Jika anda kesulitan untuk menghafalkan judulnya yang super panjang tersebut sebut saja film ini dengan judul lainnya yakni Don't Talk Love. Setelah menciptakan debut penyutradaraan yang luar biasa lewat fiksi. lima tahun lalu, Mouly Surya kembali lagi lewat film yang melakoni world premiere di Sundance Film Festival awal tahun ini. Sempat kecewa alasannya ialah gagal menonton film ini di bioskop sesudah hanya ditayankan tidak hingga satu ahad di Jogja alhasil saya berkesempatan juga menontonnya di ajang Jogja Asian Film Festival 2013. Setelah sebelumnya menyoroti kisah unik dalam sebuah rumah susun yang tiap lantainya terdiri dari para penghuni yang mempunyai keunikan masing-masing kali ini Mouly Surya akan membawa kita menyaksikan kisah-kisah cinta yang terjalin diantara orang-orang berkekurangan fisik yang berada di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB). Setelah sebuah opening indah diiringi lantunan lagu "Burung Camar" milik Vina Panduwinata, kita akan diperkenalkan pada satu per satu abjad yang akan menjalin kisah cintanya dalam film ini.
Yang pertama ada Diana (Karina Salim) yang menderita kekurangan pada penglihatannya (low vision). Diana sendiri sudah cukup usang menyukai temannya, Andhika (Anggun Priambodo) yang merupakan seorang tuna netra. Segala cara dilakukan oleh Diana untuk menarik perhatian Andhika walaupun disisi lain Andhika sudah mempunyai seorang kekasih. Kemudian ada sahabat sekamar Diana, Fitri (Ayushita), seorang tuna netra yang menjalin hubungan dengan Lukman (Khiva Iskak) seorang laki-laki yang nampaknya hanya ingin memanfaatkan kekurangan Fitri untuk menikmati tubuhnya. Disisi lain Fitri belakang layar disukai oleh Edo (Nicholas Saputra) yang merupakan anak dari ibu-ibu penjual masakan di sekolah tersebut (Jajang C. Noer). Edo sendiri juga merupakan seorang penderita bisu dan tuli. Kita kemudian akan diajak untuk melihat bagaimana masing-masing kisah cinta tersebut menemukan jalannya lewat cara serta perjuangan unik yang ditempuh masing-masing karakternya untuk mendapat cinta mereka.
Mungkin menikmati Don't Talk Love bukanlah hal yang gampang mengingat bagaimana Mouly Surya mengemas filmnya ini. Dengan format yang dapat dibilang masuk kategori arthouse film ini terperinci bukan selera semua orang. Alurnya berjalan cukup lambat, minim dialog, banyak adegan statis, gambar-gambar yang indah namun membisu serta beberapa momen narasi yang cukup absurd. Namun jikalau bicara kisah intinya apa yang dihadirkan oleh Mouly Surya disini ialah kisah cinta yang begitu sederhana dan gampang dicerna. Dengan meminggirkan sejenak fakta bahwa masing-masing tokohnya mempunyai kekurangan fisik sesungguhnya ini ialah kisah cinta remaja yang sudah begitu banyak diangkat ke dalam film. Lebih detailnya ini ialah kisah wacana orang-orang yang secara belakang layar menyayangi seseorang dan berusaha untuk mendapat atensi dari orang tersebut. Namun dalam Don't Talk Love Mouly Surya mengemasnya dengan abjad yang unik dan perjuangan yang jauh lebih unik yang mereka lakukan untuk mendapat atensi tersebut. Tapi walaupun mempunyai abjad berkekurangan bukan berarti film ini menampilkan drama super melankolis yang mengumbar kekurangan mereka sebagai perjuangan meraih simpati penonton. Justru sebaliknya film ini malah mencoba memperlihatkan bahwa mereka sama dengan kita yang "lebih utuh" apalagi jikalau itu sudah berbicara wacana cinta.
