Saturday, January 12, 2019

Ini Lho The Hunger Games: Catching Fire (2013)

Dengan pendapatan mendekati $700 juta dan respon positif para kritikus maka bisa dipastikan tidak perlu menunggu waktu usang bagi The Hunger Games untuk mendapat sekuelnya. Hanya berjarak setahun sekuelnya yang bertajuk Catching Fire pun dirilis. Terjadi pergantian orang di belakang layar. Kursi sutradara bukan lagi menjadi milik Gary Ross melainkan berpindah pada Francis Lawrence (Water for Elephants, I Am Legend). Bagian penulisan naskah sekarang diserahkan pada duo penulis naskah yang telah dekat dengan nominasi Oscar, yakni Simon Beaufoy (Slumdog Millionaire, 127 Hours) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3). Dengan jajaran nama tersebut ditambah gugusan cast yang dipimpin oleh Jennifer Lawrence maka The Hunger Games: Catching Fire pun menjadi salah satu film blockbuster paling dinantikan dan menjanjikan kualitas tahun ini. Saya sendiri meski cukup kecewa dengan kurangnya kebrutalan film pertamanya, menyukai bagaimana kisahnya dirangkai dengan cukup emosional dan tensinya yang bisa terjaga meski minim adegan yang penuh kekerasan.

Melanjutkan dari film pertamanya, pasca kemenangan yang diraih oleh Katniss (Jennifer Lawrence) dan Peeta (Josh Hutcherson) nyatanya tidak menciptakan kehidupan keduanya menjadi lebih kondusif dan bahagia. Sosok Katniss telah menjadi ide dan motivasi para rakyat untuk melaksanakan pemberontakan pada Capitol dan hal tersebut mulai memantik kerusuhan dimana-mana. Presiden Snow (Donald Sutherland) sendiri sadar bahwa sosok Katniss ialah bahaya yang harus segera dimusnahkan. Untuk itulah bersama dengan pembuat game yang baru, Plutarch Heavensbee (Phlip Seymour Hoffman) ia menciptakan rencana untuk menghancurkan kepercayaan warga pada Katniss sekaligus meruntuhkan semangat juang mereka. Caranya ialah dengan mengadakan seri ke-75 The Hunger Games yang bertajuk Quarter Quell sebagai peringatan kemerdekaan setiap 25 tahun sekali. Quarter Quell kali ini terasa Istimewa alasannya pesertanya ialah kumpulan para pemenang The Hunger Games dari tiap-tiap distrik. Katniss dan Peeta pun harus kembali bertempur dalam kompetisi mematikan tersebut. Bedanya kali ini lawan mereka bukan hanya para akseptor tapi juga Presiden Snow dan antek-anteknya.

Jika The Hunger Games ialah sebuah hiburan yang berbobot, maka Catching Fire merupakan karya artistik yang dikemas dalam wujud film blockbuster. Film ini berhasil menangkap segala kelebihan yang ada dimiliki pendahulunya untuk dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi dan menambahkan banyak sekali aspek lain yang bisa memperkaya filmnya. Pertama kita lihat dari segi ceritanya. Cathing Fire tidak hanya berkisah perihal turnamen mematikan yang brutal saja alasannya pada faktanya turnamen tersebut gres dimulai pada paruh kedua filmnya. Pada paruh pertamanya kita diajak untuk mengamati bagaimana intrik politik yang terjadi bagaimana para pemilik kekuasaan mulai jengah ketika posisi mereka mulai digoyang oleh rakyat yang bosan ditindas. Bagaimana demi kekuasaan sang pemilik kuasa sudi mengorbankan nyawa siapapun dan sebanyak apapun. Yang paling menggetarkan ialah bagaimana dengan berani para rakyat tertindas tersebut mulai melaksanakan perlawanan. Momen ketika seorang laki-laki bau tanah dengan berani memperlihatkan tanda dan siulan yang menjadi cara Katniss dan Rue berkomunikasi di film pertama. Perjuangan ini terus meningkat dan mencapai puncaknya sempurna ketika filmnya berakhir dan menciptakan saya berekspektasi akan sebuah tontonan yang jauh lebih besar, epic dan emosional di film berikutnya.
Ada juga kisah cinta segitiga antara Katniss-Peeta-Gale yang untungnya dihukum tidak dengan murahan meski gotong royong masih tidak terlalu kuat. Tapi toh itu pilihan yang sempurna untuk tidak menyebabkan kisah cinta tersebut sebagai fokus utamanya dan lebih menjurus kepada tema resistance, pengorbanan dan eksplorasi terhadap abjad Katniss. Sosok Katniss sendiri semakin diperdalam disini dan jadi semakin menarik. Alih-alih menghadirkannya sebagai seorang heroine yang begitu perkasa dan tak terkalahkan, Katniss disini digambarkan sebagai perempuan biasa yang mempunyai rasa takut besar dan stress berat mendalam akhir mengikuti The Huneger Game. Dia bukan sosok yang serta merta berusaha membangkitkan patriotisme rakyat dan tidak ingin menjadi simbol perjuangan. Katniss ialah sosok perempuan yang tetap ringkih meskipun ia punya ketahanan fisik dan jago memakai busur panah. Sosoknya ialah heroine yang manusiawi dan justru faktor itulah yang menciptakan karakternya menarik dan gampang disukai. Tentu saja itu didukung oleh penampilan anggun Jennifer Lawrence yang tidak hanya berhasil memperlihatkan sosok tangguh Katniss namun juga sosoknya yang begitu rapuh. Bahkan ketika harus menghantarkan jokes sekalipun ia berhasil dengan baik.

