Mungkin anda masih ingat isu yang cukup ramai beberapa waktu yang kemudian mengenai sebuah film Hollywood yang melaksanakan produksi di Indonesia dan dibintangi oleh Cinta Laura. Dengan cepat media-edia lokal menyebut film berjudul The Philosophers tersebut sebagai "Film Hollywood perdana Cinta Laura". Berita itu sudah tersebar lebih dari dua tahun yang kemudian tanpa ada kabar kelanjutannya kapan film tersebut dirilis. Hanya sebuah trailer diawal tahun 2013 yang menunjukkan sekilas film itu dengan kemunculan Cinta Laura di dalamnya yang seolah sudah dianggap prestasi luar biasa oleh beberapa pihak. Sampai risikonya film tersebut rilis dengan judul yang sudah berganti menjadi After the Dark. Sebuah pergantian yang cukup sanggup dimaklumi alasannya ialah terang After the Dark merupakan judul yang jauh lebih menjual alasannya ialah akan mengesankan sebuah film horor/thriller daripada The Philosophers yang sekilas terdenganr sebagai sebuah film perihal filsafat yang berat. Film ini sendiri tidak punya banyak nama besar di dalamnya. Paling hanya Daryl Sabara (Spy Kids) dan James D'Arcy (Cloud Atlas) yang terasa familiar. Kebanyakan pemeran dan aktris yang bermain dalam film ini memang ialah para pemain muda yang lebih banyak membintangi serial ataupun film televisi. Dengan premis yang cukup menarik serta proses syuting yang banyak mengambil lokasi di banyak sekali daerah wisata Indonesia menyerupai Prambanan, Bromo dan Pulau Belitung apakah After the Dark menjadi sebuah tontonan yang memuaskan?
James (Rhys Wakefield) dan Petra (Sophie Lowe) ialah sepasang kekasih yang juga sama-sama murid di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Suatu hari dalam kelas filsafat yang diajar oleh Mr. Zimit (James D'Arcy) 20 murid dari banyak sekali negara yang berada di kelas tersebut menerima sebuah tes yang merupakan tes terakhir sebelum kelulusan mereka. Dalam tes tersebut, Mr. Zimit menempatkan murid-muridnya dalam sebuah simulasi dimana dunia tengah terancam selesai zaman oleh ledakan nuklir. Untuk menyelamatkan keberlangsungan umat manusia, mereka harus menyelamatkan diri dan bersembunyi dalam sebuah bunker selama setahun hingga radiasi nuklir mereda. Tapi bunker tersebut hanya cukup diisi oleh 10 orang, jadi mereka harus sanggup menentukan siapa saja yang "berhak" menyelamatkan diri di dalamnya. Dalam simulasi tersebut tiap-tiap murid diberi karakteristik dan keahlian masing-masing mulai dari yang penting menyerupai insinyur, hebat listrik atau dokter hingga yang dianggap tidak penting menyerupai penyair, penyanyi opera, dan pembuat gelato. Dalam tes tersebut mereka harus sanggup bertahan hidup hingga radiasi hilang guna membangun kembali peradaban insan yang hampir punah akhir peristiwa tersebut. Seperti yang saya bilang, After the Dark punya premis yang menarik dan original. Apalagi dengan "janjinya" untuk mengetengahkan hal-hal berbau filosofis dalam ceritanya. Pastinya film ini akan jadi sebuah tontonan cerdas yang menarik bukan? Sayangnya tidak menyerupai itu.
Sesungguhnya meski dipenuhi banyak sekali hal-hal yang sanggup dibilang bodoh, saya sempat berhasil dibentuk menikmati film ini. Sampai risikonya saya mulai dibentuk bertanya-tanya, "mana unsur filosofisnya?". Entah alasannya ialah saya yang memang kurang memahami hal-hal berbau filsafat atau memang John Huddles selaku sutradara dan penulis naskah yang tidak terlalu dalam menggali aspek tersebut. Tapi bagi saya film ini lebih erat kearah thriller psikologis daripada menunjukkan kesan sebagai sebuah tontonan yang filosofis. Dalam beberapa bab termasuk ketika konflik dalam simulasi memang ada hal-hal berbau filosofi, tapi terlalu ringan dan dangkal. Seperti psikologis, semua film niscaya mengandung unsur filsafat dalam filmnya. Semua film niscaya memiliki aspek emosi di dalamnya walaupun itu dangkal tapi niscaya ada emosi yang muncul, dan emosi sendiri merupakan sebuah aspek dalam psikologi. Tapi mustahil bukan menyebut sebuah film merupakan film psikologis hanya alasannya ialah punya aspek psikologi di dalamnya, alasannya ialah semua film niscaya memiliki itu. Harus ada hal yang dieksplorasi secara lebih mendalam untuk menciptakan film tersebut layak disebut film psikologis maupun filosofis. Hal itulah yang jadi dilema utama After the Dark. Untungnya masih ada beberapa misteri serta kejutan yang terjadi di pertengahan film sehingga saya masih sanggup dibentuk menikmati film ini. Tapi kedua hal itupun pada risikonya semakin berkurang daya tariknya ketika film mulai berjalan lebih jauh khususnya mendekati akhir.
