Ini yaitu film kedua yang dibentuk oleh Sammaria Simanjuntak, sutradara perempuan yang pada tahun 2009 kemudian melahirkan Cin(t)a, sebuah film romantis indie yang dapat dibilang berhasil menjadi sebuah cult bahkan berhasil membawa pulang Piala Citra untuk kategori naskah aslie terbaik. Dengan kesuksesan tersebut tentu banyak yang memprediksi bahwa Sammaria Simanjuntak akan menjadi sutradara besar yang laku manis karyanya. Tapi sayang, Indonesia tidaklah terlalu erat bagi mereka para sutradara indie idealis meski ia telah membuat karya yang dicintai begitu banyak orang. Hal itulah yang terjadi pada Sammaria Simanjuntak sebab gres empat tahun sesudah film pertamanya ia merilis Demi Ucok yang merupakan film kedua sekaligus curhatan personal dari sang sutradara perihal kondisi yang selama ini ia hadapi. Demi Ucok juga membawa serta dua pemain drama utama dalam Cin(t)a yakni Sunny Soon dan Saira Jihan meski kali ini keduanya hanya menjadi pemain drama pendukung. Untuk pemain drama utama ada nama Geraldine Sianturi serta Lina Marpaung dimana nama terakhir sukses membawa pulang Piala Citra untuk kategori aktris pendukung terbaik. Demi Ucok sendiri memang bagaikan sebuah curhatan personal Sammaria Simanjuntak dimana film ini bertutur perihal Gloria Sinaga (Geraldine Sianturi), seorang sutradara film asal Batak yang sudah empat tahun sejak debutnya tidak membuat film sebab kesulitan mencari produser yang mau mendanai filmnya.
Disisi lain sang ibu, Mak Gondut (Lina Marpaung) yaitu seorang perempuan paruh baya yang dulunya bermimpi jadi artis tapi hasilnya malah menikah dan menentukan membuang mimpinya tersebut. Hal itulah yang membuat Glo tidak ingin menjadi ibarat ibunya dan berniat untuk mengejar mimpinya dulu gres memikirkan pernikahan. Namun ternyata Mak Gondut sangat berambisi untuk menjodohkan puterinya tersebut dengan laki-laki Batak. Karena baginya kiprah seorang perempuan Batak hanya tiga, yaitu menikah dengan laki-laki Batak, punya anak Batak dan hasilnya punya menantu Batak. Konflik pun mulai terjadi antara ibu dan anak tersebut yang sama-sama teguh memegang pendirian masing-masing. Gloria yang tetap teguh ingin berusaha membuat film dulu bekerjsama juga menyadari bahwa untuk sutradara dengan idealisme ibarat dirinya sulit untuk mendapat produser yang mau membiayai filmnya. Kenapa? Karena bagi para produser film Indonesia yang laku haruslah film horor yang memunculkan hantunya tiap 2 menit sekali serta pamer susu-susu aktrisnya. Begitulah Demi Ucok, sebuah drama satir yang menyindir banyak hal dan mentertawakan banyak hal juga meski durasinya hanya 79 menit dan jikalau dikurangi credit maka hanya satu jam lebih sedikit. Sebuah film yang tidak hanya sangat personal tapi juga sangat Batak sebab akan ada banyak kultur Batak disini. Bahkan judulnya pun punya sentuhan komedi sebab tidak ada abjad berjulukan Ucok disini. Nama Ucok sendiri dimasukkan sebab nama itulah yang sangat identik dengan Batak. Ibaratnya kalau filmnya perihal Jawa ya diberi judul Demi Bambang atau Demi Slamet.
Tapi walaupun Demi Ucok adalah film yang sangat Batak, hal itu tidak membuat fim ini jadi terlalu segmented. Alih-alih membuat film yang hanya dimengerti orang Batak, Demi Ucok justru berbaik hati memberi tahu pada penonton awam perihal beberapa budaya sana khususnya yang berkaitan dengan para perempuan Batak. Penggunaan bahasa Batak pun ada tapi tidak terlalu mendominasi dan masih dapat diikuti sebab toh ada subtitle-nya. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, meski berdurasi sangat pendek tapi film ini punya begitu banyak hal yang coba disampaikan. Naskahnya benar-benar jadi curhatan habis-habisan dari Sammaria Simanjuntak. Segala hal yang membuatnya resah dan risih ia tuangkan disini mulai dari budaya perihal perempuan Batak, kondisi perfilman Indonesia yang hanya menjual film-film sampah dan tidak erat dengan sutradara indie muda ibarat dirinya, hingga hal-hal politik dari korupsi hingga para politikus yang hanya tebar pesona tanpa memperlihatkan kemajuan yang positif bagi bangsa. Banyak hal tersebut muncul dari aneka macam dialog santai karakternya hingga kejadian-kejadian yang menimpa Gloria. Tapi sayangnya aneka macam pesan-pesan termasuk perihal perjuangan mengejar mimpi disampaikan terlalu repetitif, berulang-ulang dengan cara yang sama yaitu curhatan ekspresi Gloria. Entah berapa kali kita mendengar Glo berkata "pokoknya Glo mau bikin film". Hal tersebut membuat kebosanan bagi saya, sebab hasilnya Demi Ucok terkesan sebagai curhatan yang terlalu cerewet.
