Wednesday, January 16, 2019

Ini Lho Extremely Loud & Incredibly Close (2011)

Saya termasuk orang yang terkejut ketika judul film ini menutup daftar nominasi Best Picture untuk Oscar tahun ini. Awalnya film ini ialah proyek yang amat menjanjikan dan bisa dibilang "Oscar banget" melihat dari segala aspeknya. Cerita berbasis dari bencana 9/11 yang tentunya punya banyak sisi drama yang bisa dieksplorasi. Lalu di dingklik sutradara ada nama Stephen Daldry yang punya magnet berpengaruh bagi para juri Oscar. Hal itu terlihat dari catatan yang ia miliki dimana dari ketiga film yang telah ia buat (Billy Elliot, The Hours & The Reader) ketiganya selalu menghasilkan nominasi Best Director baginya meski belum ada satupun yang berhasil ia menangkan. Sedangkan dari ketiga film tersebut, dua diantaranya (The Hours dan The Reader) juga mendapat nominasi Best Picture. Extremely Loud & Incredibly Close juga punya beberapa nama besar jaminan mutu menyerupai Tom Hanks, Sandra Bullock, Viola Davis dan Max von Sydow. Tapi ternyata film ini mendapat balasan yang tidak terlalu baik dari para kritikus. Jika menyelidiki di web Rotten Tomatoes, film ini hanya mendapat nilai 47% yang terang termasuk rendah untuk ukuran nominator Best Picture.

Sempat tersiar sentilan bahwa film ini masuk nominasi hanya lantaran faktor Stephen Daldry yang karya-karyanya disukai para juri Oscar. Kaprikornus pertanyaan aku sebelum menonton film ini ialah "apa itu benar atau sebetulnya film ini layak jadi nominasi tapi terlalu underrated?"  Dibuka dengan sebuah adegan yang cukup indah bagi saya, film ini nantinya akan mengajak penonton mengikuti kehidupan bocah berjulukan Oskar Schell (Thomas Horn) yang pasca bencana 9/11 harus kehilangan ayahnya (Tom Hanks) yang menjadi salah satu korban tewas dalam kejadian tersebut. Oskar sendiri menghadapi hal tersebut dengan caranya sendiri yang unik mengingat ia ialah penderita asperger. Setahun sesudah ajal sang ayah yang ia sebut sebagai "the worst day", Oskar menemukan sebuah kunci di lemari pakaian milik ayahnya. Merasa itu ialah sebuah peninggalan ayahnya, Oskar berusaha mencari orang yang punya pasangan/gembok dari kunci tersebut meski itu artinya ia harus menjelajahi kota New York tanpa sepengetahuan ibunya (Sandra Bullock). Dalam pencariannya tersebut ia juga bertemu dengan laki-laki bau tanah ( Max von Sydow) yang tidak pernah berbicara yang menyewa kamar di apartemen milik nenek Oskar. Berhasilkah Oskar mencari "hal" yang perlu ia temukan?

EL&IC sejauh yang bisa aku tangkap ialah mengenai sebuah pencarian. Dalam pengemasannya, film ini berusaha menampilkan cerita yang jelas-jelas dibentuk dengan impian menciptakan penontonnya tersentuh tapi juga bisa menginspirasi dengan melihat usaha Oskar. Tapi sangat disayangkan film ini berlalu begitu saja tanpa mampu menciptakan terharu apalagi menginspirasi. Untuk menciptakan film yang mengharukan lebih gampang daripada menciptakan film yang menginspirasi. Untuk menguras air mata penonton, tinggal sajikan film dengan aksara yang punya cerita hidup menyedihkan, sajikan momen-momen menyedihkan dengan sedikit dilebihkan, maka muncul sebuah film yang murung atau disebut tearjerker. Tapi Stephen Daldry nampaknya enggan menciptakan film ini jadi melodrama, tapi juga berusaha membuatnya menginspirasi. Tapi hasil kesannya justru nanggung di kedua sisi. Mengurangi adegan penguras air mata yang sebetulnya berpotensi muncul di beberapa bagian, EL&IC tidak bisa terasa mengharukan.
Sayangnya film ini juga gagal menginspirasi. Perjuangan Oskar memang terasa istimewa tapi tidak hingga menyentuh perasaan saya. Toh yang kita lihat disini hanyalah Oskar yang tiap hari pergi berkeliling mencari seorang berjulukan belakang "Black" dan perjalanannya tidak mengakibatkan bekas dan hanya sambil lalu. Terlalu banyak orang yang ia temui ialah permasalahan film ini. Saya membayangkan andaikan film ini hanya mengisahkan Oskar bertemu dengan beberapa orang saja yang ternyata orang-orang tersebut juga mempunyai permasalahan tersendiri dalam hidup mereka dan pada kesannya pertemuan mereka dengan Oskar bisa menciptakan hidup mereka lebih baik dan juga sebaliknya. Jika EL&IC berjalan dengan pola menyerupai itu aku rasa kisahnya akan jauh lebih menyentuh. Dengan pattern seperti itu maka tokoh-tokoh yang ada bisa lebih dimaksimalkan menyerupai tokoh yang diperankan Viola Davis yang sebetulnya punya tugas tidak kecil tapi disini justru punya screen time yang sedikit.
Toh meski kurang maksimal aku masih bisa menikmati film ini dan ada beberapa belahan yang menarik disimak hanya saja adegan-adegan tersebut tidak hingga menciptakan aku terenyuh. Salah satu rujukan ialah ketika Oskar memperdengarkan isi pesan dari ayahnya kepada Renter. Adegan itu berpotensi jadi adegan yang mengiris, apalagi ketika itu identitas sang Renter mulai menemui titik terang, tapi sekali lagi pengemasannya kurang maksimal. Masih banyak lagi adegan yang berpotensi besar tapi digarap dengan terlalu biasa dan tanggung sehingga tidak berhasil memancing emosi penonton. Sama menyerupai film ini secara keseluruhan yang sebetulnya punya banyak sekali potensi yang lengkap dari semua aspek tapi hasil kesannya biasa saja.

