Judul film ini mengingatkan saya pada nama Don Juan, sosok fiktif yang sudah melegenda semenjak tahun 1600-an dan kini namanya selalu bersinonim dengan womanizer atau hiperseksual. Dari fakta itupun kita sudah bisa menebak akan bercerita wacana apa film yang menjadi debut penyutradaraan Joseph Gordon-Levitt ini. Menari memang menantikan akan jadi mirip apa debut dari Gordon-Levitt mengingat sebagai bintang film ia sudah membuktikan kualitasnya, apalagi disini ia tidak hanya menyutradarai tapi juga menulis naskah dan menjadi bintang film utamanya. Makara bisa dibilang ini ialah panggungnya seorang Joseph Gordon-Levitt untuk membuktikan kapasitasnya sebagai seorang filmmaker. Memilih komedi romantis sebagai genre yang diambil, tentu saja kisah wacana seorang womanizer sekaligus hiperseksual ini tidak lengkap kalau tidak diisi sosok aktris yang pas. Untuk itulah ada nama Scarlett Johansson dan Julianne Moore disini. Khusus bagi Scarlett Johansson, terperinci akan menarik perhatian kaum laki-laki melihat aksinya di film yang penuh dengan konten seksual mirip ini.
Kisahnya ialah wacana Jon Martello Jr. (Joseph Gordon-Levitt) yang oleh teman-temannya dipanggil Don Jon sebab kemampuannya menggoda para wanita. Cukup mengandalkan lirikan maut, tiap malam ia selalu berhasil membawa pulang wanita-wanita bagus dari klub untuk diajak bekerjasama seks. Namun meski bisa dengan gampang bekerjasama seks dengan banyak perempuan cantik, Jon nyatanya tidak pernah bisa terpuaskan oleh korelasi seks tersebut. Justru kebiasaannya bermasturbasi sambil menonton film porno yang sanggup memuaskan segala hasrat seksual Jon. Menurutnya, seks yang selama ini ia sanggup dengan wanita-wanita tersebut masih kalah jauh dibadningkan dengan kepuasan yang ia dapatkan dikala mastrubasi ditemani porno-porno favoritnya. Sampai suatu hari ia bertemu dengan Barbara Sugarman (Scarlett Johansson) yang menurutnya ialah perempuan bernilai sempurna. Disinilah Jon mulai membangun korelasi asmara yang berbeda dari sebelumnya, lebih dari sekedar one night stand. Akan ada banyak porno, masturbasi, seks dan hal-hal lain yang berkaitan dengan aspek seksual disini. Membungkusnya sebagai komedi-romantis nyatanya tidak menciptakan Don Jon berakhir sebagai film komedi remaja yang jorok dan konyol.
Kisah yang ditawarkan oleh film ini mungkin akan mengingatkan pada Shame karya Steve McQueen yang dibintangi oleh Michael Fassbender. Kedua film ini sama-sama berkisah wacana seorang laki-laki yang memiliki fisik rupawan dan seorang hiperseks yang doyan menonton porno sambil masturbasi meskipun telah banyak menghabiskan waktunya bekerjasama seks dengan wanita-wanita yang mereka mau. Nampak serupa dari inspirasi dasarnya, pengemasan kedua film inilah yang pada alhasil sangat membedakan keduanya. Jika saya ibaratkan Shame ialah merupakan research serius nan mendalam wacana laki-laki yang hidup sebagai hiperseks. Sedangkan Don Jon tidak lebih dari sekedar dialog santai wacana seks yang dilakukan oleh para laki-laki disaat mereka sedang nongkrong bareng. Ya, meskipun punya potensi menjadi sebuah sajian yang kompleks, kelam dan mendalam, toh pada alhasil Gordon-Levitt menentukan mengemas debut filmnya ini secara lebih santai dan menghibur. Memang ada konflik wacana laki-laki hiperseksual disini mirip bagaimana mereka menghadapi tuntutan sosial yang terperinci memandang miring mereka serta adiksi spontan yang terjadi, namun semuanya dikemas dengan ringan, penuh canda dan jauh dari nuansa kelam.
Tentu saja tidak lengkap membicarakan film yang berkisah wacana hiperseksual tanpa membicarakan seberapa "panas" dan "nakal" adegan-adegan di dalamnya. Untuk itu Don Jon termasuk berhasil menyajikan hal tersebut. Apalagi tentu saja film ini memiliki sosok Scarlett Johansson yang punya sex appeal luar biasa. Don Jon memang dikemas ringan namun bukan berarti film ini malu-malu untuk menampilkan unsur seksual di dalamnya. Disinlah keberanian Joseph Gordon-Levitt patut diapresiasi. Mungkin bukanlah sebuah tontonan yang amat vulgar, tapi beliau tidak takut menciptakan filmnya dipenuhi hal-hal "nakal" yang terperinci menciptakan filmnya tidak bisa dinikmati semua kalangan umur. Don Jon tidak hanya berkisah wacana laki-laki dengan hiperseksual tapi juga mengemasnya dengan kisah cinta yang bertutur wacana pencarian makna cinta serta bagaimana sebuah korelasi terjalin dengan sehat. Ada Barbara yang menggambarkan sosok perempuan yang dari fisik nampak luar biasa, namun dibalik itu semua ada fatwa romantisme yang banyak dipuja perempuan kini dimana mereka menganggap seorang laki-laki benar-benar mencintainya kalau mereka mau melaksanakan apapun yang diminta si wanita.
Disisi lain ada Esther yang diperankan Julianne Moore sebagai sosok perempuan yang beranggapan bahwa sebuah korelasi akan berjalan sehat kalau tidak berjalan secara satu sisi, melainkan secara dua sisi bersamaan sampai alhasil mereka yang menjalani korelasi saling melengkapi satu sama lain. Ada banyak potensi dalam naskahnya, namun pemilihan jalur komedi romantis menciptakan potensi itu tidak tergali dan terdalami secara maksimal. Tapi toh Don Joni memang "hanya" ingin menjadi sebuah hiburan. Walaupun begitu saya sangat mengapresiasi Gordon-Levitt yang tetap berani menonjolkan aspek seksual tanpa perlu "malu-malu" sampai menciptakan filmnya ini tidak berakhir mirip komedi romantis lainnya yang terlalu dangkal. Masih ada kedalaman dongeng yang cukup baik di naskahnya. Sebagai sutradara, Gordon-Levitt pun cukup berhasil menciptakan filmnya menarik dengan editing cepat yang dinamis sampai pemakaian adegan repetitif yang cukup banyak tidaklah terasa membosankan. Adegan demi adegannya beralih dengan begitu cepat dan menarik. Sedangkan sebagai aktor, sosoknya sesuai sebagai seorang womanizer yang gampang menaklukkan hati perempuan lengkap dengan perubahan bunyi yang ia lakukan tanpa harus terasa dipaksakan. Don Jon pada alhasil merupakan sebuah debut penyutradaran dan penulisan naskah yang memuaskan, membuktikan Gordon-Levitt punya masa depan cerah diluar keaktoran.
Ini Lho Don Jon (2013)
4/
5
Oleh
news flash