Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Coco Before Chanel (2009)

Awal 1900 yaitu kurun dimana para perempuan masih identik dengan korset dan segala bentuk pakaian yang menyiksa mereka. Untuk menambah kesan feminin pun mereka gemar menambahkan begitu macam aksesoris pada tiap sisi gaun. Pemandangan tersebut begitu mendominasi sampai kehadiran Gabrielle "Coco" Chanel yang "membebaskan" mereka. Coco menjadi salah satu desainer paling besar bukan saja alasannya kejeniusannya merancang baju, tapi juga alasannya keberaniannya untuk menciptakan perbedaan. Sebagai orang yang tidak begitu memahami dunia fashion, nama seorang Coco Chanel merupakan salah satu sosok yang paling aku kenal. Bukan saja alasannya brand "Chanel" masih jadi salah satu brand paling tenar dikala ini, tapi juga alasannya banyak sekali kalimat yang diucapkan Coco masih sangat quotable bahkan sampai kini. Berikut beberapa diantaranya:

"Keep your heels, head and standards high"
"In order to be irreplaceable one must always be different"
"I don't care what you think about me. I don't think about you at all"


Kalimat-kalimat tersebut memperlihatkan begitu besar lengan berkuasa dan dapat bangun diatas kaki sendiri seorang Coco khususnya sebagai perempuan pada masa itu yang tidak lebih dari pelayan dan barang milik laki-laki. Kita memang sudah tahu bahwa ia besar lengan berkuasa dan bisa "berdiri sendiri", tapi film ini melaksanakan ekplorasi lebih dalam. Coco Before Chanel menunjukkan bagaimana ia menjadi Coco Chanel yang dikenal orang dikala ini, dan terlebih penting lagi yaitu penellusuran wacana apa yang terjadi di balik segala sisi besar lengan berkuasa itu. Apa yang ada di benaknya, apa yang ia rasakan. Tentu ia kuat, film ini tidak pernah menyangkal itu. Tapi menyerupai yang dikatakan huruf Etienne Balsan (Benoit Poelvoorder), Coco juga ringkih walau mungkin hal itu tak pernah ia sadari.
Coco (Audrey Tautou) punya kehidupan masa kemudian yang berat. Saat masih kecil ia dibuang oleh sang ayah di sebuah panti asuhan. Setelah beranjak arif balig cukup akal ia sempat bekerja di sebuah kafe kecil sebagai penyanyi sampai bertemu dengan Balsan. Keduanya menjalani suatu korelasi yang rumit. Awalnya bertemu sebagai sahabat dekat, kerumitan itu muncul dikala Coco memutuskan tinggal di rumah glamor milik Balsan. Pada awalnya Coco mengagumi kepintaran Balsan, caranya berbicara, serta relasinya yang luas sebelum jadinya timbul kekecewaan. Perasaan kecewa hadir dikala sang laki-laki mulai posesif dan sering melarang Coco untuk keluar kamar apalagi bertemu dengan teman-teman bangsawannya. Hubungan mereka berdua dikemas begitu menarik oleh sutradara Anne Fontaine dengan menonjolkan kompleksitas yang hadir. Ada ketergantungan besar yang mereka rasakan satu sama lain, tapi benturan kepribadian keduanya menghalangi romansa tepat yang selalu jadi impian.
Hal itu berlanjut sampai kehadiran Arthur Capel (Alessandro Nivola) dalam kehidupan Coco. Capel yaitu rekan bisnis Balsan, sekaligus seorang laki-laki Inggris muda yang begitu tampan. Dia dan Coco pun dengan cepat saling jatuh cinta. Capel yaitu cinta sejati Coco, begitu pula sebaliknya. Namun bukan berarti situasi menjadi mudah. Kita tahu bahwa sampai dikala kematiannya Coco tidak pernah menikah, dan sepanjang film pun beberapa kali ia bersumpah tidak akan menjadi istria laki-laki manapun. Coco Before Chanel tidak hanya bertutur "kenapa" tapi juga menciptakan kita sebagai penonton memahami kenapa Coco meilih jalan tersebut. Inilah dongeng wacana seorang perempuan besar lengan berkuasa yang bersama-sama begitu ringkih alasannya rasa sakit yang coba ie pendam sedalam mungkin. Caranya yaitu dengan mengalihkan fokus pada hal lain untuk mengenang segala memori romansa indah yang menyakitkan itu. Dari situlah segala kesuksesan Coco Chanel bermula.

Saya menyukai bagaimana Anne Fontaine yang juga menulis naskahnya bersama Camille Fontaine tidak berusaha menyajikan kehidpan berat karakternya sebagai suatu melodrama. Sekali lagi Coco perempuan besar lengan berkuasa apapun yang terjadi, dan film ini bergerak dengan bentuk serupa. Begitu banyak kesedihan hadir namun tidak banyak air mata yang mengalir. Menghadirkan kepedihan memang tidak selalu harus diledakkan secara gamblang. Penonton pun tetap bisa "tenggelam" dalam segala rasa yang muncul tanpa harus merasa terganggu atau dieksploitasi. Dikemas dengan indah dalam segala momen, termasuk scene terakhir yang amat aku sukai disaat para model dan penonton fashion show memberikan standing ovation dan Coco hanya duduk dalam membisu sebelum tersenyum haru juga penuh bahagia. What about Audrey Tautou? Sempurna! Dia bisa menangkap tiap kekuatan Coco, ketegasannya, namun disisi lain ada kerapuhan dalam tiap tatapan. Paling penting, Tautou bisa nampak elegan. Kombinasi tepat antara performa dan kemiripan sosok dengan tokoh yang dimainkan.

Verdict: Coco Before Chanel adalah biopic yang dikemas sederhana namun elegan layaknya fashion style dari seorang Gabrielle "Coco" Chanel.

Artikel Terkait

Ini Lho Coco Before Chanel (2009)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email