Sisi artistik lain yang memukau dalam film ini ialah jikalau kita berbicara perihal setting yang berbungkus CGI memukau dan penggunaan make-up/kostum yang begitu luar biasa. Mulai dari setting arena upacara pembukaan hingga pada lokasi berlangsungnya turnamen yang terletak di hutan buatan berbentuk jam semuanya nampak begitu baik. Apalagi disaat lokasi turnamen itu mulai memperlihatkan rahasianya sebagai hutan maut penuh jebakan disitulah pengemasan settingnya nampak begitu memukau. Lalu jikalau berbicara make-up dan kostum, apa yang sudah terlihat anggun di film pertama makin ditingkatkan dan lebih gila lagi disini. Tidak hanya abjad Effie dan Caesar namun juga kostum-kostum abjad sekunder yang banyak muncul hingga lagi-lagi kostum penuh api yang memukau milik Katniss dan Peeta semuanya nampak begitu indah dan megah.Perpaduan kedua hal tersebut makin menciptakan The Hunger Games: Catching Fire menjadi sebuah tontonan yang juga memukau ditinjau dari aspek visualnya.

Tapi bukan berarti film ini luput dari kekurangan. Masih sama menyerupai film pertamanya, turnamen yang brutal tersebut lagi-lagi terasa terlalu sopan akhir mengejar rating PG-13. Kebrutalan yang seharusnya terasa pun menjadi sama sekali tidak nampak. Saat para akseptor saling bertarung greget pun menjadi berkurang akhir kesopanan tersebut. Untungnya ada bahaya dari kabut penuh racun yang bisa memperlihatkan ketegangan sekaligus kengerian yang lumayan. Bagaimana akseptor turnamen diperlihatkan juga menjadi kekurangan lain. Ada beberapa akseptor yang mempunyai potensi karakterisasi serta ciri khas yang unik tidak ditampilkan dalam porsi yang memadahi. Padahal jikalau skill masing-masing dari mereka dimaksimalkan saya yakin akan tercipta pertarungan yang sangat menarik disini, apalagi ada karakter-karakter yang tidak hanya mengandalkan otot namun juga otak. Akhirnya penonton pun sering dibentuk galau perihal jumlah akseptor yang masih hidup alasannya tidak semuanya ditampilkan secara merata. Tapi untungnya Francis Lawrence masih mampu menghadirkan rentetan adegan agresi yang cukup menghibur termasuk titik puncak yang cukup menegangkan pula hingga jadinya ditutup dalam sebuah momen emosional yang mengajak saya menunggu dengan tidak sabar akan film berikutnya.

Overall ini ialah peningkatan kualitas dibanding film pertamanya. Cerita yang lebih mendalam, konflik yang lebih kuat, abjad yang semakin dieksplorasi khususnya Katniss yang mungkin ialah heroine terbaik ketika ini, akting para pemain yang anggun (tidak hanya Jennifer Lawrence) serta tata artistik mulai dari setting dan make-up/kostum yang begitu indah bisa membaur menjadi satu menyebabkan The Hunger Games: Catching Fire tidak hanya menjadi tontonan hiburan pengeruk uang namun juga penyesuaian novel yang memuaskan. Seperti yang sudah saya bilang diawal meski ini ialah blockbuster tapi sesungguhnya film ini merupakan tontonan yang mempunyai pencapaian artistik begitu baik.

Artikel Terkait

Ini Lho The Hunger Games: Catching Fire (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email