang memang sudah terkena penyakit kanker yang parah dan divonis akan meninggal tidak usang lagi. Untuk itu James meminta untuk ditemani pergi ke pantai Barafundle Bay yang merupakan daerah favoritnya. Dalam perjalanan kesana James ditemani oleh tiga orang temannya, yakni Davy (Tom Burke) yang merupakan sahabat setianya dan dipercaya untuk menjaga James oleh keluarganya, Bill (Adam Robertson) dan Miles (J. J. Feild) yang sudah cukup usang menghilang dari kehidupan James. Mereka bertiga membantu James yang harus menaiki sebuah troli/kereta khusus alasannya kesulitan berjalan melewati hutan hingga lereng curam untuk hingga di daerah tujuan. Namun ternyata tidak hanya rintangan dari alam yang menghambat perjalanan mereka, alasannya konflik satu sama lain perlahan mulai terjadi dan banyak sekali diam-diam pun mulai terungkap.

Tentu saja dalam sebuah road movie atau film apapun yang menyoroti perjalanan yang dilakukan oleh karakternya kita mustahil mengharapkan sebuah perjalanan yang lancar. Pastinya akan terjadi banyak sekali konflik, rintangan atau hal tidak terduga lainnya yang pada karenanya justru menawarkan pelajaran berharga pada setiap karakternya, begitu juga yang terjadi dalam Third Star. Keempat sahabat ini perlahan mulai menemui konflik baik itu yang terjadi akhir adanya kejadian tak terduga semisal kecelakaan atau barang yang hilang hingga konflik antar personal yang seringkali memecah belah mereka. Konflik tersebut justru merupakan daya tarik film-film bertipe menyerupai ini, dan pada karenanya konklusinya akan menawarkan sebuah pelajaran berharga tidak hanya bagi abjad dalam film itu namun juga pada penonton. Masalahnya, dalam Third Star konflik yang terjadi terlalu penuh dan kemunculannya sering tidak dalam timing yang pas. Setelah berjalan lambat tanpa konflik diawal, memasuki pertengahan kita mulai dijejali oleh satu persatu konflik yang muncul saling bergantian. Awalnya terasa menarik, namun sesudah jumlahnya makin banyak saya terasa lelah. Apalagi bekerjsama semua konflik tersebut punya makna tersirat yang sama, sehingga perlahan saya mulai dibentuk bosan dengan hal itu. Siapa sih yang tidak bosan diperlihatkan adegan orang saling bertengkar secara terus menerus?
Diluar konflik yang terlalu padat, Third Star bekerjsama punya makna yang cukup mendalam meski dapat dibilang klise alasannya sudah cukup sering diangkat dalam film serupa. Third Star yaitu kisah perihal orang-orang bermasalah yang secara tidak sadar mulai merasa dirinya yaitu orang paling sial di dunia sebelum karenanya sadar bahwa masing-masing dari mereka juga punya permasalahan yang tidak dapat dibilang ringan. Film ini coba menanggapi banyak sekali permasalahan hidup tersebut dengan santai bahkan terkadang diselipi humor. Hal ini bukan tanpa maksud atau sekedar hanya untuk menciptakan suasana ringan, namun untuk menggambarkan bahwa kita harus menyikapi permasalahan dengan positif. Bahkan untuk menggambarkan hal tersebut film ini sering menggambarkan sebuah konflik entah itu pertengkaran ataupun hingga perkelahian namun dibalut dengan canda tawa karakternya. Namun lagi-lagi hal tersebut terlalu sering diulang penampilannya, hingga semakin usang semakin terasa membosankan. Untungnya ada penampilan keempat pemain utamanya yang cukup manis dan mampu menunjukkan chemistry yang berpengaruh satu sama lain.

Diluar ceritanya yang bekerjsama termasuk klise dan predictable, diluar dugaan ternyata Third Star punya sebuah ending yang cukup mengejutkan bahkan mungkin agak kontroversial dan dapat memecah penonton menjadi dua kubu. Saya sendiri merasa bahwa ending film ini dapat menjadi poin positif sekaligus negatif pada keseluruhan filmnya. Poin positifnya yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menawarkan konklusi cukup berbeda dan mengejutkan. Sedangkan poin negatifnya yaitu saya sedikit mencicipi adanya pemaknaan yang bagi saya langsung kurang sempurna berkaitan dengan pesan yang dibawa oleh bab ending bahkan keseluruhan filmnya. Jika sedari awal kita diperlihatkan perihal bagaimana seseorang tidak seharusnya mengalah pada keadaan, maka ending dalam film ini bagi saya lebih terasa sebagai mengalah pada keadaan daripada keberanian yang diambil oleh seseorang. Pada karenanya meskipun menyukai tone yang dibawa oleh ending-nya, saya tidak menyukai fakta bahwa sosok James karenanya tidak terlihat sebagai seseorang pantang mengalah yang tidak ingin hidupnya berlalu tanpa arti tapi lebih kepada seseorang yang mengalah padahal semuanya belum benar-benar berakhir. Siapa yang tahu akan datangnya keajaiban? 

Secara keseluruhan Third Star jelas bukan film yang jelek bahkan penuh makna, sayang eksekusinya terlalu monoton dan sering terjadi pengulangan yang membosankan. Saya tidak mencicipi adanya koneksi emosional dengan dongeng ataupun karakternya yang berarti sama saja dengan disaat saya tidak merasa takut kala menonton film horor. Akting Benedict Cumberbatch manis hanya saja saya tidak bersimpati sedikit pun pada abjad James yang ia perankan, khususnya akhir apa yang ia lakukan di selesai film.


Artikel Terkait

Ini Lho Third Star (2010)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email