Sudah dua setengah tahun yang kemudian sejak saya dibentuk jatuh cinta dengan cerita Jesse dan Celine lewat dua film Before Sunrise dan Before Sunset yang luar biasa itu. Saya tidak menduga bahwa akan ada film ketiganya yang lagi-lagi berjarak sembilan tahun dari film sebelumnya (Sunrise rilis 1995, Sunset 2004). Kalau ada film di tahun 2013 yang paling was-was saya nantikan alasannya ialah begitu khawatir film tersebut akan punya kualitas mengecewakan maka jawabannya ialah Before Midnight, dan pada hasilnya ketika film ini menerima nilai 98% di Rotten Tomatoes saya pun dengan semakin antusias menanti lanjutkan cerita cinta paling romantis dalam film ini. Seperti bagaimana Before Sunset menjawab pertanyaan "apakah hasilnya Jesse dan Celine bertemu lagi enam bulan kemudian?", Before Midnight juga menjawab pertanyaan "apakah hasilnya Jesse melewatkan pesawatnya di Before Sunset?" Jawaban dari pertanyaan tersebut ialah "ya", alasannya ialah disini Jesse dan Celine telah menjadi sepasang suami istri yang memiliki sepasang anak kembar.
Kali ini kisahnya berlokasi di Yunani disaat Jesse dan Celine tengah menjalani liburan isu terkini panas. Disanalah kita kembali diajak mengikuti obrolan antara mereka berdua yang kali ini lebih menyoroti bagaimana relasi keduanya yang semakin usang semakin dirundung permasalahan. Tentu saja Before Midnight masih membawa formula yang sama dengan kedua pendahulunya, yakni sebuah tontonan yang lebih banyak didominasi berisi obrolan demi dialog. Tentu saja film ini juga masih akan menampilkan rangkaian long shots yang sudah niscaya hanya berisikan tokoh-tokohnya saling bertukar obrolan satu sama lain. Tapi jikalau anda begitu menyayangi dua film pertamanya, maka semakin panjang obrolan semakin besar pula kesenangan yang anda dapatkan. Saya sudah dibentuk girang sekaligus takjub ketika Jesse dan Celine terus berbicara selama lebih dari 10 menit disaat mereka tengah berada di dalam perjalanan. Jesse terus berbicara sambil menyetir mobil, begitu pula Celine di sampingnya yang tidak pernah kehabisan kata-kata. Adegan tersebut terletak sehabis opening-nya yang juga terasa Istimewa dimana kita akan melihat obrolan antara Jesse dengan puteranya dari sang mantan istri, Hank. Adegan pembuka itu saja sudah sanggup menciptakan saya terharu namun juga memunculkan senyum di bibir saya.
Before Midnight tahu benar bahwa lebih banyak didominasi penonton pastinya merupakan mereka yang sudah mengikuti perjalanan Jesse dan Celine sejak film pertama, jadi yang perlu dilakukan bukan lagi memperkenalkan sosok mereka namun memastikan pada penonton bahwa film ini DNA-nya sama, bahwa Jesse dan Celine masih mereka yang dulu, hanya sekarang sudah semakin bertambah tua. Caranya? Seperti yang sudah saya tuliskan tadi, buat sebuah adegan percakapan dalam durasi usang yang diambil dengan one shot, maka otomatis penonton tahu bahwa mereka menonton film yang benar. Tapi apa bekerjsama yang menjadi materi pembicaraaan utama di film ini? Jika Before Sunrise berisi obrolan anak muda penuh mimpi dan cinta yang indah dan Before Sunset memperlihatkan bagaimana mereka mulai mengalami pendewasaan baik dalam tumpuan berpikir maupun menyikapi sebuah cinta, maka Before Midnight mengambil tema yang lebih kompleks sekaligus lebih kelam. Filmnya sedari awal sudah menjawab pertanyaan yang terlintas dalam imajinasi lebih banyak didominasi penggemar, yakni "apakah Jesse dan Celine hasilnya bersatu?". Ya pada hasilnya mereka bersatu, tapi nyatanya cerita cinta mereka yang nampaknya begitu indah dan romantis tidak terlepas juga dari yang namanya krisis, dan film ini menyoroti krisis relasi mereka berdua.
Masih ada obrolan-obrolan ringan ibarat ide-ide Jesse, pembicaraan wacana seks, hingga membahas banyak sekali literatur-literatur, namun yang menjadi pokok utama disini ialah konflik yang dialami mereka berdua. Tentu saja atmosfernya jauh beda dari dua film sebelumnya yang seolah penuh mimpi dan romantisme cinta yang begitu indah. Dalam Before Midnight segala mimpi indah dan romansa tersebut bermetamorfosis cerita cinta dunia aktual yang penuh dengan rintangan serta benturan ego antara keduanya. Saya tidak pernah menyangka bahwa akan melihat film wacana cerita Jesse dan Celine yang lebih banyak didominasi obrolannya berisi pertengkaran dan perselisihan keduanya. Perasaan saya dibentuk campur aduk disini. Paruh awal konflik memang sudah mulai terasa namun saya masih lebih sering dibentuk tertawa oleh obrolan demi obrolan cerdas yang saling bergantian mengisi obrolan antar karakternya. Saya akui obrolan di meja makan eksekusinya terasa sedikit kacau dibandingkan momen lain tapi toh tetap terasa menyenangkan. Sebuah obrolan hangat penuh tawa yang terasa menyenangkan. Kemudian melihat Jesse dan Celine berjalan berdua menciptakan saya teringat lagi akan kedua film sebelumnya. Sampai hasilnya di kamar hotel barulah konflik mencapai puncaknya.
