Saturday, January 5, 2019

Ini Lho The Piano Teacher (2001)

Originally published on MOKINO
(http://mokino.co/features/detail/190/the-piano-teacher-2001-a-destructive-and-depressing-sex-tale-full-of-irony/)
Adaptasi Michael Haneke terhadap novel The Piano Teacher (terbit tahun 1983 dan memenangkan Nobel tahun 2004) karya Elfriede Jelinek ini memperlihatkan pertentangan kehidupan melalui eksplorasi terhadap aksara utamanya. Erika Kohut (Isabelle Huppert) yakni seorang profesor sebuah sekolah musik di Vienna dan mengajar piano bagi murid-muridnya. Kita tidak tahu kehidupan Erika sebelum film dimulai, tapi sosoknya terang mengingatkan pada stereotype perawan tua: galak, keras, tidak suka mengumbar senyum dan kaku. Sosoknya begitu meninggikan tata krama. Tapi bukan semua itu kesan pertama yang penonton dapat. Adegan pembuka memperlihatkan pertengkaran Erika dengan sang ibu (Annie Girardot). Sang ibu murka alasannya yakni Erika pulang larut dan membelanjakan banyak uang untuk sebuah baju yang menurutnya tidak akan terpakai. Terjadi pertengkaran andal yang berujung Erika menjambak rambut ibunya hingga rontok.

Impresi awalnya jelas. Erika merasa terkekang oleh ibunya. Suatu hal absurd mengingat usianya sudah mulai memasuki 40-an. Dari pembukaan saya sempat menyimpulkan Erika ingin mencicipi kebebasan. Memang benar, tapi terkesan ironis bahkan hypocrite karena sebagai seorang guru, Erika juga seorang control freak, atau setidaknya begitu keras tidak jauh berbeda dari sang ibu. Dia berusaha mengesankan diri sebagai perempuan yang mengedepankan tata krama. Matanya selalu menatap tajam, kepalanya tegak penuh harga diri, cara bicaranya tertata rapih. Tapi pertentangan mulai terasa seiring berjalannya film. Erika mulai memperlihatkan diri sebagai perempuan yang hasrat seksualnya terkekang. Selepas mengajar, dia sering mendatangi daerah pemutaran film porno. Dia juga sempat mengintip pasangan yang bekerjasama seks di sebuah Drive-in Theater, kemudian memutuskan kencing di samping kendaraan beroda empat pasangan tersebut alasannya yakni terangsang.
Haneke menampilkan sisi yang bertolak belakang dalam diri Erika lewat jalan yang ekstrim. Kita melihat guru musik yang penuh manner di siang hari ini bertransformasi menjadi pencari pemuas seks di malam hari. Tidak hanya di luar rumah, di dalam pun Erika melaksanakan self-mutilation dengan menyilet kemaluannya dalam sebuah adegan paling "menyakitkan" dalam film ini. The Piano Teacher layaknya sebuah ode bagi konsep Sigmund Freud wacana eros (hasrat hidup) dan thanatos (hasrat kematian). Kehidupan Erika yakni ketika dimana kedua sisi tersebut saling bertabrakan, apalagi sehabis masuknya cowok berjulukan Walter (Benoit Magimel) dalam hidupnya. Erika ingin dicintai dan menyayangi (eros). Tapi menjadi rumit ketika hasrat destruktif pada diri sendiri (thanatos) dia bawa dalam kehidupan seksual termasuk korelasi dengan Walter. Bersama Walter, Erika memposisikan diri sebagai masochist, namun selalu berusaha mengontrol Walter (satu lagi kontradiksi). 

Memang pada hakikatnya, film ini yakni sebuah tontonan erotic. Unsur seksual baik yang tersaji gamblang maupun tersirat lewat permainan atmosfer begitu kental. Dari atmosfer, Haneke begitu jeli dalam menyuntikkan erotisme bahkan tanpa perlu adegan seks. Berbagai recital atau setiap latihan piano yang memperdengarkan musik klasik gubahan Schumann hingga Schubert bagai cerminan hasrat membara yang dituangkan dalam permainan musik penuh passion. Kuat dengan seksualitas. Tapi di samping itu Haneke juga tidak ragu memperlihatkan rangkaian momen seks Erika yang lebih akan menciptakan penonton ngilu atau jijik daripada terangsang secara gamblang. Sulit untuk ditonton tapi efektif sebagai alat eksplorasi aksara dalam ekspresinya terhadap segala kekangan. 
Tapi jangan harap bisa bersimpati pada Erika. Michael Haneke memang tidak pernah meniati itu. Satu-satunya tujuan dari The Piano Teacher adalah citra kasatmata dari sisi gelap terpendam manusia. Haneke hanya ingin menunjukkan, tidak peduli penonton mau mendapatkan atau tidak. Mungkin terasa ekstrim. Tapi terang ini bukan sekedar karya yang dibentuk hanya untuk menciptakan penonton terkejut dan jijik. Bukan sekedar eksploitasi murahan. Semuanya yakni sisi terpendam manusia. Wajar kalau penonton tercengang, alasannya yakni hal itu memang hampir tak pernah nampak di permukaan, dikekang sebagai bentuk pemujaan terhadap apa yang kita sebut "norma". Tapi itu nyata. Hasrat itu terang ada. Hanya kita saja sebagai insan yang tidak pernah (atau menolak) menyadari. Erika menyadari itu, dan berujung pada sebuah fantasi wacana aktifitas seksual. Tapi fantasi tetaplah fantasi, belum tentu seindah realita. Pada risikonya titik puncak hingga ending yang shocking menunjukkan bagaimana ekspektasi yang "terkhianati" jadi begitu menyakitkan.

Duet Isabelle Huppert dan Benoit Magimel makin memperkuat kisahnya. Keduanya menghidupkan dua aksara yang sekilas berbeda namun bahu-membahu serupa. Isabelle Huppert sebagai Erika memperlihatkan dengan begitu kasatmata seorang perempuan yang mati-matian memendam hasratnya. Apa yang aktris ini perlihatkan yakni keindahan lakon tugas realis dimana gestur kecil dari tangan (bahkan jari) berperan besar menyajikan kecemasan nyata. Benoit Magimel pun sama kuatnya. Bedanya yakni tokoh Walter tidak segan memperlihatkan rasa tidak nyaman terhadap hasrat yang ditekan. Kecemasan pun dia tunjukkan begitu berpengaruh lewat lisan yang jauh lebih besar dan lebih nampak dari apa yang diperlihatkan Erika. Akting keduanya bisa menutupi fakta bahwa durasi 131 menit film ini masih belum menjadi klasifikasi yang cukup untuk eksplorasi kehidupan Erika. Hasrat seksual terpendam itu rumit. Mungkin butuh durasi tiga jam untuk mencapai kedalaman bertutur layaknya Lars Von Trier dalam Nymphomaniac.

Verdict: Destruktif, kelam dan intens. Visualisasi ekstrimnya lebih dari sekedar eksploitasi kosong. Semuanya substansial untuk eksplorasi aksara sekaligus menampar penonton pada realita

Artikel Terkait

Ini Lho The Piano Teacher (2001)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email