Saturday, January 5, 2019

Ini Lho The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out The Window And Disappeared (2013)

Judul film ini yaitu apa yang aku sebut "sangat indie". Aneh, lucu, mengundang tanya, dan tentunya amat menarik. Awalnya aku menerka penyesuaian dari novel berjudul sama karya Jonas Jonasson ini akan menjadi drama-komedi bernuansa bittersweet yang bertutur ihwal bagaimana seseorang berhadapan dengan masa tuanya. Tapi ternyata film garapan Felix Herngren ini bagaikan "saudara" dari Forrest Gump. Sebagai pembeda yaitu kehadiran dagelan yang lebih gila serta tanpa perjuangan ber-melankolis. Karakter utamanya berjulukan Allan (Robert Gustafsson), laki-laki renta yang tampak begitu kesepian, bahkan ia hingga (literally) meledakkan seekor musang yang membunuh kucingnya. Sang kucing yang diberi nama "Molotov" memang menjadi satu-satunya sahabat bagi Allan. Jika ada hal lain yang begitu ia cintai selain kucingnya, hal itu yaitu bom. Allan suka meledakkan apapun dengan bom rakitan sendiri.

Akibat tindakannya meledakkan musang tadi, Allan terpaksa tinggal di sebuah panti jompo. Disana ia hanya duduk sendiri, nampak kesepian dan kebosanan. Bahkan ia sama sekali tidak bersemangat menyambut pesta ulang tahunnya yang ke-100. Dengan citra hidup macam itu, tentu gampang bagi penonton untuk berasumsi bahwa abjad ini yaitu laki-laki renta yang merana dan sendirian di tengah keterasingan. Karena itulah kita dapat memahami dikala ia tetapkan melompat dari jendela kamarnya. Lalu ibarat apa yang disebutkan oleh judul filmnya, Allan menghilang. Setidaknya itu yang ada di benak para perawat panti jompo dan pihak kepolisian. Diluar sana, Allan tidak tahu hendak pergi kemana (hell, even until the end he still doesn't know where to go). Bahkan ia asal membeli tiket bus sesuai dengan uang yang ia miliki.
Penonton dapat menebak bahwa akan ada petualangan yang menunggu Allan, tapi yang tidak kita kira yaitu bahwa masa kemudian laki-laki ini sudah dipenuhi petualangan. Siapa sangka lansia satu masa ini memiliki tugas penting dalam banyak sekali insiden bersejarah, bahkan berteman dekat dengan para tokoh-tokoh terkenal, sebut saja Jenderal Franco, Stalin, Harry S. Truman, dan masih banyak lagi. Tapi tentu saja momen-momen itu dipresentasikan dalam bentuk komedi. Disaat Forrest Gump "hanya" duduk bersama John Lennon atau Bill Clinton, Allan sempat menyelamatkan Franco, "mengadu domba" pihak Amerika dan Rusia dalam perang dingin, hingga membuat bom atom. Tentu anda pernah mendengar bagaimana sang jenius Albert Einstein menolak dikala diminta bantuannya membuat bom bukan? Lalu siapa yang dapat menggantikan otak jenius tersebut? Tentu saja Allan Karisson.

The jokes are there. Bukan dagelan cerdas, tapi terang lucu dan gila. The 100-Year-Old Man Who Climbed Out the Window adalah komedi yang efektif jikalau ditonton beramai-ramai tapi bakal hit and miss saat ditonton sendirian. Formula komedinya adalah: semakin gila maka semakin lucu. Selain slapstick, banyak pula komedi hitam yang bermain-main dengan kekerasan dan kematian. Hampir setiap punchline diisi ledakan secara literally atau adegan dengan rasa eksplosif (ex: kendaraan beroda empat bertabrakan), sama eksplosifnya dengan ledakan tawa dari penonton. Herngren tahu benar bahwa salah satu cara mengakali timing dalam komedi yaitu memperlihatkan "hantaman" sekuat mungkin pada penonton. Sehingga walau bersama-sama dagelan itu tidak lucu sekalipun, penonton akan mentertawakan kegilaan yang hadir. 
Masa sekarang dan masa kemudian ditunjukkan secara bergantian dalam tempo yang cepat. Baik masa kemudian dikala Allan berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah maupun masa sekarang dikala ia harus berhadapan dengan persekutuan pengedar narkoba sama-sama menyenangkan diikuti. Menyenangkan alasannya menghibur. Saya terhibur dengan sosok Allan, tapi apa aku peduli padanya? Sayangnya tidak. Allan yaitu laki-laki yang clueless, cenderung bodoh. Satu-satunya tokoh yang lebih kolot darinya yaitu Herbert Einstein, saudara kembar Albert yang idiot. Allan tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya, tidak pula memahami intensi dari orang-orang yang ada. Karena itu ia santai saja dikala diancam akan dibunuh. Lucu, tapi ada yang hilang dari sosok Allan, yaitu hati. Bahkan sosok macam Forrest Gump maupun Mr. Bean saja punya perasaan. Untuk menampilkan itu tidak perlu dramatisasi berlebih layaknya Forrest Gump, tapi disaat tiap eksplorasi abjad Allan disajikan secara komikal, sosoknya pun tidak berbeda dengan abjad kartun.

Tapi memang ibarat itulah tujuan film ini. Berusaha membuat penonton tertawa oleh tingkah polah karakternya tanpa beruaha menarik semoga kita peduli pada mereka. Sejatinya dongeng film ini punya banyak tema yang dapat digali, semisal: begitu berwarnanya kehidupan, bagaimana kita dihentikan menilai orang dari tampak luarnya, dan segala macam aspek ihwal kehidupan laki-laki lanjut usia. Tanpa perlu "sok bijak" semua itu dapat disajikan dengan elegan. 

Verdict: Pada karenanya penonton akan merasa senang, tapi melupakan lebih banyak didominasi yang terjadi dalam film ini alasannya tidak adanya keterikatan entah pada dongeng maupun karakter. Tapi paling tidak masih menghibur, dan tanpa perjuangan berlebihan untuk menyentuh layaknya Forrest Gump. That could be worse.

Artikel Terkait

Ini Lho The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out The Window And Disappeared (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email