Sunday, January 6, 2019

Ini Lho Kingsman: The Secret Service (2014)

Another adaptation from Mark Millar's comic book. There will be blood...and violence and black comedy and very cool visual style. Setelah pembunuh yang bisa membelokkan peluru dan superhero amatiran, tentu saja film lain berbasis komik Millar amat menarik ditunggu. Eggsy (Taron Egerton) yakni dewasa dengan talenta luar biasa termasuk IQ tinggi yang justru berakhir sebagai bocah pembangkang yang gemar mencuri. Harry Hart (Colin Firth) yakni kepetangan yang merasa bersalah atas final hidup ayah Eggsy dalam suatu misi dan bertekad membalas hutang budi itu. Kita tahu arah ceritanya menuju kemana. Harry akan menjadi mentor bagi Eggsy, dan Eggsy sendiri bakal berkembang dari dewasa berbakat pembangkang menjadi kepetangan yang handal. Bukan formula yang segar, tapi pengemasan Matthew Vaughn mengingatkan pada saya kenapa Kick-Ass begitu menyenangkan (Although I'm one of the "rare species" who think that the sequel is slightly better

Agen diam-diam dengan gadget canggih tentu butuh lawan sepadan. Untuk itu hadirlah milyuner Richmond Valentine (Samuel L. Jackson) dan tangan kanannya, seorang perempuan dengan kaki pedang, Gazelle (Sofia Boutella) yang berencana menghapuskan lebih banyak didominasi peradaban umat insan demi membuat dunia yang lebih baik. Dengan kehadiran penjahat megalomania, banyak sekali persenjataan canggih yang tersembunyi dalam peralatan "sepele", kepetangan berpenampilan necis, joke tentang martini, hingga ending yang "seksi", Kingsman: The Secret Service jelas merupakan parodi dari film James Bond, khususnya masa Roger Moore lengkap dengan tone komikal. Bahkan beberapa dialognya menghadirkan rujukan secara gamblang daripada tersirat. Matthew Vaughn dan penulis naskah Jane Goldman memang tidak ingin terang-terangan menyuguhkan identitas film ini. Penuh dagelan parodi yang lucu (bagi penonton yang paham), tapi ini bukan parodi konyol macam Austin Power. Film ini lebih berdarah-darah, brutal, stylish, punya momen kelam, tapi tetap ceria dan sadar diri.
Maaf bagi para fans James Bond khususnya masa Moore atau Connery (even Brosnan), Kingsman: The Secret Service justru merupakan parodi yang lebih menyenangkan daripada film yang diparodikan. Kuncinya yakni keberhasilan Vaughn untuk menggarapnya menjadi sajian keren, over-the-top, berkesan cartoonish tapi tidak terlalu cheesy. Lihat betapa banyak aspek film Bond yang dipinja Vaughn, kemudian berhasil ia sulap menjadi badass, jauh dari kesan konyol. Agen Kingsman beraksi dengan setelan keren, bahkan tetap keren dan rapih sesudah berbaku tembak secara brutal. Mereka menggunakan peralatan-peralatan canggih ibarat payun sebagai senapan sekaligus tameng, kacamata multifungsi, dan sebagainya. Berbagai gadget yang..well pastinya jauh dari kesan realistis kalau dibandingkan Jason Bourne atau Bond versi Craig. Bahkan pada kimaksnya ada momen yang melibatkan adegan agresi luar angkasa layaknya Moonraker. Tapi alih-alih repon "that's silly!", berkat pengemasan Vaugh saya justru berujar "that's cool!"
Kemudian ada kekerasan. Walau sifatnya parodi, sebagai pembiasaan komik Mark Millar, kekerasan yakni aspek esensial yang mempunyai kegunaan untuk mengesankan banyak hal, mulai dari bahaya, kehidupan keras, hingga pemicu ketegangan. Mungkin dibandingkan Kick-Ass, kekerasan dalam film ini lebih besar lengan berkuasa unsur style over substance, tapi tetap tidak mengurangi fakta bahwa semua itu berhasil menunjukkan kesenangan luar biasa. Kingsman: The Secret Service punya kekerasan yang menyenangkan ibarat darah bertumpahan, bahkan tubuh yang terbelah pun ada. Menyenangkan, alasannya yakni hal itu tidak banyak saya jumpai dalam film big budget sekarang ini, apalagi yang kental unsur komedinya. Kalaupun ada, belum tentu bisa dihukum sekeren apa yang dilakukan Vaughn. Brutal, tapi tetap mempertahankan tone ringan, termasuk adegan di titik puncak ketika Vaughn mengganti cipratan darah masif dengan ledakan warna warni. Bagian titik puncak (kurang lebih 20-30 menit akhir) luar biasa. Setelah intensitas yang agak naik turun (meski tetap keren), Vaughn menggila di akhir. Pergerakan kamera, editing cepat, dan musik meriahnya meningkatkan intensitas dan ketegangan hingga ke tingkat maksimum. Saya menahan nafas, kemudian kemudian bersorak bangga karenanya.

Masih ihwal kekerasan, bagi penonton Indonesia nampaknya tengah bernasib sial. Sebuah adegan massacre di Gereja dipotong habis-habisan oleh LSF, dengan total durasi kabarnya mencapai 12 menit. Saya tidak tahu sebrutal apa adegan itu, tapi satu yang pasti, itu bukan sekedar glorifikasi kekerasan melainkan momen esensial yang berdampak besar baik bagi perkembangan huruf maupun sisi emosional cerita. Melihat apa yang terjadi setelahnya, saya tahu itu akan menjadi momen krusial khususnya bagi huruf Harry dan Eggsy. Menghilangkannya tidak saja sedikit mengurangi kesenangan, tapi juga secara drastis menghilangkan potensi kedalaman dongeng yang ada. Apapun alasannya, pemotongan adegan ini sudah merendahkan esensi media film itu sendiri. Lewat Kingsman: The Secret Service, Matthew Vaughn berhasil menyajikan sebuah agresi menghibur, lengkap dengan parodi penuh kelucuan berbasis rangkaian rujukan film James Bond. Karakternya menarik dan punya kedalaman dongeng yang cukup. Jika suatu hari nanti franchise James Bond ingin kembali merubah tone menjadi ringan, Matthew Vaughn terang layak menjadi sutradara.

Artikel Terkait

Ini Lho Kingsman: The Secret Service (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email