Ada kalanya sebuah hasil karya lebih maju daripada zamannya. Hal itulah yang sering menciptakan banyak ilmuwan yang sering dianggap ajaib pada dikala mereka masih hidup dan dikala sudah meninggal barulah mereka dianggap jenius. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada film karya sutradara Michael Powell ini. Pada awal perilisannya, Peeping Tom menerima balasan sangat negatif dari para kritikus serta tidak berhasil menerima pendapatan yang memuaskan. Bahkan karir Michael Powell pun ikut hancur seiring dengan respon negatif terhadap film ini. Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak re-evaluasi terhadap film ini dan banyak kritikus yang mengkoreksi pendapat mereka kepada film ini. Alhasil memasuki masa 70-an, film ini perlahan mulai menerima status cult bahkan dianggap sebagai masterpiece yang sering dimasukkan dalam daftar thriller terbaik sepanjang masa. Peeping Tom juga sering dibanding-bandingkan dengan Psycho milik Alfred Hitchcock yang dirilis hanya berselang tiga bulan sehabis film ini.
Mark Lewis (Carl Boehm) yakni seorang kru film yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai fotografer soft-porn. Dibalik kebiasaannya yang tidak pernah lepas dari kameranya, Mark ternyata mempunyai kebiasaan lain yang mengerikan dan tidak diketahui oleh siapapun, yakni membunuh perempuan dan merekam ekspresi korbannya. Untuk apa Mark merekam sang korban? Jawabannya yakni alasannya ia begitu terobsesi pada ekspresi mereka yang ketakutan disaat mengetahui ajal akan segera menjemput. Mark sendiri tinggal di rumah peninggalan mendiang ayahnya dimana ia tinggal di lantai dua, sedangkan lantai bawah ia sewakan pada beberapa orang termasuk seorang perempuan berjulukan Helen (Anna Massey). Helen sendiri mereasa tertarik pada sosok Mark yang pendiam dan misterius. Mark sendiri nampaknya mulai tertarik pada sang wanita. Mark yang selama ini tidak pernah banyak bersosialisasi pun mulai menjalin hubungan dengan Helen. Seiring dengan hubungannya dengan Mark, Helen perlahan mulai mengetahu beberapa hal termasuk masa kemudian Mark yang kelam.
Apa yang menciptakan Peeping Tom spesial yakni alasannya meskipun berfokus pada kisah pembunuhan, tapi kita tidak pernah sekalipun diperlihatkan pada jenazah korban ataupun bagaimana Mark membunuh korbannya secara gamblang. Yang terlihat hanyalah ekspresi terakhir dari sang korban yang ketakutan. Dari situlah Peeping Tom mencoba membuatkan terornya kepada penonton. Daripada mengajak kita melihat adegan-adegan sadis, film ini lebih menentukan mengajak kita untuk mencicipi bagaimana ketakutan luar biasa dari seseorang yang mengetahui akan segera mati. Ya, terkadang untuk merasa takut kita tidak perlu melihat pribadi kejadiannya namun hanya perlu melihat respon orang yang mengalaminya maka secara otomatis rasa takut akan ikut tertular pada kita. Melalui hal itulah Peeping Tom mencoba menggunakan imajinasi para penonton untuk memperlihatkan teror pada mereka. Sebuah film horor yang mengajak penonton memposisikan diri di sudut pandang sang pembunuh, sebuah konsep yang bahkan hingga kini masih jarang digunakan.
Pengemasannya memang sebuah terobosan baru, tapi saya sendiri merasa kurang oke kalau film ini ditempatkan sebagai salah satu thriller terbaik sepanjang masa apalagi disejajarkan dengan Psycho. Beberapa aspek khususnya yang mengitari sosok protagonis kedua film ini memang mirip, tapi kalau bicara soal kemampuan membangun ketegangan Peeping Tom terang masih kalah jauh. Paruh awalnya masih terasa cukup menegangkan, namun semakin usang ketegangan tersebut semakin menurun. Yang menciptakan tensinya perlahan tapi niscaya menurun yakni tidak adanya misteri yang bisa menarik atensi saya secara terus menerus. Sedari awal penonton sudah diberi tahu siapa pelaku pembunuhannya. Fakta bahwa ia merekam ekspresi korban juga cukup menjelaskan motif utama ia melaksanakan pembunuhan meski seiring berjalannya film hal itu akan dieksplorasi secara lebih mendalam. Kisahnya memang melaksanakan penelusuran secara mendalam terhadap sisi psikologis tokoh utamanya, khususnya mengenai dampak perlakuan yang ia terima dikala kecil terhadap kebiasaannya dikala ini. Tapi masalahnya semua hal itu sudah diketahui sedari awal, jadi seharusnya ada hal lain yang dipakai sebagai daya tarik utama. Tidak adanya misteri yang mengajak penontonnya untuk ikut menyelami kasusnya lebih dalam yakni kekurangan utama film ini.
Beberapa hal juga terasa terlalu dipaksakan untuk developing dongeng film ini. Seperti pola respon yang dimunculkan oleh Helen pada dikala pertama kali melihat video masa kemudian Mark terasa berlebihan. Apakah seseorang bisa merasa begitu terganggu melihat seorang ayah melemparkan kadal kepada anaknya yang sedang tidur? Bertanya-tanya pasti, tapi hingga merasa begitu terganggu ibarat Helen saya rasa agak berlebihan. Respon yang berlebihan guna menciptakan ceritanya berjalan lebih dramatis juga beberapa kali terulang lagi sehabis itu, dan saya cukup terganggu karenanya. Peeping Tom juga terasa tanggung-tanggung dalam menggunakan format first person-nya, padahal kalau dimaksimalkan hal tersebut bisa menjadi pembangun ketegangan yang efektif ibarat Rear Window milik Hitchcock. Pada hasilnya Peeping Tom yang begitu saya nanti dengan ekspektasi tinggi ini justru menjelma kekecewaan dikala filmnya tidak pernah terasa maksimal baik dalam menghadirkan ketegangan maupun dalam studi psikologis tokoh utamanya. Bagi saya pribadi Peeping Tom gagal untuk menunjukan statusnya sebagai salah satu film klasik yang banyak dipuja.
Ini Lho Peeping Tom (1960)
4/
5
Oleh
news flash