Friday, January 11, 2019

Ini Lho 3 Days To Kill (2014)

Menilik nama Luc Besson sebagai produser sekaligus penulis naskah, maka ada dua kemungkinan yaitu sanggup saja film ini yaitu film hiburan brainless yang menyenangkan macam Taken, atau sanggup saja ini hanya film tanpa otak yang benar-benar buruk seperti Colombiana. Satu yang pasti, 3 Days to Kill tidak akan lebih dari sekedar hiburan tanpa otak, apalagi jikalau melihat nama McG (Terminator Salvation, This Means War) di bangku sutradara saya jadi semakin yakin untuk tidak mengharapkan tontonan cerdas dalam film ini. Cukup duduk elok dan nikmati segala hal-hal terbelakang yang memang ditujukan sebagai hiburan semata. Tapi ternyata asumsi saya sedikit meleset. Saya mengira bahwa McG akan lebih banyak berfokus pada adegan agresi berkecepatan tinggi sambil sesekali mengangkat tema keluarga ibarat yang sering dilakukan oleh Luc Besson, tapi ternyata 3 Days to Kill tidaklah "sebombastis" itu. Kisahnya berpusat pada huruf Ethan (Kevin Costner), seorang biro CIA veteran yang masih jadi andalan dalam melakukan kiprah lapangan ibarat ketika ia ditugaskan untuk mengagalkan transaksi bom yang dilakukan oleh Albino (Tomas Lemarquis). Namun misi tersebut tidak berjalan lancar dan Albino berhasil lolos meski Ethan sempat menembak sebelah kakinya.

Albino sendiri berhasil kabur sebab disaat Ethan hampir menangkapnya, ia tiba-tiba jatuh pingsan. Ethan pun kemudian tahu bahwa ia menderita sebuah kanker otak parah dan divonis hanya akan bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Karena penyakit itu jugalah pihak CIA memberhentikan Ethan dari pekerjaannya sebagai biro rahasia. Setelah semua itu, Ethan memutuskan untuk berusaha memperbaiki hubungannyya yang retak dengan sang mantan istri, Christine (Connie Nielsen) dan puterinya, Zoey (Hailee Steinfeld). Tentu saja itu tidak gampang sebab Ethan selama ini sudah meninggalkan keduanya, apalagi Zoey yang alhasil tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Kesempatan bagi Ethan untuk memperbaiki hubungannya yang kaku dengan Zoey tiba ketika Christine harus bekerja keluar kota selama beberapa hari dan menitipkan Zoey pada Ethan. Namun ternyata hal itu juga tidak berjalan dengan lancar sesudah Ethan "dikunjungi" oleh Vivi (Amber Heard), seorang biro CIA yang memerintahkan Ethan untuk membunuh The Wolf (Richard Sammel) yang merupakan atasan dari Albino. Meski awalnya menolak, Ethan alhasil mendapatkan misi tersebut sesudah Vivi memperlihatkan sebuah obat hasil eksperimen yang dikatakan sanggup menyembuhkan penyakit Ethan.
Seperti yang saya katakan diawal tadi, 3 Days to Kill tidaklah sebombastis yang saya perkirakan. Saya benar-benar tertipu oleh kulit luarnya. Dengan judul yang mengandung kata "kill" dan posternya yang sedemikian rupa, gampang untuk mengira bahwa film ini yaitu sebuah action-thriller yang kelam, apalagi mendengar premisnya yang berkisah ihwal seorang jasus yang harus menjalankan misi sembari membina kembali kekerabatan dengan keluarganya disaat ia sedang sekarat. Saya mengira film ini akan punya tone yang ibarat dengan Edge of Darkness yang dibintangi Mel Gibson, tapi nyatanya 3 Days to Kill tidak sekelam itu. Bagian awalnya memang pribadi menampilkan adegan agresi penuh ledakan, seolah menunjukan ini akan menjadi sebuah kisah ihwal secret agent yang bergerak cepat dan memacu adrenaline. Tapi semuanya berubah ketika Ethan mulai mencoba membangun kembali hubungannya dengan Zoey. 3 Days to Kill mendadak berkembang menjadi lebih banyak berfokus pada drama keluarganya sambil sesekali kembali ke ranah action-thriller yang juga dibumbui komedi. Warna filmnya jadi semakin cerah, semakin ringan dan mengesampingkan segala tetek bengek mengenai biro CIA yang berusaha menangkap gerombolan teroris. 
Tapi itu bukanlah hal yang buruk, sebab saya akui drama keluarga dan sentuhan komedinya bekerja dengan cukup baik. Hubungan ayah-anak antara Ethan dan Zoey mungkin tidak hingga terasa begitu menyentuh tapi tetap sanggup terasa elok khususnya berkat chemistry kuat dari Kevin Costner dan Hailee Steinfeld. Komedinya yang cukup baik juga semakin menciptakan kekerabatan keduanya terasa menyenangkan untuk diikuti. Bahkan sentuhan komedi juga terasa cukup kental ketika film ini menampilkan kembali momen aksinya. Bukan sebuah komedi yang menciptakan saya tertawa terbahak-bahak memang, tapi cukup untuk menciptakan saya menikmati segala momen yang dihadirkan McG dalam filmnya ini. 3 Days to Kill juga terlihat bergantung pada sosok Kevin Costner yang tampil maksimal disini. Costner tidak hanya punya kharisma yang membuatnya meyakinkan sebagai biro CIA veteran yang handal tapi juga sanggup menjadi sosok ayah yang "terjebak" dalam perjuangan mencairkan kekerabatan dengan sang puteri yang begitu kaku sesudah sekian lama. Costner juga fasih dalam mengemban porsi komedi yang diberikan padanya. Bahkan dengan wibawa yang ia miliki momen komedi yang ada semakin terasa lucu. Sayangnya sebuah potensi berjulukan Amber Heard gagal dimanfaatkan dengan baik disini. Amber Heard terang punya potensi menjadi scene stealer berkat keseksian dan karakternya yang dingin, tapi hal itu tidak dimaksimalkan. Vivi hanya muncul sesaat untuk kemudian menghilang lagi dan muncul lagi, mengakibatkan karakternya terlihat dipaksakan masuk dan tidak penting. Padahal kekerabatan Vivi dan Ethan sanggup jadi sebuah sajian yang menghibur khususnya lewat obrolan keduanya.

