Sunday, January 6, 2019

Ini Lho The Better Angels (2014)

"The Better Angels" is Terrence Mallick's movie not directed by Terrence Mallick. Penempatan kamera low-angle yang membuat kesan wide dan megah, eksploitasi lighting natural termasuk cahaya matahari yang benderang di belakang karakter, menjadikan alam sebagai sentral melebihi sosok manusianya, perempuan menari kesana kemari diikuti pergerakan kamera yang seolah melayang, penggunaan voice over lirih daripada dialog, hingga selipan religius yakni segala hal yang selalu kita temui dalam karya Mallick khususnya tiga film terakhir (The New World, The Tree of Life & To the Wonder). Apa saja yang saya sebutkan diatas juga terdapat dalam debut penyutradaraan A.J. Edwards yang berkisah wacana masa kecil Abraham Lincoln. Dinarasikan oleh sepupu Lincoln yang sudah tinggal dengannya sedari kecil, Dennis Hanks (Cameron Mitchell Williams), The Better Angels dibuka dengan suasana Lincoln Memorial yang megah nan sunyi sebelum berpindah ke sebuah hutan di Indiana pada tahun 1817.

Lincoln (Braydon Denney) dikala itu masih berusia delapan tahun dan tumbuh sebagai anak pendiam yang suka menyendiri. Ayahnya, Thomas Lincoln (Jason Clarke) yakni tukang kayu sekaligus petani jagung digambarkan sebagai seorang ayah yang baik, walaupun sering bersikap keras (ex: aturan cambuk atau larangan makan malam bagi Abe) tapi ia tidak doyan mabuk-mabukan dan berjudi ibarat kebanyakan laki-laki pada masa itu. Sang ibu, Nancy (Brit Marling) yakni perempuan religius yang amat menyayangi Abe. Meski harus hidup miskin dan membuatnya tidak sanggup membaca, Nancy sadar sang putera punya talenta besar. Pemikiran itulah yang mendorongnya untuk membujuk sang suami semoga menyekolahkan Abe, meski karenanya Thomas menolak. Menurutnya, sang putera akan lebih banyak berguru dengan bekerja di hutan. Tapi kita semua tahu bocah pendiam yang miskin ini kelak bakal menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat, bahkan salah satu Presiden terbaik sepanjang masa.

"All that I am, or hope to be, I owe to my angel mother" Sebaris kalimat itu membuka film ini, dan kita tahu kata "angels" pada judul film merujuk pada siapa. Ini yakni dongeng seorang anak yang tumbuh menjadi orang andal ibarat yang kita tahu berkat segala cinta , kasih sayang, serta pelajaran dari sang ibu. Untuk Abraham Lincoln sendiri, ada dua sosok ibu dalam hidupnya. Pada 1818, Nancy meninggal dunia jawaban keracunan susu. Nancy mengajarkan wacana Tuhan, harapan, dan berulang kali meyakinkan sang putera bahwa ia anak berbakat. Setahun kemudian, hadirlah Sarah (Diane Kruger) dalam kehidupan Abe sesudah ayahnya menikah lagi. But she's not that wicked step-mother "cliche". She's another angel for Abraham Lincoln. Seperti yang terucap dalam sebuah dialog, Sarah tidak pernah mencoba menggantikan sosok Nancy, tapi ia akan menyayangi Abe sebesar cinta mendiang ibunya. Sarah digambarkan sebagai sosok yang melanjutkan keinginan Nancy, yakni menyekolahkan Abe, membuatnya berpeluang meraih penghidupan lebih baik.
The Better Angels menggambarkan sosok ibu layaknya malaikat, dan untuk itu filmnya berhasil. Melihat kedua yang secara paras tentu saja bagus itu tersenyum, berlarian di tengah hutan dan ilalang, mengucapkan kalimat demi kalimat penuh rasa cinta lewat nada lirih yakni cara film ini berhasil melaksanakan itu (sama ibarat bagaimana Mallick merubah Jessica Chastain menjadi malaikat dalam The Tree of Life). Saya mencicipi casting sempurna untuk aksara Nancy dan Sarah, meski penggunaan Diane Kruger terasa sebagai historical inaccuracy mengingat dari banyak sekali gambar, Sarah Bush Lincoln tidaklah secantik itu. Tapi alasannya yakni hal itu dilakukan sebagai adaptasi mood serta rasa (yang berhasil), saya memaklumi. 

