Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho We Are The Best! (2013)

Apa yang ada di pikiran anda ketika melihat gerombolan anak punk? Dengan dandanan jauh dari kata rapih bahkan seringkali terkesan kumuh, rambut mohawk dan tingkah laris yang seenaknya mungkin banyak orang yang akan mencibir mereka. Tapi tidak banyak yang tahu atau ingat bahwa esensi punk bersama-sama ialah perlawanan dan kebebasan dimana dandanan nyentrik itu merupakan salah satu bentuk perwujudan dari rasa ingin bebas yang mereka tunjukkan. Lalu bagaimana kalau anda melihat bawah umur wanita yang masih Sekolah Menengah Pertama berdandan punk dan menyukai musik-musik punk yang "keras" itu? Apakah mereka berandalan? Apakah mereka nakal? Apa mereka tidak terdidik? Hal itulah yang coba diangkat oleh Lukas Moodysson dalam filmnya ini yang juga merupakan penyesuaian dari grafik novel Never Goodnight buatan istrinya sendiri, Coco Moodysson. We Are the Best! ber-setting di Stockholm tahun 1982, masa dimana disko tengah menjadi raja dan punk dianggap telah mati. Tapi anggapan tersebut ditolak oleh dua sahabat, Bobo (Mira Barkhammar) dan Klara (Mira Grosin) yang memuja musik punk dan berdandan ala punk.


Baik Bobo dan Klara mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama kurang menerima perhatian dari orang tuanya, dan diperlakukan layaknya orang abnormal oleh teman-teman di sekolah alasannya selera punk mereka. Tapi hal itu tidak menghentikan hasrat dan kecintaan mereka pada punk, bahkan mereka berdua pada risikonya tetapkan membentuk grup musik punk. Tapi alasannya sama-sama tidak sanggup memainkan alat musik, Bobo dan Klara tetapkan mencari satu orang personel lagi. Pilihan mereka jatuhkan pada Hedvig (Liv LeMoyne), seorang gadis pendiam penganut Katolik taat yang andal memainkan gitar. Dengan sikapnya yang pendiam dan religius, Hedvig memang tampak begitu berbeda dengan Bobo dan Klara, tapi bersama-sama ia pun sama. Hedvig menerima bullying karena perilaku diamnya itu, dan ia juga merasa kurang cook dengan sang ibu yang baginya terlalu religius. Bersama-sama mereka bertiga mulai serius menekuni grup musik tersebut, sebuah grup musik punk yang berisikan tiga orang perempuan, sesuatu yang amat jarang pada masa tersebut.
Pada awalnya memang begitu susah untuk membiasakan diri dengan segala bentuk tingkah laris Bobo dan Klara (khususnya Klara) yang seenaknya, egois, dan seolah membenci semua hal yang ada di seluruh dunia. Begitu berat untuk sanggup menikmati film ini dengan segala rasa menyebalkan itu pada awalnya, tapi secara perlahan seiring dengan banyaknya konflik yang terjadi dan pengenalan huruf yang semakin dalam, saya pun mulai sanggup menikmati, memahami bahkan bersimpati dengan karakter-karakternya. Pelan tapi niscaya saya mulai sanggup memahami segala kenakalan yang tampak hanyalah bentuk dari kepolosan mereka sebagai anak-anak/remaja awal. Mereka sama sekali tidak nakal, melainkan ingin bebas dan ingin melaksanakan yang mereka inginkan. Lukas Moodysson berhasil menciptakan saya memahami hal itu ketika dengan begitu halusnya ia menyelipkan beberapa adegan yang menciptakan saya kembali teringat bahwa karakter-karakter dalam film ini masihlah remaja awal yang belum cerdik balig cukup akal dan tidak terlalu jauh dari sosok anak kecil. Disinilah bab ketika We Are the Best! berhasil mengkombinasikan semangat anak kecil dan punk yang seolah begitu berbeda tapi bersama-sama seakan-akan dengan begitu baik.
Punk penuh dengan semangat kebebasan dan keberanian untuk berbicara, meneriakkan isi pikiran. Sedangkan bawah umur kurang lebih sama, mereka ingin bebas melaksanakan yang mereka mau dengan asas bersenang-senang yang kuat. Menarik ketika melihat bagaimana mereka coba melaksanakan coping terhadap musisi punk idola mereka entah itu dari dandanan hingga "meniru" contoh pikir yang tertuang dalam lirik-lirik lagu yang mereka dengarkan. Hal itu terjadi alasannya kepolosan mereka yang mentah-mentah menjiplak hal-hal tersebut, dan Lukas Moodysson dengan begitu baik menampakkan hal-hal tersebut dalam film ini. We Are the Best! juga tidak hanya asal memasukkan banyak unsur punk di dalamnya, alasannya semangat dari punk terebut memang sangat terasa disini. Salah satu momen paling keren tentu saja pada bab titik puncak ketika grup musik dari Bobo, Klara dan Hedvig untuk pertama kalinya manggung di Vasteras. Pada ketika itu saya dibentuk lupa bahwa grup musik yang tampil ialah tiga wanita yang belum dewasa. Ya, usia dan gender memang tidak penting kalau sudah berkaitan dengan spirit dari punk.

Tapi apa guna sebuah film yang berkaitan dengan musik kalau tidak mempunyai lagu-lagu yang anggun bukan? Untungnya We Are the Best! punya banyak lagu-lagu punk yang asyik dengan lirik menarik. Tentu saja yang paling berhasil melekat di otak saya ialah lagu Hate the Sport buatan Bobo dan Klara. Persahabatan yang hadir antara Bobo-Klara-Hedvig pun menarik untuk diikuti khususnya berkat ketiga karakternya yang berbeda dan saling melengkapi satu sama lain. Ada Klara yang tampak sebagai pemimpin dan seenaknya, ada Bobo yang sering minder dan merasa sebagai yang paling tidak terkenal diantara ketiganya, ada juga Hedvig yang paling cerdik balig cukup akal diantara ketiganya. Ditambah dengan akting memikat dari ketiga aktrisnya, makin terasalah persahabatan hangat penuh konflik menarik termasuk percintaan diantara mereka semua. Pada awalnya memang sulit menikamti We Are the Best!, tapi perlahan film ini mulai mengatakan daya tariknya dan menjadi salah satu film dengan huruf bawah umur terbaik tahun ini.

Artikel Terkait

Ini Lho We Are The Best! (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email