Masih segar di ingatan kita bagaimana tujuh tahun kemudian 300 sukses besar dan memperlihatkan laba dalam banyak sekali hal. Secara kualitas memang film tersebut sangat style over substance alasannya yaitu diluar gaya stylish Zack Snyder dalam menghantarkan adegan aksinya, film tersebut tidaklah punya kualitas dongeng yang bagus. Tapi toh aku sendiri tidak peduli dengan ceritanya yang tipis alasannya yaitu film tersebut mampu menghadirkan sebuah film unsur machoisme dalam balutan agresi yang penuh dengan semangat bertempur luar biasa. Penggunaan slow motion dan green screen berlebihannya ternyata berhasil membuat sebuah tontonan keren yang brainless tapi sangat menghibur. Film itu pun sukses mendapat lebih dari $450 juta dari bujetnya yang hanya $65 juta. Selain itu 300 juga berhasil melambungkan nama Zack Snyder dan Gerard Butler. Snyder yang tadinya hanya dianggap "beruntung" ketika berhasil me-remake Dawn of the Dead berkembang menjadi salah satu sutradara besar Hollywood. Sedangkan Gerard Butler sekarang menjadi A-list pemeran dan sosoknya sebagai King Leonidas dianggap sebagai salah satu ikon machoisme. Tentunya tidak lupa kalimat ikonis "This is Sparta!" itu. Tujuh tahun berselang, sekuelnya pun dibentuk dengan bujet yang hampir dua kali lipat. Tidak ada lagi Snyder sebagai sutradara (kali ini ia menjadi penulis naskah bersama Kurt Johnstad), Gerard Butler hanya muncul dalam flashback, dan tentunya 300 orang prajurit Sparta itu telah mati dengan penuh pujian dalam peperangan. Kaprikornus apa lagi yang dapat diceritakan?
Ceritanya diangkat dari novel grafis berjudul karya Frank Miller yang berstatus unpublished, film yang awalnya bertajuk Battle of Artemisium ini akan menjadi prekuel, sidekuel sekaligus sekuel dari 300-nya Snyder. Sebagai prekuel alasannya yaitu Rise of an Empire akan mundur beberapa tahun sebelumnya, tepatnya ketika terjadi battle of marathon yang melibatkan pasukan Persia melawan Yunani. Saat itu Yunani yang dipimpin oleh Themistokles (Sullivan Stapleton) nekat menyerbu pasukan Persia yang punya jumlah pasukan jauh lebih besar. Peperangan tersebut berujung pada kekalahan bagi Persia sehabis raja Darius (Yigal Naor) tewas ditangan Themistokles. Themistokles pun dikenal sebagai pendekar perang yang legendaris. Namun disisi lain ia menyadari sebuah kesalahan alasannya yaitu tidak membunuh putera Darius, Xerxes (Rodrigo Santoro). Karena hasutan dari Artemisia (Eva Green) yang merupakan komandan pasukan maritim Persia, Xerxes pun dipenuhi dendam atas maut sang ayah dan menyerahkan dirinya pada kejahatan hingga berkembang menjadi Xerxes sang raja para dewa. Hal itulah yang kesannya berujung pada invasi besar-besaran Persia terhadap Yunani yang salah satu pertarungannya sudah kita saksikan dalam film pertamanya. Dalam Rise of an Empire kita akan melihat pertempuran lain yang berlangsung ketika itu dan setelahnya, yakni pertempuran di lautan antara pasukan yang dipimpin Themistokles melawan Artemisia yang masih menyimpan dendam pada Yunani dan bersumpah akan menghancurkan negeri tersebut.