Keberadaan plot hole yang cukup banyak dan beberapa hal yang terlalu dipaksakan menciptakan misteri dan twist yang ada tidak lagi terasa menarik. Lubang dalam plot-nya paling banyak muncul dalam simulasi yang jadi sorotan utama film ini. Sering sekali beberapa hal terasa dipaksakan termasuk hukum yang kurang terang dalam permainan tersebut. Siapa bergotong-royong yang menjalankan alurnya? Apakah keputusan para murid? Atukan Mr. Zimit? Tidak terlalu jelas. Belum lagi seringnya kemunculan hal-hal gres secara tiba-tiba yang terkesan sangat dipaksakan untuk menciptakan konklusi maupun kejutan. Saya juga menyayangkan kurang dimaksimalkannya abjad yang ada. Berbagai ciri dan karakterisasi berbeda-beda yang sesungguhnya cukup menarik hanya disia-siakan begitu saja. Lalu kalau bicara soal akting para pemainnya tidak ada yang terlalu bagus. Beberapa diantaranya memang tidak jelek tapi tidak juga terasa spesial. Bahkan James D'Arcy sebagai pemeran paling senior malah jadi yang paling buruk. Bagaimana dengan Cinta Laura? Aktingnya tidak buruk, lagi pula karakternya memang tidak terlalu penting dengan porsi yang tidak terlalu besar. Yang paling terasa dari kemunculan Cinta Laura ialah perjuangan dari pihak produser untuk memberi screen time sebanya mungkin padanya meski karakternya tidak terlalu penting. Hal ini bergotong-royong cukup berhasil alasannya ialah ironisnya justru perjuangan ini tidak terasa terlalu dipaksakan kalau dibanding pengembangan ceritanya sendiri.
After the Dark juga terlihat sebagai sebuah perjuangan untuk memperkenalkan banyak sekali daerah wisata di Indonesia. Sinematografi dari John Radel memang berhasil menangkap keindahan banyak sekali daerah yang muncul disini. Sayangnya beberapa efek CGI sebagai penggamabaran ledakan nuklir yang terlalu bergairah justru mengganggu pemandangan dan terlihat menggelikan. Sebagai pola ialah adegan di Prambanan. Coba lihat langit-langit disekitar candi yang menunjukkan banyak sekali efek ledakan nuklir yang hanya statis dan malah terlihat menyerupai sebuah hiasan yang digantung di langit-langit. Tapi hal itu masih sanggup saya maklumi alasannya ialah bujet yang memang minim. Tapi lagi-lagi ceritanya lah yang jadi kelemahan terbesar film ini yang ironisnya merupakan potensi terbesar yang paling sanggup dimaksimalkan. Sesungguhnya After the Dark tidak akan jadi film yang sangat jelek bagi saya. Tidak sebelum sebuah twist di selesai yang menghancurkan segala pondasi film yang aslinya masih kurang kokoh. Setelah semua perjuangan untuk berpikir filosofis sepanjang film ternyata hal yang melatar belakangi terjadinya semua itu hanya ini??? John Huddles rasanya terlalu memaksakan diri untuk menunjukkan kejutan besar di selesai tanpa sadar bahwa itu merusak semuanya. Belum lagi sebuah pesan yang terlalu dipaksakan di paruh selesai perihal insan yang lebih membutuhkan kesenangan dan kebahagiaan daripada hal-hal berbau logis dan anutan berat. Ada benarnya tapi terasa anti-klimaks. Apalagi sesudah twist yang jelek itu. Memang pada risikonya sebuah ending bisa benar-benar menyelamatkan sebuah film atau malah total menghancurkannya.
Ini Lho After The Dark (2013)
4/
5
Oleh
news flash