Bicara soal mood, layaknya Mallick, The Better Angels pun dikemas bukan sebagai plot-driven melainkan mood-driven. Filmnya mengalir tanpa ada alur yang menggiring penonton. Tentu ada beberapa momen episodik untuk menuturkan apa yang tengah terjadi, tapi dominan filmnya bergerak liar, terasa mengawang tanpa ada sedikitpun narasi yang menahan saya untuk tetap fokus. Kebahagiaan dituturkan dengan memperlihatkan karakternya berlarian penuh canda tawa di tengah hutan, sedangkan kesedihan dibangun dikala karakternya berdiri diam, memandang kosong ibarat tengah membuka kembali memori masa kemudian yang menjadikan rasa haru dalam duka. Sangat Mallick tentu saja, mengingat ia yakni orang yang melaksanakan banyak riset untuk film ini, bahkan sempat berencana menyutradarainya sendiri sebelum diserahkan pada A.J. Edwards. Mallick sendiri duduk sebagai salah satu produser. 
Edwards juga bukan orang gres bagi Mallick. Dia yakni second unit director dan co-editor dalam The Tree of Life, To the Wonder, serta Knight of Cups yang akan segera rilis. Dengan posisi tersebut, sanggup disimpulkan ia merupakan salah satu orang kepercayaan Mallick, serta termasuk yang paling akrab dengannya dikala proses produksi. Maka tidak heran treatment yang diadposi begitu ibarat (kalau dihentikan dibilang sama persis). Satu-satunya pembeda yakni pemilihan warna hitam putih yang entah bertujuan untuk membangun kesan masa lampau, atau sekedar untuk menjauhkan diri dari kesan "sangat Mallick". Dengan dongeng seputar keluarga dimana sang ayah menjadi sosok keras namun gotong royong penuh cinta, dan sang ibu bagaikan malaikat, The Better Angels semakin serupa dengan The Tree of Life. Tapi Edwards melupakan poin penting masterpiece tersebut, yakni dongeng kuat. The Tree of Life bisa begitu berkesan bukan hanya alasannya yakni gambar indah dan kesan filosofis, tapi juga drama keluarga yang dalam. Cinta, sedih, duka, kematian, semuanya sanggup dirasakan penonton alasannya yakni ada pondasi kuat. 

Sedangkan film ini hampir 100% bergantung pada mood, membuatnya lebih akrab dengan To the Wonder secara interpretasi penggarapan. Masalahnya, To the Wonder memang nampak diniati ibarat itu dari awal. Kita tidak butuh cerita, kita tidak butuh latar belakang, yang penting yakni penggambaran segala sendir percintaan. Meski bukan mahakarya, film tersebut berhasil mencapai tujuan. Sebaliknya, The Better Angels punya dongeng yang harus dituturkan. Penggambaran kasih sayang ibu memang cukup berhasil, tapi narasinya punya banyak aspek lain. Daripada diajak lebih mendalami masa kecil Abraham Lincoln disaat tidak sedang mengeksploitasi mood, saya justru terlampau sering diajak menikmati keindahan hutan Indiana yang meski tersaji indah namun terasa pointless. Saya paham Abe sanggup menjadi sedemikian besar alasannya yakni sosok ibu, tapi untuk menuturkan itu saja tidak perlu film berdurasi 95 menit. Bahkan sepanjang film saya hampir tidak menemukan alasan kenapa Abe begitu Istimewa kecuali dari ucapan kedua ibunya, atau lewat voice over.

Saya ingin dibawa tahu secara lebih jauh, mencicipi secara lebih dalam. Karena tidak berhasil membuat itu, film ini terasa tidak lebih dari sekedar dokumentasi indah kehidupan sehari-hari sebuah keluarga tanpa membawa lebih jauh memahami keluarga tersebut. Terasa hampa. Tapi The Better Angels memang penuh sajain visual memukau. Warna hitam putih tidak mematikan potensi keindahan, tapi memperlihatkan dimensi gres dari apa yang selama ini sudah diperlihatkan Terrence Malick. Meski kali ini agak kecewa, saya pastinya akan menyempatkan waktu untuk menonton kembali film ini nantinya (dan sanggup jadi menjadikan evaluasi yang lebih baik). Menarik untuk ditunggu, bagaimana kelanjutkan karir A. J. Edwards sebagai sutradara di masa datang. Khususnya dikala ia menggarap bahan original yang bukan buah hasil pemikiran Malick. 

Artikel Terkait

Ini Lho The Better Angels (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email