Sebutkan sosok monster paling populer sepanjang sejarah perfilman atau bahkan dalam sepanjang sejarah pop culture pasti akan banyak yang menyebut Godzilla/Gojira sebagai jawabannya. Memulai sejarahnya sejak tahun 1954 atau 60 tahun yang lalu, sudah ada sekitar 31 film perihal Godzilla sebelum ini termasuk versi Hollywood yang disutradarai oleh Roland Emmerich pada tahun 1998 lalu. Sayangnya versi Emmerich yang diperlukan bakal menjadi franchise baru malah menjadi kegagalan serta dicaci maki kritikus serta para fans Godzilla. Emmerich dianggap tidak mengerti perihal sang kaiju dan visinya melenceng terlalu jauh sehingga Godzilla miliknya dianggap hanya "nama" belaka atau sering disebut GINO (Godzilla In Name Only). Akhirnya keburukan film tersebut "memaksa" Toho memulai kembali Godzilla setahun kemudian lewat Godzilla 2000 sebelum hasilnya mematikan lagi sang monster dalam Godzilla: Final Wars 10 tahun yang lalu. Selang satu dekade, Gareth Edwards membuat versi reboot dan usaha kedua Hollywood untuk membangun franhise Godzilla. Edwards sendiri dikenal lewat debut penyutradaraannya yang sukses dalam Monsters, sebuah film invasi alien/monster indie. Makara apakah versi Edwards sanggup menghapus mimpi jelek dari versi Emmerich?
Film ini membuka ceritanya dengan beberapa citra perihal beberapa peledakan bom nuklir yang ditengarai menyimpan belakang layar di dalamnya. Pada tahun 1999, ilmuwan Jepang berjulukan Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bersama rekannya, Dr. Vivienne (Sally Hawkins) dipanggil ke Filipina untuk menyidik sebuah inovasi fosil makhluk raksasa beserta dua kepompong/telur yang salah satunya sudah menetas. Di ketika bersamaan, terjadi sebuah kecelakaan di tempat penelitian nuklir yang berada di Jepang. Kecelakaan tersebut menewaskan Sandra Brody (Juliette Binoche) yang tewas di depan mata suaminya, Joe Brody (Bryan Cranston). Joe yang amat terpukul atas insiden tersebut terus meneliti apa yang sesungguhnya terjadi pada hari itu bahkan hingga 15 tahun kemudian. Frod Brody (Aaron Taylor-Johnson) yang sekarang telah menjadi letnan dan merupakan penjinak bom handal suatu hari mengunjungi Jepang sehabis mendapatkan isu bahwa sang ayah ditangkap alasannya yakni melintasi perbatasan tempat karantina. Joe yang dianggap asing oleh sang anak berusaha mengambarkan bahwa ada sosok misterius yang tidak diektahui orang-orang berkeliaran disana. Sosok itu jugalah yang berdasarkan Joe menjadi penyebab kecelakaan 15 tahun yang lalu. Tanpa ada yang tahu sosok itu ternyata berwujud monster-monster raksasa yang siap membawa kehancuran dunia
Satu hal yang membuat aku begitu menantikan film ini yakni sehabis melihat trailer-nya. Disana terlihat bahwa akad Edwards untuk membuat film ini lebih realistis dan epic dengan sekala global yang pastinya sangat luas bukan sekedar akad kosong. Tapi tentu saja itu semua bukan jaminan. Mungkin anda masih ingat bagaimana teaser trailer dari Godzilla milik Roland Emmerich yang epic itu dan dianggap sebagai salah satu teaser paling manis yang pernah dibentuk dengan menampilkan kaki Godzilla mengiinjak fosil T-Rex. Tapi sayangnya apa yang ditampilkan oleh filmnya jauh dari kehebatan teaser-nya. Tapi Gareth Edwards mengambarkan bahwa versinya ini merupakan versi yang jauh dari kata memalukan atau merusak sosok Godzilla meski sayangnya tetap tidak sanggup memenuhi ekspektasi tinggi yang muncul alasannya yakni trailer-nya itu. Godzilla tidak eksklusif dibuka dengan banyak ledakan dan tidak segera menunjukkan sosok sang kaiju. Film ini memulai narasinya dengan tempo sedang yang banyak mengambil waktu untuk memperkenalkan aneka macam karakternya serta aneka macam kisah konspirasi belakang layar yang mengiringi kemunculan para monsternya. Tentu saja bagi anda yang mengharapkan sebuah film full throttle dari awal layaknya Pacific Rim mungkin akan kecewa. Bahkan aku yang mengharapkan film yang lebih humanis dengan drama huruf mencukupi pun kecewa.
