Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Barry Lyndon (1975)

 
Film apa yang menjadi masterpiece seorang Stanley Kubrick? Praktis saja menyebut semua filmnya luar biasa, tapi film-film menyerupai 2001: A Space Odyssey, Dr. Strangelove sampai A Clockwork Orange niscaya akan muncul dalam gugusan film terbaik sepanjang masa atau favorit orang-orang dari gugusan film Stanley Kubrick. Bahkan The Shining yang diawal perilisannya menerima banyak kritikan sekarang dianggap sebagai salah satu film horor terbaik sepanjang masa. Namun berapa banyak penonton yang menganggap Barry Lyndon sebagai masterpiece atau setidaknya mengingat film ini sebagai salah satu karya Stanley Kubrick? Saya yakin tidak banyak bila dibandingkan judul-judul yang sudah saya sebutkan diatas. Bagi saya sendiri Barry Lyndon merupakan sebuah mahakarya yang sedikit terlupakan. Padahal banyak sineas besar yang mengakibatkan film ini sebagai favoritnya mulai dari Ridley Scott, Lars Von Trier bahkan Martin Scorsese yang menganggap film ini merupakan karya Kubrick favoritnya. Seperti kebanyakan filmnya, ini ialah pembiasaan dari sebuah novel tepatnya novel berjudul The Luck of Barry Lyndon karya William Makepeace Thackeray yang dipublikasikan tahun 1844.

Ini merupakan kisah hidup panjang dari Redmond Barry (Ryan O'Neal) yang berasal dari Irlandia. Layaknya dewasa pada umumnya, Barry pun tengah mengalami masa penuh cinta. Masalahnya ia jatuh cinta dengan sepupunya sendiri, Nora Brady (Gay Hamilton). Keduanya pun beberapa waktu menjalin kekerabatan terlarang, hingga suatu hari datanglah John Quin (Leonard Rossiter) seorang kapten pasukan kerajaan Inggris yang tertarik pada Nora. Nora sendiri balasannya lebih menentukan John yang lebih kaya daripada Barry yang masih tidak mempunyai apapun. Tentu saja Barry patah hati, apalagi pada awalnya Nora yang terlebih dahulu menarik hati Barry. Merasa harga dirinya sebagai lelaki tercoreng, Barry pun menantang John untuk berduel menembak. Akhirnya Barry memenangkan duel tersebut dan terpaksa harus pergi dari daerah ia tinggal menuju Dublin. Dari situlah kehidupan Barry mulai mengalami banyak hal dan perubahan. Mulai dari mengalami perampokan dijalan, berakhir menjadi prajurti Inggris di peperangan, menjadi jasus bagi prajurit Prussia, hingga berakhir menjadi seorang darah biru bergelar Barry Lyndon.

Ada beberapa cara bagi saya untuk menilai sebuah film jelek, biasa saja, manis atau sebuah masterpiece yang luar biasa. Film itu manis bila dengan durasinya yang panjang tetap menciptakan saya setia mengikuti ceritanya tanpa rasa bosan bahkan terus dibentuk tertarik. Film itu manis bila berasal dari genre yang tidak saya sukai tapi sanggup menciptakan saya menyukai film tersebut. Dan bila kedua faktor tersebut saya temui dalam satu film maka dengan gampang saya menyatakan film tersebut luar biasa. Begitu pula yang saya rasakan dikala menonton Barry Lyndon. Durasi filmnya mencapai 185 menit atau berada diatas tiga jam! Alurnya berjalan begitu lambat, seringkali mengalun sepi dengan gambar statis ataupun gerak lambat yang dilakukan para pemainnya. Namun Kubrick sanggup merangkumnya dengan begitu baik. Tiap keping ceritanya berjalan dengan menarik dan begitu indah. Kisahnya terus mencengkeram saya, menciptakan saya terus betah menyaksikan kisah hidup Barry yang penuh jalan berliku itu. Uniknya film ini ialah historical drama yang selama ini merupakan sebuah genre yang tidak sanggup saya sukai sebagus dan setenar apapun filmnya dari segi kualitas di mata para kritikus. Salah satu poin menarik dalam Barry Lyndon ialah munculnya beberapa twist mengejutkan yang seolah mengingatkan bahwa rangkaian kehidupan seseorang selalu penuh kejutan dan takdir yang tidak terduga.
Karya-karya Kubrick memang terbentang dari banyak sekali macam genre mulai dari sci-fi, horor, drama historis hingga komedi hitam, namun selalu ada kesamaan dalam tema yang ia angkat dalam filmnya yakni sisi humanis dan kerapuhan yang dialami oleh seorang manusia. Hal itu tidak menerima pengecualian dalam film ini. Dasarnya Barry Lyndon ialah kisah perihal perjalanan hidup, perihal pencarian tanpa tujuan niscaya dari seorang Resmond Barry yang balasannya terbawa oleh arus nasib. Namun meski terlihat tanpa tujuan, sadar atau tidak Barry menjalani hidupnya dengan tujuan untuk memenuhi hasratnya sebagai orang yang mempunyai kedudukan, seseorang yang dianggap. Hal tersebut didasari oleh masa lalunya yang terbiasa menjadi sosok yang terbuang. Terbuang dalam masyarakat, terbuang dalam kisah cintanya. Hal itulah yang secara natural mendasari segala perbuatan yang dilakukan oleh Barry. Namun lagi-lagi dasar seorang insan ialah tidak pernah mencapai rasa puas. Hal itu pulalah yang tercermin dalam film ini dimana sebuah ketamakan sanggup menghancurkan semua yang telah didapat.

