Saturday, January 12, 2019

Ini Lho The Act Of Killing (2012)

Salah satu momen paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia yakni insiden G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut kisah dan pelajaran sejarah yang diceritakan secara turun temurun, pada ketika itu Partai Komunis Indonesia berusaha melaksanakan perebutan kekuasaan dengan cara membantai Jenderal-jenderal Tentara Nasional Indonesia untuk kemudian mayat mereka dibuang di lubang buaya. Berdasarkan dongeng sejarah pula kemudian Jenderal Soeharto memimpin penumpasan PKI yang pada hasilnya berujung pada jatuhnya Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sohearto pun dijadikan satria dan kala orde gres melahirkan banyak sekali macam iktikad yang pada pada dasarnya menjadikan PKI sebagai musuh bangsa yang harus ditumpas. Salah satu propaganda yang muncul yakni film G30S/PKI garapan Arifin C.Noer yang pada masa orde gres yakni film wajib putar setiap tahunnya. Namun kebenaran akan banyak sekali kisah sejarah tersebut hingga kini masih dipertanyakan. Banyak yang menganggap bahwa masih ada begitu banyak belakang layar yang tidak diungkapkan kepada publik, termasuk apa yang akan disajikan oleh sutradara Joshua Oppenheimer dalam The Act of Killing atau yang memiliki judul Indonesia Jagal ini. Saya yakin selain saya ada banyak orang Indonesia yang tidak tahu bahwa proses penumpasan PKI yang terjadi pada 1965-1966 juga melibatkan pembantaian yang tidak kalah kejam dengan yang dilakukan PKI itu sendiri.

Kita akan diajak berkenalan dengan sosok Anwar Congo, seorang laki-laki renta berusia 70-an tahun yang tinggal di Medan. Di masa mudanya dulu, Anwar yakni seorang preman bioksop yang mengambil laba sebagai tukang catut tiket bioskop, hingga kemudian terjadilah pemberontakan 30 September tersebut. Untuk melaksanakan penumpasan, ternyata bukan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan kepolisian yang digunakan melainkan adonan para preman yang dengan cepat membantai orang-orang yang diyakini sebagai antek PKI. Anwar sendiri pada masa itu bisa membunuh hingga ribuan orang. Dalam The Act of Killing kita akan diajak bernapak tilas bersama Anwar Congo melihat kembali bagaimana dulu ia dan teman-temannya sesama preman melaksanakan pembunuhan. terhadap anggota PKI. Segala aspek yang ada dijelaskan dengan mendetail oleh Anwar termasuk bagaimana caranya melaksanakan pembunuhan. Sebuah pemandangan mencengangkan sekaligus mengerikan ketika film ini memperlihatkan bagaimana Anwar yang sudah lanjut usia ini melaksanakan reka ulang metode membunuh yang ia lakukan dengan sangat santai bahkan dihiasi senyum di mulutnya serta diiringi tarian yang dulu ia lakukan dibawah efek alkohol dan marijuana.

Cerita yang disajikan dalam dokumenter ini memang mengejutkan, tapi dibalik itu apa yang tersaji dari para narasumbernya termasuk Anwar Congo terasa jauh lebih mengejutkan serta terasa disturbing. Tidak hanya mereka ulang banyak sekali metode membunuh secara detail, tapi mereka juga mengungkapkan pembantaian yang mereka lakukan dengan penuh kebanggan selayaknya satria bangsa. Tidak ada momen berdarah-darah yang kelewat mengerikan disini, tapi banyak sekali kalimat yang dilontarkan oleh narasumbernya sudah terasa begitu mengerikan. Bagaimana Anwar Congo menggambarkan ia menebas kepala seorang PKI hingga putus dan matanya masih terbuka, hingga ratifikasi seorang anggota Pemuda Pancasila yang dengan santainya bercerita bagaimana ia memperkosa anak perempuan berusia 14 tahun yang disinyalir sebagai Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, sebuah organisasi perempuan yang ditengarai terlibat dalam G30S/PKI). Dalam dunia film, kata-kata bahkan tindakan menyerupai itu terperinci biasa, tapi masalahnya yang tertuang dalam film ini yakni kenyataan yang diucapkan eksklusif oleh para pelakunya...dan mereka besar hati akan hal tersebut.