Jesse dan Celine yang seolah begitu tepat satu sama lain nyatanya tetap pasangan biasa yang mengalami krisis dalam relasi mereka. Tapi siapa yang menduga hal itu akan terjadi? Melihat pasangan yang begitu saya kagumi seolah cintanya perlahan mulai memudar terasa begitu menyakitkan. Perlahan perasaan saya juga ikut remuk menyaksikan pertengkaran yang tidak kunjung usai antara keduanya. Sebuah pertengkaran yang hingga menciptakan saya tidak sanggup membela satupun diantara keduanya, padahal itu ialah hal yang lumrah saya lakukan ketika melihat adegan pertengkaran dalam film. Sekilas saya melihat rekfeksi tumpuan pikir dan perilaku saya dalam menanggapi pertengkaran dengan pasangan dalam diri Jesse. Tapi melihat bagaimana Celine memperlihatkan respon saya menjadi tidak sanggup membela Jesse, alasannya ialah apa yang ia katakan juga tidak sepenuhnya keliru. Saya berusaha menilai segala omongan yang mereka lemparkan dan saya tidak sanggup menemukan satupun pendapat yang keliru, hingga hasilnya saya pun tersadar bahwa dalam pertengkaran antara pasangan ibarat itu bukan yang penting bukan siapa yang benar tapi bagaimana keduanya harus menyandigkan persepsi mereka.
Momen titik puncak di kamar hotel itu benar-benar menjadi momen yang begitu menguras emosi saya. Ada kepedihan yang terpancar luar biasa dari kata-kata yang terlontar dari lisan mereka berdua. Adegan tersebut bahkan jauh lebih intense dari titik puncak lebih banyak didominasi film agresi manapun, dan pada hasilnya ketika Celine keluar kamar dan mengucapkan "kalimat itu" maka saya hanya sanggup bengong dan tetapkan untuk menghentikan filmnya sejenak dan meminum segelas air untuk menenangkan pikiran. Ya, sehabis langgar argumen panjang yang menguras emosi, pengucapan "kalimat itu" oleh Celine menciptakan saya begitu terguncang. Tapi yang terang dari adegan pertengkaran panjang itu semakin nyatalah kekuatan luar biasa dalam chemistry yang dijalin oleh Ethan Hawke dan Julie Delpy. Saya yakin banyak fans dari film ini yang berharap atau bahkan menduga mereka benar-benar menjalin relasi romansa diluar film. Ya, mereka memang telah bermain dalam abjad ini sejak 18 tahun yang lalu, tapi apa yang hadir di layar memperlihatkan seolah selama 18 tahun mereka tidak pernah melepas abjad dan selalu hidup sebagai Jesse dan Celine yang saling mencintai.
Diluar permasalahan utama kedua karakternya, film ini juga menggambarkan banyak sekali macam permasalahan yang sering dihadapi oleh sepasang suami istri yang sudah tidak lagi muda. Contohnya ialah Celine yang menggambarkan seorang perempuan yang terpaksa harus mengubur banyak mimpinya sehabis menikah, dan hasrat untuk mengejar harapan tersebut perlahan muncul kembali seiring dengan "meredupnya" keharmonisan ijab kabul yang ia jalani. Tapi secara keseluruhan Before Midnight bertutur wacana bagaimana meredupnya api asmara sehabis usia ijab kabul semakin bertambah dan hal tersebut seringkali menjadi pemicu utama segala konflik yang terjadi.
Before Midnight sendiri diakhiri dengan sebuah ending yang pada awalnya menciptakan saya merasa "kok tidak sedramatis dua film sebelumnya?" Tapi sehabis merenung sejenak saya pun menyadari bahwa tidak ada ending yang lebih tepat dan lebih romantis lagi untuk mengakhiri film ini, untuk mengakhiri trilogi ini. Tidak ada yang lebih tepat daripada melihat Jesse dan Celine tersenyum, saling mengobrol di sebuah cafe di tengah malam yang begitu indah. Saat filmnya berakhir saya bengong sesaat dan secara tidak sadar mengenang dari awal bagaimana cerita Jesse dan Celine dimulai. Bagaimana kejadiannya, bagaimana obrolannya, hingga bagaimana tampang mereka. Perlahan memori indah dari sebuah cerita paling romantis yang pernah ada dalam film pun menghiasi otak saya, mengajak untuk kembali mengunjungi Vienna 18 tahun kemudian ketika dua orang muda-mudi secara tidak sengaja bertemu di sebuah kereta dan mulai saling bertukar obrolan untuk pertama kalinya. Siapa sangka obrolan itu akan menjadi sebuah cerita cinta yang infinit dan begitu indah? Before Midnight ialah sebuah epilog trilogi yang begitu sempurna. Terasa lucu, hangat, pedih, namun juga menyentuh. Makara saya rasa sudah saatnya bagi ajang penghargaan berjulukan Oscar untuk memperlihatkan apresiasi lebih terhadap cerita ini, bukan begitu?
Ini Lho Before Midnight (2013)
4/
5
Oleh
news flash