Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Four Weddings And A Funeral (1994)

Terkadang suatu film disebut anggun alasannya memang benar-benar bagus. Tapi tidak jarang pula ada yang dinyatakan anggun (hanya) alasannya punya kualitas di atas kebanyakan film lain dengan genre serupa. Tidak semua, tapi dominan komedi romantis memang diciptakan sebagai tontonan ringan. Lupakan semua pesan moral atau kritik sosial yang diselipkan secara paksa dengan kuantitas amat minim, fokus utama rom-com memang menyajikan tontonan romansa ringan nan menghibur. Maka disaat Amerika masih terus mengulang formula usang, kemunculan komedi romantis dari Inggris garapan Mike Newell ini terasa menyegarkan. Pendapatan di atas $245 juta serta dua nominasi Oscar untuk Best Picture dan Best Original Screenplay menunjukkan kehausan publik dunia khususnya Amerika akan romantic comedy yang tidak melulu bicara romantisme gombal. Tapi masalahnya Four Weddings and a Funeral tidak sebagus itu. Satu lagi film overrated yang menguasai tahun 1994 selain Forrest Gump.

Judul film ini menjelaskan semuanya. Akan ada empat ijab kabul dan satu pemakaman yang dihadiri oleh tokoh utamanya, Charles (Hugh Grant). Dia ialah sosok laki-laki canggung yang meyakini keberadan satu cinta sejati, meski hingga ketika ini ia masih belum menemukan perempuan yang benar-benar ia cintai. Dalam rentang waktu beberapa bulan, kita dibawa melihat Charles beserta sahabat-sahabatnya menghadiri empat pesta ijab kabul plus satu upacara pemakaman. Pada banyak sekali kesempatan itulah secara rutin Charles bertemu dengan seorang perempuan Amerika berjulukan Carrie (Andie MacDowell). Cinta pada pandangan pertama dialami oleh Charles. Terhalang oleh jarak, ia pun hanya bisa bertemu dengan Carrie pada even-even tersebut, dimana dalam tiap pertemuan selalu terjadi perubahan dinamika korelasi antara keduanya. Memang tidak ada yang terlalu menonjol dari alurnya. Bahkan kita sudah tahu dari awal ijab kabul siapa yang akan muncul terakhir.
Hal yang menciptakan film ini layak untuk berada di atas kebanyakan komedi romantis lain ialah naskah goresan pena Richard Curtis. Ada tiga poin utama: kandungan cerita, dialog, komedi. Ceritanya menciptakan rom-com ini tidak hanya mengumbar romantisme yang nihil. Meski hadir dalam tataran alur yang gampang ditebak, ada perjalanan cukup bermakna yang dialami abjad Charles. Dia menghadiri empat ijab kabul dan penonton dibentuk mencicipi itu layaknya sebuah rutinitas. Bahkan dalam satu adegan, Charles berdiri tidur dan mensyukuri bahwa pada hari itu ia tidak harus menghadiri ijab kabul siapapun, seolah kehadirannya di pesta ijab kabul ialah bab dari keseharian. Walaupun begitu ia tidak pernah menikmati korelasi cintanya, bahkan nampak jauh dari kesan segera menikah. Daripada menemukan cinta sejati ia justru "diteror" oleh mantan-mantannya dalam suatu rangkaian adegan lucu dan jauh dari kesan menyenangkan ketika Charles bertemu dengan mereka. Ibaratnya, Charles ialah partygoer yang tidak pernah menikmati pesta itu sendiri.

Semua itu memang menciptakan Four Weddings and a Funeral penuh ironi dalam kehampaan yang dirasakan abjad utamanya. Tapi bergotong-royong hanya itu. Poin di atas menciptakan filmnya tidak kosong, tapi tidak hingga menjadikannya tontonan penuh makna, emosional, ataupun romantisme yang benar-benar menggigit. Hanya menghibur tapi tidak pernah terlalu dalam. Sedangkan poin kedua dan ketiga tidak bisa dipisahkan, alasannya obrolan yang ungguh terjadi dalam percakapan antara Charles dan sahabat-sahabatnya, dimana suasana komedi kental disitu. Saat bersinggungan dengan drama percintaan, dialognya biasa saja. Tapi Richard Curtis bisa menuliskan banter menarik yang terasa renyah ketika para sobat ini mulai berinteraksi. Ada Gareth (Simon Callow) yang energik, Tom (James Fleet) yang kaya tapi canggung dan bodoh, hingga Fiona (Kristin Scott Thomas) dengan banyak sekali sindirannya. Komedi yang ditulis Curtis tidaklah terlalu cerdas, tapi efektif. Ringan tapi jauh dari kesan bodoh. Berpadu dengan cermatnya Mike Newell mengatur timing, kelucuan demi kelucuan pun mampu dihadirkan. Bahkan kemunculan Rowan Atkinson meski singkat tapi sukses mengundang tawa. 
Pernikahan pertama membuka film dengan begitu baik, memuat aku pribadi menyukainya. Pernikahan kedua memantapkan apa yang sudah dibangun. Tapi mulai ijab kabul ketiga dan seterusnya, film mulai melelahkan. Padahal justru pada dua pesta ijab kabul terakhir plus pemakaman itulah poin titik balik film ini dimulai. Titik balik yang sejatinya merupakan daerah dimana segala potensi emosional berada. Tapi filmnya sudah terlalu lama berputar pada dua pesta pertama yang penuh keceriaan. Memasuki tiga event berikutnya yang lebih serius (meski masih ada komedi disana-sini) aku sudah merasa lelah. Ketidak berhasilan film ini menyajikan momen drama berpengaruh juga berujung pada kegagalan mengangkat daya tarik film pada paruh kedua. 

Hugh Grant memang bermain apik dengan timing komedik sempurna, penuh ekspresi clueless, dan kecanggungan natural yang tidak jatuh menjadi kebodohan. Tapi aku tetap tidak terikat pada kisah percintaannya. Justru korelasi antar sobat di dalamnya lebih menarik bagi saya. Muncul pula keinginan Kristin Scott Thomas menerima porsi jauh lebih besar khususnya pada porsi komedi. Four Weddings and a Funeral pada kesannya tidak lebih dari sekedar sajian ringan yang amat menghibur. Saya tidak menyangkal film ini sangat menghibur, lucu, penuh interaksi abjad menarik dan kisah yang tidak kosong. Tapi untuk segala jawaban positif dan kesuksesan yang diraih, semua itu terasa berlebihan. Film ini akan memperlihatkan kesenangan, tapi tidak bermakna, apalagi berhiaskan rasa yang dieksplorasi mendalam. Tidak jauh beda dengan mantan-mantan Charles yang hanya memperlihatkan kesenangan biasa saja tanpa kehadiran cinta sejati penuh makna. Rom-com British yang berusaha sebisa mungkin mendekati "rasa Amerika" demi kepentingan komersil.

Artikel Terkait

Ini Lho Four Weddings And A Funeral (1994)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email