Bicara soa kuantitas eksplorasi kisah dan karakter, film ini memang unggul tapi lain halnya dengan kualitas. Meski banyak drama tapi tidak ada yang sanggup menyentuh dan membuat aku bersimpati dengan huruf yang ada. Kebanyakan karakternya tetap saja terasa setipis kertas. Hal ini tentu saja mengurangi ketegangan dalam menonton. Film ini sebetulnya punya tiga opsi sebagai fokus Yang pertama yakni karakter, yang kedua yakni usaha umat manusia, yang ketiga yakni eksploitasi sosok Godzilla. Pada hasilnya yang dipilih Edwards yakni poin pertama untuk kemudian mengembangkannya dengan poin kedua mendekati titik puncak sambil sesekali menunjukkan kehebatan Godzilla. Mungkin ini dimaksudkan untuk menunjukkan "hati" pada film ini hingga tidak berakhir hanya sebagai film monster yang pamer CGI, namun alasannya yakni eksplorasi karakternya yang kurang berhasil film ini malah jadi terasa bertele-tele dan membosankan di beberapa bagian. Kualitas naskah yang kurang kuat juga jadi penyebab utama kegagalan film ini dalam membuat studi huruf yang baik. Salah satu yang paliing menunjukkan kekurangan naskahnya yakni begitu sering muncu "kebetulan konyol" disini. Semisal huruf A ada di tempat B, maka kaiju akan ada di tempat itu dengan alasan yang dipaksakan, dan disaat si monster kembali berpindah temat, ia akan berada di tempat D dimana huruf C sedang ada disana.
Kegagalan tersebut membuat satu lagi sasaran yang dicanangkan Edwards gagal terpenuhi, yakni membuat sebuah film epic berskala global yang menunjukkan bagaimana umat insan berjuang dan bertahan hidup dari serbuan monster-monster raksasa. Pada klimaksnya, Edwars menampilkan pertempuran "dua sisi", yakni Godzilla melawan dua monster lain dan para tentara yang dipimpin Ford yang berusaha mengamankan bom nuklir. Saya suka bagaimana film ini mencoba menyeimbangkan hal itu sambil menjaga kesan realistis. Realistis alasannya yakni kita tidak akan melihat para insan yang sukses menghajar kaiju raksasa layaknya Shia LaBeouf yang sanggup mengalahkan para Decepticon. Tapi lagi-lagi aku merasa usaha yang dihasilkan kurang epic. Lemahnya Aaron Taylor-Johnson sebagai lead actor juga cukup berpengaruh. Andaikan Joe Brody dengan karakternya yang lebih menarik dijadikan sosok lead saya yakin film ini akan lebih menarik lagi. Tapi untungnya kelemahan ini sanggup ditambal oleh pertempuran para monster yang memang luar biasa. Dengan desain monster yang manis serta CGI yang memikat, pertempuran ketiga monster di klimaksnya benar-benar seru dan menarik untuk dinikmati.
Bicara soal sosok Godzilla, banyak yang mengkritisi kemunculannya yang minim. Meski punya desain manis yang setia pada versi aslinya, jikalau ditotal kemunculan sang monster tidak mencapai 30 menit yang terang amat minim mengingat durasi film yang mencapai 2 jam. Tapi aku sendiri merasa itu bukan persoalan besar alasannya yakni sekalinya muncul Godzilla terasa luar biasa dan begitu gampang disukai sebagai monster keren yang badass. Yang paling aku sukai terang dikembalikannya sosok Godzillla dari sekedar monster tidak terang yang berkeliaran kesana kemari dan mengerami telur dalam versi Emmerich menjadi Godzilla sang monster anti-hero keren yang ditasbihkan sebagai The King of Monster. Hal ini sangat berkhasiat alasannya yakni dengan begini dominan penonton yang mengetahui versi Godzilla dari versi Emmerich sanggup tahu sosok sang monster yang sesungguhnya. This is the rea Godzilla! Mungkin pada hasilnya film ini tidak sanggup memenuhi ekspektasi aku dengan terlalu bertele-tele pada drama huruf yang tidak efektif dibandingkan mengeksplorasi usaha mati-matian insan menghadapi kaiju layaknya Pacific Rim. Tapi setidaknya film ini sudah berhasil menunaikan misi mulianya, yakni untuk menunjukkan siapa sesungguhnya Godzilla sang raja monster. Tentu saja aku sangat menantikan sekuel film ini yang kabarnya akan mengambil pandangan gres dari Destroy All Monsters yakni perihal sebuah pulau yang berisi galeri monster-monster musuh Godzilla. Semoga kita sanggup melihat King Ghidorah atau Destroyah disana.
Ini Lho Godzilla (2014)
4/
5
Oleh
news flash