The Act of Killing juga tidak hanya mengeksplorasi sosok Anwar Congo, sebab orang-orang disekitarnya termasuk organisasi Pemuda Pancasila yang juga berperan besar dalam pembantaian PKI turut dijadikan materi sorotan. Sama menyerupai Congo dan rekan-rekan preman bioskopnya, mereka dalam Pemuda Pancasila termasuk para petingginya terlihat begitu besar hati akan apa yang telah mereka lakukan dalam upaya menyelamatkan bangsa ini. Saya sendiri hanya dibentuk termangu ketika para petingginya saling bertukar kalimat seenak jidat perihal banyak sekali hal seputar pembantaian PKI hingga kalimat-kalimat tidak sopan mengenai perempuan dan hal berbau seksualitas. Keterlibatan organisasi paramiliter serta preman-preman (atau yang disebut berasal dari kata free man) dalam catatan sejarah ini juga mengakibatkan cukup banyak perenungan. Satu yang paling kental yakni munculnya pertanyaan mengenai siapa yang lebih kejam, apakah PKI atau Anwar Congo dan rekan-rekannya? Tentu saja saya tidak memiliki hak untuk menilainya, namun satu hal yang niscaya bahwa sebuah langkah ekstrim yang bahkan mengharuskan menghilangkan nyawa banyak orang terkadang perlu dilakukan untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang sahabat Anwar Congo bahwa kebenaran itu sifatnya relatif bukan?
Tidak lupa film ini akan mengajak kita menelusuri secara lebih jauh mengenai pergolakan batin yang dirasakan oleh para pelaku pembantian tersebut khususnya Anwar Congo. Memang betul ia besar hati dengan segala kontribusinya bagi bangsa ini, namun jauh di dalam hatinya Anwar Congo juga mencicipi penyesalan serta ketakutan yang luar biasa akhir dosa masa kemudian tersebut. Sebuah ketakutan yang membuatnya terus bermimpi jelek hingga di usia renta kini ini. Aspek inilah yang pada hasilnya mampu membuat saya tidak dengan gampang menyalahkan salah satu pihak dimana meski perbuatan Anwar Congo terasa begitu kejam namun ia melaksanakan itu semua memang sebab paksaan kondisi dan harus diakui perbuatannya itu berperan besar bagi perkembangan Indonesia sekarang. Bahkan sebuah adegan yang menampilkan Anwar Congo meratapi perbuatannya mampu membuat saya meneteskan air mata. Sebuah air mata yang semakin membuat saya yakin bahwa apa yang disebut kebenaran merupakan hal yang sifatnya relaitf.

Penggarapan dari Joshua Oppenheimer juga memegang kunci penting dalam kehebatan The Act of Killing bertutur. Saya sendiri menonton versi director's cut yang berdurasi 159 menit (versi yang dirilis luas hanya berdurasi 115 menit). Kemudian dalam durasi lebih dari dua setengah jam tersebut, Joshua mampu mengaburkan batasan antara sebuah dokumenter dan narasi fiksi dengan begitu baik yang membuat saya tetap betah menikmati apa yang ia sajikan. Adegan yang bergantian antara interview dengan reka ulang yang terasa surreal bahkan beberapa diantaranya dihiasi sinematografi menawan memang menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Nuansa surreal yang timbul tidak lain sebab sebuah "trik" dari Joshua yang ia lakukan suapaya membuat para narasumber bersedia bermain dalam film ini. Trik apa yang saya maksud bisa anda cari di banyak sekali artikel di internet yang pada hasilnya membuat kontroversi besar yang berujung pada dilarangnya Joshua untuk membuat film di Indonesia lagi. Namun bagi saya, trik dari Joshua malah berujung pada sebuah dokumenter yang blak-blakan dan dikemas secara unik dan indah. Presentasi macam ini tidak akan ditemui dalam dokumenter konvensional yang digarap dengan cara yang biasa pula.

The Act of Killing terperinci sebuah sajian yang mengerikan dan provokatif serta rawan kontroversi. Namun diluar benar atau tidaknya tuduhan penipuan yang dilakukan Joshua saya tetap merasa patut memuji dan berterima kasih padanya, sebab berkat Joshua saya menjadi mengetahui satu lagi sejarah kelam bangsa ini yang ditutup-tutupi lewat doktrinasi luar biasa. Memang benar bahwa sejarah yang tercatat merupakan sesuatu yang diinginkan diketahui oleh para penguasa, sedangkan kenyataan yang sebetulnya mungkin terkubur jauh dan mulai terlupakan seiring dengan waktu. The Act of Killing yakni sebuah dokumenter yang benar-benar memperlihatkan begitu banyak pengetahuan gres yang penting bagi saya dan dirangkum dengan begitu mengerikan namun disisi lain juga terasa indah beberapa kali menampilkan adegan lucu yang bisa memancing tawa (ya, tawa yang muncul dalam sebuah film kejam mengenai pembantaian massal) dan juga menyentuh lewat eksplorasi dalamnya mengenai rasa bersalah seorang manusia. Saya sendiri masih terngiang adegan dibawah gerojokan yang diiringi oleh lagu Born Free, sangat indah!

Artikel Terkait

Ini Lho The Act Of Killing (2012)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email