Semua hal yang jadi daya tarik 300 dimunculkan lagi disini. Penggunaan green screen di medan pertempuran, dampak slo-mo berlebihan, hingga pertempuran brutal penuh darah dan serpihan badan yang berhamburan ada disini. Kali ini medan pertempuran diperluas dengan menampilkan perang diatas lautan dengan skala yang tentunya jauh lebih besar. Noam Murro dapat dibilang punya kiprah yang gampang-gampang susah disini. Gampang alasannya yaitu Murro sudah punya segala blueprint kesuksesan 300 dari Snyder. Ibaratnya ia hanya perlu melanjutkan apa yang sudah ada dan mengembangkannya menjadi lebih besar lagi. Hal itu terbukti cukup berhasil alasannya yaitu momen pertempuran yang hadir disini terasa seru dan sangat menghibur. Mulai dari medan lautan yang penuh dengan kapal Yunani dan Persia saling berkelahi dan menghancurkan satu sama lain hingga pertempuran diatas kapal dan daratan yang menghadirkan banyak momen pedang membelah badan insan yang menumpahkan berliter-liter darah CGI kearah layar. Ditambah iringan scoring bombastis milik Junkie XL yang juga terlibat dalam penggarapan musik The Dark Knight Rises dan Man of Steel bersama Hans Zimmer makin membuat adegan peperangannya terasa seru. Dengan skala yang lebih besar dan lebih brutal memang sudah seharusnya Rise of an Empire mampu jadi tontonan yang menghibur. Tapi sayangnya ada satu hal yang membuat film ini tetap tidak dapat menandingi tingkat epic dari 300 yaitu semangatnya.
300 milik Snyder jadi begitu andal alasannya yaitu memperlihatkan bagaimana luar biasanya usaha 300 orang Sparta melawan pasukan Persia yang jumlahnya berpuluh kali lipat. Kita dibentuk sangat bersimpati dan mengagumi usaha tersebut alasannya yaitu semangat meluap-luap yang terpancar di dalamnya. Apalagi ada sosok Leonidas yang badass dan penuh kharisma itu. Pada kesannya tiap tebasan pedang hingga maut yang tersaji di layar jadi begitu bermakna meski tidak ada kisah latar belakang huruf yang mendalam. Hal itulah yang tidak dimiliki sekuelnya ini. Perjuangan pasukan Yunani disini tidak terasa sehebat para Sparta di film pertamanya. Tidak ada rasa "pertempuran bunuh diri yang mustahil" dari usaha mereka disini. Apalagi jikalau kita membandingkan Themistokles dengan Leonidas. Sullivan Stapleton terperinci sudah berusaha sekuat tenaga memerankan sosok pemimpin berkharisma yang disegani, tapi dibandingkan Butler sebagai Leonidas terperinci tidak ada apa-apanya. Hubungan ayah-anak di medan perang yang muncul lagi juga tidak terasa seemosional film pertamanya. Belum lagi sosok Xerxes yang tidak dieksplorasi meski faktanya film ini diangkat dari novel grafis berjudul namanya. Tapi untungnya ada sosok Artemisia milik Eva Green yang mencuri perhatian. Dengan latar belakang kelam yang melahirkan sosok prajurit perempuan bertatapan mata bengis dan tidak kenal ampun, Eva Green sebagai Artemisia yaitu scene stealer disini.
Rise of an Empire beberapa kali menampilkan flashback serta dialog-dialog yang menyinggung usaha Sparta pimpinan Leonidas. Disini Sparta dianggap sebagai martyr yang menyulut usaha rakyat Yunani untuk bersatu melawan Persia. Faktanya hal tersebut justru membuat aku semakin merindukan para Sparta tersebut dan makin menenggelamkan pesona para prajurti Yunani disini. Pada kesannya salah satu momen terbaik film ini yaitu pada klimaksnya disaat pasukan Sparta yang sekarang dipimpin istri Leonidas, Queen Gorgo (Lena Headey) datang di medan pertempuran. Ya, momen itu terasa begitu luar biasa hingga membuat aku ingin berteriak "This is Sparta!" ketika kapal-kapal mereka perlahan mulai terlihat. Penampilan lena Headey di titik puncak inipu ncukup mencuri perhatian meski masih kalah dari Eva Green tapi itu hanya alasannya yaitu persoalan porsinya yang memang lebih sedikit. Tapi semoga bagaimanapun 300: Rise of an Empire masihlah sebuah film brainless yang menghibur, malah dapat dibilang bagus. Memang semangat dari para Sparta tidak dapat ditandingi film ini, tapi kebrutalan dan serunya adegan peperangan disini sudah cukup membuat aku sangat puas. Yang jelas, film 300 tanpa Sparta terperinci hambar, alasannya yaitu pada kesannya kemunculan pasukan Sparta di final itulah yang mampu membuat aku hingga merinding dan lagi-lagi ingin berteriak kencang di dalam bioskop...THIS IS SPARTA!!!
Ini Lho 300: Rise Of An Empire (2014)
4/
5
Oleh
news flash