Seperti yang sudah saya singgung diatas pengemasan Don't Talk Love mungkin akan menciptakan beberapa penonton kurang dapat menikmatinya, namun bagi saya ini ialah sebuah sajian indah nan mendalam yang jarang saya temui dalam industri perfilman Indonesia. Don't Talk Love punya rangkaian gambar yang disajikan dengan sudut pandang yang luar biasa indah. Gambar-gambarnya bagaikan sebuah visualisasi puisi yang mengalun perlahan dengan begitu indahnya. Belum lagi ditambah dengan iringan musik-musik yang mampu memperkuat suasana tiap-tiap adegan. Bicara soal musik siapa yang tidak akan terngiang dengan lagu "Nurlela" milik Bing Slamet seusai menonton film ini? Namun sekali lagi walau mempunyai rangkaian musik yang bagus, film ini akan lebih banyak bicara dengan rangkaian gambar daripada suara. Berbagai momen terasa sunyi bahkan ada beberapa menit yang tanpa obrolan bahkan imbas bunyi apapun demi menggambarkan apa yang dirasakan mereka penderita tuna rungu. Tidak jarang muncul sudut pengambilan gambar yang begitu unik dan tentu saja indah. Salah satu yang paling saya suka ialah ketika Edo mengintip dari lubang pintu ketika Fitri bekerjasama seks dengan Lukman dan ketika itu keduanya bahwasanya saling "bertatapan" meski dibatasi pintu yang bagaikan pembatas cinta mereka ketika itu.
Tentu saja ibarat fiksi. film ini akan menghadirkan beberapa adegan berkaitan dengan seksual yang mungkin akan terlihat vulgar dibandingkan film lokal lain. Tapi bagi saya semua itu ialah adegan substansial yang tidak hanya asal mengumbar sensualitas yang seronok. Semuanya menggambarkan bagaimana hasrat cinta karakternya hingga penderitaan yang mereka alami. Jika ditengok secara lebih jauh lagi bagi saya ini ialah sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana mereka yang berkekurangan pun mengalami hal yang sama dengan orang-orang lainnya entah itu rasa cinta, penderitaan dalam hati hingga kisah pendewasaan yang juga diselipkan. Kemudian pertanyaan akan muncul wacana sebuah adegan abstrak yang bagaikan menyelipkan sebua alternate universe di pertengahan filmnya. Bagi saya tidak penting mana yang sesungguhnya prime universe dan mana yang alternate alasannya ialah intinya adegan tersebut muncul untuk memperlihatkan bahwa kisah cinta mereka yang berkekurangan juga tidak berbeda dengan orang lainnya bahkan dalam beberapa hal mereka punya kelebihan dibalik kekurangannya itu. Mereka dapat lebih sensitif dalam mencicipi apa dan siapa yang ada di sekitar mereka. Itu bukanlah sekedar adegan abstrak belaka melainkan sebuah momen esensial yang berkhasiat untuk memperkuat pesan yang terkandung dalam filmnya. Setidaknya menurut interpretasi saya terhadap adegan itu dan pesan filmnya secara keseluruhan.
Don't Talk Love juga masih sempat menyelipkan banyak sekali humor-humor yang begitu efektif memancing tawa dimana banyak pula komedi gelap yang tersaji disini. Secara keseluruhan ini ialah sebuah kisah cinta yang begitu humanis dan tidak perlu memperlihatkan dramatisasi berlebihan khususnya berkaitan dengan kekurangan yang dimiliki tokoh-tokohnya. Indah baik secara visual, musik hingga ceritanya What They Don't Talk About When They Talk About Love ialah sebuah sajian yang begitu indah, puitis dan hingga ketika ini ialah film Indonesia terbaik tahun ini bahkan mungkin dalam beberapa tahun terakhir. Cinta memang tidak harus selalu dikatakan secara verbal, bahkan lewat tatapan dan perbuatan tersirat pun cinta dapat disampaikan dengan faktual dan tulus.
Ini Lho What They Don't Talk About When They Talk About Love (2013)
4/
5
Oleh
news flash