Sunday, January 6, 2019

Ini Lho R100 (2013)

Di Jepang, "R15" berarti sebuah film hanya diperuntukkan bagi usia 15 tahun keatas, sedangkan "R18" tentu saja punya arti sebuah film hanya boleh ditonton oleh usia 18 tahun ke atas. Berkiblat dari situ, dapat disimpulkan bahwa "R100" ialah jenis film yang hanya boleh ditonton oleh mereka yang berusia minimal 100 tahun. Anda tahu bahwa kegilaan sudah menanti dikala menonton film yang menggolongkan dirinya kedalam jenis tersebut, tapi karya terbaru Hitoshi Matsumoto ini diluar dugaan jauh lebih gila dari asumsi saya. Tema yang dijual ialah sado masochism (S&M). Pada kondisi disaat masyarakat tengah diserbu fenomena Fifty Shades of Grey yang mengedepankan BDSM, aku pun menentukan film ini sebagai tontonan. Premis di Wikipedia cukup menarik: Takafumi Katayama (Nao Omori) seorang salesman menandatangani kontrak berdurasi setahun dengan klub S&M misterius berjulukan "Bondage". Kontrak yang tidak dapat dibatalkan itu akan menempatkan Katayama dalam kondisi dimana seorang dominatrix bakal menyerangnya secara tiba-tiba. Premis unik, dan ini ialah film Jepang. Tentu saja yang aku harapkan ialah sisi abstrak tingkat dewa.

Memang benar filmnya absurd. Setiap harinya Katayama bakal didatangi dominatrix berbeda dengan keahlian yang majemuk pula. Berbagai penyiksaan mulai dari dipukul, ditendang, dicambuk, dan sebagainya akan ia alami. Berbagai rasa sakit itulah yang semakin merangsang dan memuaskan Katayama. Kepuasaannya (baca: orgasme) digambarkan lewat visualisasi asing dimana mata Katayama menghintam, senyumnya melebar, dan kepalanya membesar. Keunikan yang pada awalnya terasa menarik, tapi sedikit kehilangan pesona sesudah diulang berkali-kali dan terasa repetitif. Mungkin Katayama gampang dianggap sebagai "orang mesum", tapi terang ia mencintai keluarganya. Setiap hari ia selalu menengok sang istri yang tengah koma di rumah sakit. Membawakan bunga, mengajaknya bicara meski tak ada balasan sepatah katapun. Malam hari ia selalu pulang kerumah, membawakan masakan bagi puteranya yang masih kecil, bahkan tidak lupa merayakan ulang tahun sang putera bersama ayah mertua.
Deskripsi kehidupan langsung Katayama di atas ialah perjuangan Matsutomo menawarkan sentuhan drama pada filmya. Dia berusaha menggambarkan Katayama sebagai laki-laki yang penuh kesedihan, dan melarikan diri dari semua itu dengan melampiaskan fetish-nya. Ditambah tatapan mata nanar dari Nao Omori, semakin kuatlah hawa kesedihan dan gloomy dalam hidup sang tokoh utama. Tapi untuk film yang mendeklarasikan kegilaannya lewat sebutan R100, bukankah semua itu tidak nampak terlalu gila? Tentu saja kehadiran organisasi "Bondage" cukup aneh, tapi tidak segila itu. Sentuhan unik bagi S&M tapi terkesan repetitif dan kurang eksploitatif. Kaprikornus apakah film ini merupakan ekspektasi yang gagal terpenuhi? Tunggu dulu! Setelah diawal terasa ibarat twisted tale tentang seksualitas berbalut kisah budpekerti dan keluarga, tiba-tiba saja R100 "lepas kendali". Bagaikan membuka pintu sangkar dan membiarkan binatang di dalamnya berlari keluar, keliaran dan kegilaan turut lepas disaat Matsutomo melepas segel "waras" dari filmnya. 

Dimulai dengan pengenalan dominatrix yang semakin asing mulai dari Ratu Peniru Suara, Ratu Meludah, dan berpuncak di Ratu Penelan, semakin usang keganjilan film ini semakin bertambah hingga ke tahapan sureal yang sulit dimengerti. Judul filmnya pun semakin masuk logika dikala Matsutomo mengakibatkan R100 sebagai film dalam film. Sebuah meta jokes yang menceritakan bahwa R100 adalah film terakhir buatan sutradara berusia 100 tahun yang sedang ditayangkan pada tubuh rating. Apa yang terjadi pada penonton sama ibarat yang aku rasakan. Kebingungan mencerna maksud adegan-adegannya, dan dibentuk terdiam, bengong, karam dalam kebingungan ditemani sebatang rokok untuk menenangkan diri. Saat ditanya maksud pembuatan film yang asing itu, balasan yang hadir ialah "menurut sang sutradara hanya orang berusia 100 tahun lah yang akan mengerti filmnya". Satu, ini ialah olok-olokan "keras" Matsutomo pada tubuh rating. Dua, Matsutomo sedang mentertawakan penonton yang dibentuk kebingungan oleh filmya. Saat penonton berseru "WHAT THE FUCK??!!" Saya yakin Matsutomo akan tertawa kegirangan sambil orgasme.
Dengan segala kegilaan yang ada, aku terkejut dan cukup kecewa dikala menemukan klimaksnya justru biasa saja. Setelah kemunculan dominatrix dengan banyak sekali keahlian unik dan menarik, titik puncak yang menampilkan sosok CEO (Lindsay Kay Hayward - pegulat perempuan tertinggi di dunia) justru tidak lebih dari ledakan demi ledakan yang ditutup dengan multiple massive orgasm yang hadir malu-malu. Cukup menggelikan, tapi terang bukan puncak kegilaan ibarat yang seharusnya. Tapi hening saja, sebagai konklusinya Matsutomo sudah menyiapkan ending absurd yang akan menciptakan penonton terngang dan karam dalam pusaran kebingungan. 

Mungkin terkesan nonsense, tapi sebenarnya R100 adalah drama wacana kehidupan, penderitaa, dan kebahagiaan beserta banyak sekali satir wacana film itu sendiri. Hanya saja Matsutomo tidak ingin puitis dalam mengemas semua itu. Komedinya memuaskan dan tergarap dengan baik berkat kegilaan yang semaunya sendiri (that scene with Saliva Queen dancing around Katayama is the funniest). Saat menonton film sureal penuh metafora, aku seringkali mengambil waktu sejenak sesudah atau dikala menonton untuk berpikir wacana makna suatu adegan. Tapi dalam perkara R100 saya tidak melaksanakan itu. Masih ada sedikit momen yang gagal aku pahami tapi biarlah. Mungkin dikala berusia 100 tahun kelak aku akan mengerti artinya.

Artikel Terkait

Ini Lho R100 (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email