Jelas ini yaitu film yang personal bahkan mungkin semi-biografi dari Sammaria Simanjuntak melihat segala situasi yang dialami oleh Gloria disini. Sayangnya Demi Ucok terlalu luas dalam berbicara. Andaikan kisahnya lebih berfokus pada konflik ibu-anak dan sindiran terhadap industri perfilman saja saya yakin ini akan jadi tontonan yang lebih cantik dan lebih mengena daripada sekedar sindiran demi sindiran numpang lewat yang dapat membuat tersenyum tapi akan segera terlupakan. Padahal beberapa sindiran perihal industri film cukup lucu dan masih banyak yang dapat diangkat dari hal tersebut. Ya, jikalau bicara perihal kelucuan Demi Ucok memang lucu. Tidak semua komedinya berhasil tapi tidak ada yang hingga terasa keterlaluan jayusnya ibarat banyak film komedi Indonesia. Saya selalu dibentuk tersenyum dengan sindiran dan tingkah laku serta celotehan karakternya. Mulai dari sosok Lina Marpaung yang absurd, muka jutek Geraldine Sianturi dan segala anutan kritisnya, Saira Jihan yang lesbian tapi dapat hamil dan dapat menarik perhatian semua laki-laki hanya dengan membuka beling matanya, hingga cameo Joko Anwar sebagai produser film horor kancut semuanya mampu memancing tawa saya. Komedinya juga saya akui cukup berani dan mungkin bagi mereka dengan cara pandang "tertutup" akan terasa terlalu berani, tapi saya toh merasa semua itu hiburan yang lucu. Tapi sayangnya kedalaman emosional film ini tidaklah sehebat komedi satirnya. Kisah antara Gloria dan Mak Gondut hanya meninggalkan kesan jenaka tanpa kedalaman emosi yang berlebih. Padahal seharusnya ada kesan mendalam dalam hubungan keduanya, yang hasilnya membuat pesan perihal "berbuat baik pada orang bau tanah jikalau ingin sukes" tidaklah tersampaikan dengan baik.
Satu hal yang banyak dikritisi dalam film ini yaitu teksninya yang jelek dan terlihat amatiran. Memang Demi Ucok terlihat begitu agresif dalam pengambilan gambar dan editingnya dan terlihat diambil dengan bujet seadanya serta lebih banyak mengandalkan semangat dan kecintaan membuat film.Tapi tetap saja saya tidak dapat membenci film ini dengan kekurangan teknisnya, sebab meski sedikit mengganggu tapi saya lebih mencicipi passion besar dari Sammaria Simanjuntak disini. Ini yaitu bentuk kecintaan dan hasrat besar seseorang terhadap film dan pembuatan film hingga dengan segala keterbatasannya. Jika ingin menyalahkan, salahkan para produser yang tidak mau membiayai para pembuat film indie berbakat ibarat Sammaria Simanjuntak. Kesederhanaann film ini bagi saya lebih memunculkan rasa semangat dan cinta daripada tidak niat. Bahkan di tengah segala kesederhanaan tersebut film ini masih berusaha menampilkan beberapa visual animasi yang unik meski lagi-lagi sederhana. Dibandingkan dengan Cin(t)a jelas teknis film ini dibawahnya. Tapi saya tetap menikmati Demi Ucok, sebagai sebuah tontonan menghibur yang juga curhatan personal dan berisi banyak "teriakan" dari pembuatnya perihal segala kesulitan yang menghalangi mimpinya. Mungkin Sammaria Simanjuntak sedikit terlalu terburu-buru merilis film ini sebab naskahnya sendiri meski cantik masih dapat jauh dikembangkan hingga tidak hanya sekedar jadi film berdurasi satu jam lebih sedikit. Atau lagi-lagi keterbatasan dana?
Ini Lho Demi Ucok (2013)
4/
5
Oleh
news flash