Bicara soal karakter, sebetulnya masing-masing aksara punya faktor yang bisa memancing para pemainnya mengeluarkan akting terbaik mereka, hanya saja yang jadi permasalahan ialah screen time dan porsi kemunculan mereka. Oskar ialah sosok yang menarik. Mungkin banyak yang berkata ia sangat menyebalkan, tapi toh Oskar ialah penderita asperger yang tengah mengalami kehilangan mendalam. Anak asperger sulit akrab dengan seseorang dan Oskar hanya akrab dengan sang ayah. Lalu ketika ia kehilangan ayahnya tentu kesedihan yang ia alami luar biasa. Hanya satu yang mengganjal bagi aku yaitu pada aksara Oskar yang terasa sering terlalu mudah  berkomunikasi dengan orang aneh meski memang caranya berkomunikasi tidaklah terlalu normal, tapi aku rasa bagi penderita asperger ia masih manis dalam sosialisasi. Akting Thomas Horn sendiri amat meyakinkan disini, dan bisa menunjukkan perasaan seorang Oskar dengan baik. Lihatlah perbedaan akting Thomas dengan pemeran cilik lain yang mendapat tugas bocah menyebalkan, terasa jauh bedanya.

Karakter lain sayangnya punya porsi yang kurang. Max von Sydow ialah yang porsinya paling mendekati Oskar. Tanpa obrolan ia tampil dengan manis meski aku rasa tidaklah terlalu spesial. Konklusi untuk karakternya juga kurang memuaskan dan terlalu terburu-buru. Viola Davis sangat disayangkan muncul sebentar padahal karakternya masih bisa ditambah kemunculannya. Toh ia kembali menunjukan bahwa dengan screen time sedikit ia bisa tampil baik. Tom Hanks tidak kalah baik, meski jangkauan emosi yang harus ia munculkan tidak lebar, tapi ia bisa mendefinisikan seorang ayah yang berusaha membimbing anaknya yang menderita asperger dengan baik. Sandra Bullock juga tampil dengan salah satu performa terbaiknya sepanjang yang pernah aku tonton, tapi sekali lagi faktor karakterisasi dan jatah muncul yang kurang menjadi masalah. Sosok ibu yang ia mainkan terasa terlalu pasif dalam film ini padahal terang bahwa ia menyayangi anaknya.

Extermely Loud & Incredibly Close tidak hanya mengenai pencarian tapi juga mengenai serba tanggung dan kegagalan memaksimalkan modal yang begitu banyak dan potensial. Juga merupakan film yang gagal mengeksekusi semua aspeknya dengan baik. Mungkin ini juga disebabkan oleh penulis naskah Eric Roth yang kurang baik dalam mengadaptasi novel berjudul sama yang jadi basis film ini. Apapun itu meski masih bisa dinikmati amat disayangkan film ini tidak maksimal. Bahkan pada kesannya aku menganggap film ini ialah nominator Best Picture dengan kualitas paling jelek pada Oscar tahun lalu. Bagi aku film-film macam The Girl With the Dragon Tattoo, The Ides of March ataupun Drive masih jauh lebih baik dan pantas sebagai nominasi. Benarkah film ini masuk nominasi hanya lantaran nama Stephen Daldry? Mungkin.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Extremely Loud & Incredibly Close (2011)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email