Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Tokyo Tribe (2014)

Sion Sono yaitu sutradara yang spesial. Dia selalu bisa menghasilkan film yang bangkit diantara batas kebodohan dan kejeniusan. Mulai dari thriller-suicidal macam Suicide Club dan prekuel-nya Noriko's Dinner Table, thriller psikologis di Cold Fish,  horror sureal dalam Strange Circus, hingga unexplainable batshit crazy berjudul Love Exposure, semuanya gila, aneh, abstrak, penuh eksploitasi gore plus seksualitas, beberapa jauh dari kesan serius. Memang ada beberapa karya sang sutradara yang tergolong "normal", tapi Sion Sono tetap akan lebih dikenal alasannya yaitu kegilaannya. Saat pamer kegilaan, Sono tidak pernah menganggap filmnya terlalu serius. Lebih menentukan bersenang-senang lewat karya yang sadar diri. Tapi brainless-nya Sion Sono berbeda dengan Nishimura yang total bodoh, alasannya yaitu selalu ada sisi jenius dalam karyanya, apalagi dengan sentuhan warta sosial yang kuat. I love his films more than Takashi Miike's. Sama-sama produktif, tapi Sono lebih stabil dalam kualitas alasannya yaitu kuantitasnya pun tidak berlebihan. Sampai tiba masa sekarang, ketika dalam dua tahun sang sutradara berencana merilis lebih dari lima film, termasuk Tokyo Tribe.

Mengadaptasi manga Tokyo Tribe 2, Sono mencoba genre gres yaitu musikal. Sedari awal kita sudah disuguhi momen musikal hip-hop yang dikemas dalam one-shot memukau, memperlihatkan sudut kota Tokyo yang penuh lampu gemerlap. Tapi sekilas kita bisa menebak bahwa Tokyo disini tidak menyerupai yang kita tahu. Masih gemerlap, tapi jauh lebih keras. Seolah mendukung kesan hip-hop style yang diusung, Tokyo yaitu kota yang kejam, penuh narkoba, penuh pelacur, dan yang paling penting penuh oleh gangster yang berkuasa di beberapa bab wilayah. Para gangster ini berkuasa, bahkan polisi tidak punya kekuatan untuk melawan mereka. Hal ini terlihat lewat sebuah adegan ketika seorang polisi perempuan yang berniat menggagalkan transaksi narkoba justru jadi materi pemerkosaan di tengah keramaian. Disisi lain, rekan sang polisi tidak berani meminta back-up apalagi menolong secara langsung. Dari satu adegan itu aku tahu film ini yaitu satu lagi produk gila dari sineas gila Jepang yang dipimpin Sono dan Miike.
Kekerasan dan sensualitas yaitu dua hal yang dipuja oleh tipikal film semacam itu. Darah banyak tumpah oleh lesatan peluru dan tebasan katana, meski kadarnya tidak sebanyak film Sono sebelumnya, Why Don't You Play in Hell? Saya pun cukup terkejut ketika mendapati Tokyo Tribe cukup "lunak" dalam mengumbar kekerasan. Sedangkan sensualitas dieksploitasi lewat abjad wanitanya. Mereka semua berwajah bagus dan berbadan bagus lengkap dengan pakaian seksi. Masih belum cukup, gestru menarik hati selalu hadir, lenguhan muncul hanya alasannya yaitu sedikit sentuhan, hingga sudut pengambilan gambar dan koreografi yang sebisa mungkin memperlihatkan celana dalam mereka. Tapi ini film brainless asal Jepang, apa lagi yang kau harapkan? Semua itu masih ditambah insting visual Sono yang masih tetap kuat. Warna-warni cerah, desain abjad unik, hingga beberapa set sureal dengan furnitur insan sebagai salah satu yang paling menonjol yaitu buktinya. Dengan semua itu Tokyo Tribe seolah menjadi jaminan kepuasan. Tapi ternyata tidak.
Setelah opening memukau itu, Sono mengajak penonton berkenalan dengan satu per satu gang yang menguasai Tokyo. Tentu saja masing-masing dari mereka dipresentasikan lewat adegan musikal kental nuansa "gansgta". Cukup asik, tapi tidak ada yang spesial. Mereka memperkenalkan diri sebagai yang terhebat dan paling berkuasa sambil Sono sibuk men-tease bahwa akan terjadi perang epic diantara mereka sebagai titik puncak film. Saya masih antusias. Tapi kemudian sehabis perkenalan yang seolah tanpa ujung ini, kisahnya semakin bergerak tidak karuan. Sang sutradara terlihat penuh ambisi dalam mengemas ceritanya, tapi ia sendiri seolah tidak tahu bagaimana merangkai semuanya, diluar naskah yang memang berantakan. Saya tidak akan berharap naskah serius dari Sono, tapi terang berharap sesuatu yang jenius. Cerita-cerita tulisannya seolah tidak pernah berbobot, tapi sesungguhnya punya kedalaman kompleks yang menarik diikuti, entah itu melalui satir, kompleksitas karakter, hingga plot penuh twist. Lewat Tokyo Tribe, Sono berusaha merangkai alur koheren di tengah ketidak seriusannya bertutur. Cerita bergerak kesana kemari tak beraturan, abjad bermunculan dan bertingkah tanpa motif jelas, hingga aku pun seringkali tersesat, gagal mencerna apa plot film ini. 

Hingga kesudahannya aku sadar film ini tidak punya plot. Apa yang dianggap oleh Sono sebagai dongeng disini tidak lebih dari petikan persoalan demi persoalan yang tidak berkorelasi tapi coba disambung secara paksa menjadi satu. Hasilnya kekacauan luar biasa dalam artian buruk. Bahkan adegan pertarungan antar gang yang harusnya epic ikut kacau alasannya yaitu aku tidak tahu kenapa si "A" yang seharusnya rekan si "B" jadi saling bertarung, dan seterusnya. Ini tidak jauh berbeda dengan Transformers: Revenge of the Fallen-nya Michael Bay. Segala kebodohan menyerupai kesan absurd, abjad komikal, akting berlebihan, kekonyolan tidak pada tempatnya, dan kecacatan lain yang biasanya jadi kekuatan film Sono, pada kesudahannya justru terasa mengganggu. Biasanya aku berhasil tertawa oleh sisi ajaib seorang Sion Sono, tapi kali ini aku justru aib sendiri. It's painful to watch. Rasanya menyerupai melihat seorang teman yang berusaha keras melaksanakan sesuatu di tengah keramaian yang bekerjsama ia sangat buruk dalam hal itu. Konten musikal hip-hop yang coba diangkat pun semakin tidak esensial dan menyebabkan pertanyaan kenapa Sono menciptakan hal ini. Padahal dari beberapa filmnya, Sono justru punya selera musik cenderung kearah musik klasik karya Handel, menyerupai penggunaan "Lascia ch'io pianga" dalam film ini atau "Sarabande"di Why Don't You Play in Hell? Kali ini Sion Sono tidak menciptakan film buruk yang jenius dan menyenangkan, karena Tokyo Tribe murni film jelek. Semakin mengecewakan dan menyedihkan alasannya yaitu Sion Sono merupakan salah satu sutradara favorit saya.

Artikel Terkait

Ini Lho Tokyo Tribe (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email