Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Retrospective Review - Amen (2011)

Seperti yang sebelumnya saya tuliskan dalam retrospective review untuk Pieta, saya berniat menonton ulang beberapa film Kim Ki-duk yang sebelumnya sudah saya tonton namun kurang berkesan. Kali ini yang saya tonton ulang ialah Amen, sebuah film yang bisa dibilang menjadi mengambarkan kembalinya Kim Ki-duk menciptakan film drama sehabis sebelumnya comeback lewat dokumenter Arirang. Bisa dibilang Amen ialah wujud sesungguhnya dari istilah low budget movie dimana film ini memang digarap dengan dana yang sangat minim, hanya menggunakan satu kamera berkualitas rendah, dan hanya memiliki dua orang kru yakni Kim Ki-duk yang disini menjadi sutradara, pemain, kameramen sekaligus editor dan Kim Ye-na yang menjadi aktris utama merangkap sebagai juru kamera. Sedikit menceritakan ulang kisahnya, Amen bercerita wacana seorang perempuan (Kim Ye-na) yang melaksanakan perjalanan sendirian ke Paris untuk mencari seorang laki-laki berjulukan Lee Myung-soo. Siapakah Lee Myung-soo? Diawal kita hanya bisa berspekulasi bahwa beliau ialah seseorang yang sangat berharga bagi perempuan tersebut, mungkin pacarnya. Tapi sehabis mendatangi alamat yang dituju, Myung-soo ternyata sudah pindah ke Venezia. Maka perempuan itupun mulai melanjutkan pencariannya ke Venezia hingga nantinya hingga di Avignon. 

Namun dikala ia tengah tertidur di kereta api, masuklah seorang laki-laki misterius yang menggunakan masker (Kim Ki-duk) yang lalu memperkosa perempuan tersebut dan mengambil barang-barangnya termasuk paspor dan sepatu. Ya, ini ialah satu lagi kisah Kim Ki-duk mengenai dongeng cinta gila yang dibalut unsur seksualitas. Salah satu hal yang paling mengganggu saya pada pengalaman pertama menonton film ini ialah aspek artistiknya yang terasa begitu agresif dan amatiran. Kamera berkualitas minim, pergerakan kamera serta editing yang kasar, hingga tata bunyi yang tidak jernih dimana noise yang ada begitu besar. Bahkan jikalau dibandingkan film debutnya, Crocodile, tata bunyi dalam Amen lebih buruk. Namun kali ini saya mendapat perasaan yang lain mengenai tata artistik tersebut. Kualitas gambar dan pergerakan kameranya memang kurang baik, tapi dengan bangun di belakang kamera, Kim Ki-duk nampak begitu peka dalam menangkap gambar-gambar indah yang bisa mendukung esensi dongeng serta atmosfer film ini. Sedangkan tata suaranya yang penuh noise justru menciptakan saya bisa mencicipi keterasingan yang dirasakan oleh sang wanita. Seperti beliau saya tidak mengenal orang-orang lain yang ada di sekitar dan tidak mengerti bahasa Prancis ataupun Italia. Dengan rangkaian noise itu suasana berada diantara keramaian yang asing seolah benar-benar terasa. Bisa jadi memang itu tujuan Kim Ki-duk, sebab rasanya mustahil ia lalai ataupun malas mengedit bunyi yang terasa begitu agresif ini.

Melihat Amen saya kini justru terpukau dengan bagaimana semangat seorang Kim Ki-duk dalam menciptakan film. Tidak peduli keterbatasan yang ada beliau tetap berusaha melaksanakan sesuatu yang amat ia cintai dalam hidupnya. Saya pun kagum pada bagaimana kepekaan rasa yang dimiliki oleh Kim disini. Amen dibentuk memang tanpa naskah. Kim Ki-duk dan Kim Ye-na berangkat ke Paris hingga Avignon tanpa berbekal naskah yang pasti. Maka dari itu saya merasa bahwa apa yang tersaji di layar ialah murni perwujudan rasa yang impulsif dari sang sutradara. Mungkin saja Amen justru bisa menjadi verbal paling personal dari Kim Ki-duk diluar Arirang. Yang dilakukan Kim ialah melihat sekitar dan mencoba memaknai apa saja yang bisa ia tangkap dari hal-hal di sekelilingnya. Kim Ki-duk mampu mewujudkan adegan-adegan penuh kebimbangan, kesedihan serta amarah dari tokoh utamanya meski tidak berbekal naskah cerita. Maka yang menjadi bekal ialah verbal rasa yang tertuang dari kamera yang dipegangnya. Pada akibatnya dongeng dalam Amen memang tetap terasa sebagai sebuah short movie yang dipanjangkan, tapi kali ini saya tidak merasa ceritanya dipaksakan ataupun membosankan. Pada pengalaman menonton kali ini saya berhasil dibentuk tersedot oleh keindahan yang mengiringi perjalanan penuh resah dari Kim Ye-na.
Untuk interprtasi ceritanya, kali ini saya mendapat interpretasi yang berbeda dari apa yang sebelumnya saya dapatkan. Untuk membaca interpretasi saya yang pertama silahkan buka review Amen. Kali ini saya memandang apa yang terjadi antara si perempuan dengan pemerkosa bermasker tersebut sebagai perwujudan kisah cinta yang dihalangi oleh miskomunikasi. Sang perempuan merasa takut dan benci pada perbuatan laki-laki bermasker. Tentu saja itu wajar, sebab laki-laki itu tiba memperkosa bahkan mengambil barang-barangnya. Namun disisi lain gotong royong laki-laki tersebut justru menyayangi si wanita. Dia secara belakang layar membantu perempuan tersebut bertahan hidup di negeri yang asing baginya, Namun keduanya tidak bisa bersatu sebab tidak adanya pemahaman dan interaksi yang memadahi diantara mereka berdua. Sang laki-laki seolah terasa sebagai pencinta yang tidak mampu atau mungkin tidak mengerti bagaimana mengutarakan/memperlihatkan wujud rasa cintanya. Apa yang ia lakukan sebagai wujud rasa cinta justru sebuah tindakan seksual, yang seolah memperlihatkan citra mengenai apa yang sering terjadi dalam korelasi percintaan di masa kini ini.

Dengan dua interpretasi yang saya miliki, menciptakan saya tidak lagi memandang Amen sebagai sebuah film yang nonsense meski saya tetap merasa ceritanya kurang mendalam jikalau dibandingkan karya Kim Ki-duk yang lain tapi setidaknya kali ini saya bisa jauh lebih menikmati bahkan mengagumi beberapa momen yang ditampilkan oleh sang sutradara. Setelah selesai menonton ulang, saya justru dibentuk tersenyumk sebab mencicipi ironi dari filmnya, dimana awalnya ini ialah kisah wacana perempuan yang mencari seorang laki-laki namun justru diakhiri dengan perempuan itu pulang membawa bayi dalam kandungannya. Terasa sedikit familiar dengan fenomena korelasi percintaan cukup umur ini. Saya masih tidak mengubah pandangan saya bahwa Amen merupakan salah satu karya Kim Ki-duk yang paling lemah. Namun setidaknya sehabis menengok kebelakang sekali lagi, Amen tidak menjadi sebuah film yang mendapat evaluasi negatif dari saya.

Artikel Terkait

Ini Lho Retrospective Review - Amen (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email