Menariknya banyak momen vital dari kehidupan Barry tidak tersaji eksklusif di film melainkan kita ketahui lewat penuturan dari naratornya. Bahkan nasib Barry di penghujung hidupnya pun sudah kita ketahui dari sang narator jauh sebelum filmnya berakhir. Alih-alih menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai narasi, Kubrick menentukan sudut pandang orang ketiga sehingga pada balasannya semua yang tersaji dalam film ini jadi terasa begitu objektif. Coba bayangkan bila yang digunakan ialah narasi dari sudut pandang Barry, maka dengan gampang penonton akan sanggup saja bersimpati tidak secara objektif alasannya ialah semuanya hadir lewat curahan perasaan karakternya. Namun dengan format yang digunakan Kubrick disini, penonton sanggup lebih objektif dalam menilai perjalanan hidup dan segala perbuatan yang dilakukan oleh Barry. Semua kisah jadi dituturkan apa adanya tanpa bias apapun. Pada balasannya saya pun tidak berakhir membenci Barry maupun benar-benar bersimpati padanya. Saya sanggup memahami secara objektif segala hal yang mendasari perbuatan dan perjalanan hidup seorang Resmond Barry hingga ia memperoleh nama Barry Lyndon meski balasannya harus "kehilangan" nama itu lagi.

Seperti biasa film Kubrick tidak hanya andal di aspek dongeng dan kedalaman kisahnya. Teknis yang tersaji pun lagi-lagi luar biasa dan inovatif. Berkat obsesi Kubrcik pada hal detail, segala detail teknis yang tersaji dalam Barry Lyndon pun amat memukau. Mulai dari set lokasi yang begitu glamor lengkap dengan lukisan-lukisan kala ke 18 yang tersaji begitu indah hingga kostum dan make-up yang dikenakan para pemainnya pun tersaji dengan begitu baik, elegan dan tentu saja sangat detail. Semua itu dibalut dengan sinematografi indah dari John Alcott yang balasannya sukses memenangkan Oscar. Yang unik dari sinematografinya ialah penggunaan lensa super cepat sehabis Kubrick ingin menciptakan banyak sekali adegan tanpa adanya cahaya lampu buatan dan hanya menggunakan lilin. Hal tersebut tidak hanya memperindah suasana namun juga menguatkan suasana realistis dari set kala 18 yang mengingatkan saya pada banyak sekali macam lukisan penuh warna indah yang tersaji sepanjang film ini. Dari tata musik, Kubrcik memasukkan banyak musik orkestra klasik yang mengiringi dominan adegan tanpa harus mengganggu obrolan bahkan sanggup membangun suasana dengan begitu baik. Pada balasannya Barry Lyndon berakhir sebagai karya Kubrick yang paling saya sukai, setidaknya hingga dikala ini. Sebuah masterpiece "terlupakan" yang begitu indah sekaligus elegan dalam menyajikan kisah hidup yang begitu tragis nan ironis dari Barry Lyndon.

Artikel Terkait

Ini Lho Barry Lyndon (1975)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email