Tidak hanya Vivi, huruf lainnya pun banyak yang terasa hanya tempelan belaka ibarat dua antagonis Albino dan Wolf serta keluarga yang tinggal di rumah Ethan. Khusus untuk Albino dan Wolf kedua penjahat yang begitu lemah dan sangat tidak menarik ini mengakibatkan titik puncak 3 Days to Kill menjadi jauh dari kata menegangkan dan terasa datar. Pada alhasil bukan hanya porsi aksinya saja yang terpinggirkan, tapi juga beberapa subplot yang coba dimasukkan termasuk ihwal sekelompok keluarga yang menumpang di rumah Ethan. Dari situ sangat terasa bahwa naskah yang ditulis oleh Luc Besson dan Adi Hasak punya ambisi yang begitu besar tanpa diimbangi kualitas yang mumpuni. Ada ambisi besar untuk menggabungkan aneka macam macam genre dan aspek-aspek dongeng melalui beberapa subplot, tapi jawaban kualitas yang kurang terjadilah ketidak seimangan porsi yang begitu terasa. Banyak hal yang alhasil hanya terasa numpang lewat dan hambar. Untungnya walaupun adegan aksinya terpinggirkan, tiap kemunculannya dihukum dengan tidak mengecewakan baik hingga tetap terasa menghibur. Secara keseluruhan pun, 3 Days to Kill masih menjadi tontonan yang menghibur meski terang terdapat banyak kebodohan dalam ceritanya, pembagian porsi yang kurang seimbang, beberapa kesan repetitif, serta peralihan momen antara drama keluarga dan agresi yang begitu garang dan dipaksakan.

Artikel Terkait

Ini Lho 3 Days To Kill (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email