Saturday, January 5, 2019

Ini Lho Song Of The Sea (2014)

"Come away oh human child, to the waters and the wild, with a fairy hand in hand, for the world's more full of weeping than you can understand." Rangkaian kalimat yang begitu indah itu membuka Song of the Sea. Sebuah animasi yang tidak berlebihan kalau disebut sebagai pemantap jalan bagi Cartoon Saloon untuk menjadi Ghibli-nya Irlandia. Berdasarkan mitologi Celtic perihal Selkie (jelmaan anjing laut), film ini bercerita perihal kebahagiaan sebuah keluarga kecil yang tinggal di suatu mercusuar. Ben yang masih kecil begitu erat dengan sang ibu, Bronagh. Keduanya sering melukis bersama, bernyanyi bersama, dan bercerita dongeng perihal Selkie yang mengantar para peri pulang dengan nyanyian indah. Sutradara Tomm Moore membawa kita mencicipi kebahagiaan itu lewat rangkaian visualnya yang ajaib. Tapi kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Bronagh meninggal (penyebab gres diungkap di pertengahan) pada hari yang sama dengan kelahiran anak kedua mereka, Saoirse.

Nyatanya kehidupan keluarga ini begitu berubah pasca kepergian Bronagh. Sang suami, Conor masih belum beranjak dari murung dan tidak terlalu memperhatikan kedua anaknya (tidak meninggalkan sepenuhnya, hanya dikalahkan oleh kesedihan mendalam). Ben yang sebelumnya tidak sabar menantikan kelahiran sang adik kini justru membenci Saoirse. Baginya, kewajiban menjaga sang adik yang meski telah berusia enam tahun tapi belum dapat bicara sepatah katapun terasa mengesalkan. Saoirse sendiri meski tidak dapat bicara yakni gadis kecil imut dengan tingkah laris yang akan menciptakan siapapun (kecuali Ben) menyukai dirinya. Segala petualangan dimulai ketika suatu malam Saoirse menemukan kerang pemberian Bronagh dan sebuah mantel ajaib. Petualangan magis yang menghidupkan kembali keindahan dongeng dongeng rakyat. 
Pada dasarnya Song of the Sea punya dongeng yang begitu sederhana. Kisahnya menggabungkan ciri dua aspek: kisah pendewasaan untuk melawan rasa takut dan dongeng rakyat penuh sihir serta makhluk negeri dongeng macam peri, penyihir hingga raksasa. Kedua jenis dongeng itu punya alur yang tidak akan sulit dibaca akan berjalan kemana. Begini jadinya apabila animasi bertemakan from zero-to-hero memang dikemas untuk memperlihatkan perkembangan karakternya dengan fokus pada jalinan emosi daripada sekedar menyajikan petualangan seru atau penjualan merchandise demi kepentingan komersil belaka. Tentu kita tahu bahwa pada hasilnya perilaku Ben terhadap Saoirse akan berubah. Kita juga tahu Ben akan dapat mengalahkan segala rasa takutnya. Tapi fokusnya memang bukan pada hasil akhir, bukan pula pada seberapa seru petualangan yang ia jalani. Melainkan proses terbentuknya semua itu yang bakal melibatkan banyak memori serta introspeksi emosional.
Petualangan yang terjadi tidak mengutamakan action, melainkan keajaiban yang berasal dari segala potensi dongeng rakyat masa lampau. Tentu kita semua masih ingat bagaimana rasanya ketika orang renta kita dulu menceritakan dongeng-dongeng penuh keajaiban. Imajinasi dibawa melayang-layang, membayangkan menyerupai apa kiranya rupa setiap tokoh serta citra negeri dongeng daerah terjadinya dongeng tersebut. Lewat Song of the Sea, Tomm Moore mewujudkan segala imaji masa kecil itu. Kunci utama terletak pada visual. Banyak animasi indah tersaji pada masa sekarang, tapi film ini tetap bangkit tegak sebagai salah satu yang terindah. Song of the Sea adalah citra paling erat dari menyerupai apa rupa negeri dalam dongeng rakyat yang saya bayangkan semenjak dulu. Penuh warna yang berkilauan dan perwujudan benda layaknya alam mimpi. Bahkan visualnya memperhatikan hingga ke detail terkecil. Lihatlah segala benda yang hadir, dimana setiap ornamen terkecil disajikan dengan lekuk garis begitu indah. Bahkan ajaran air dan hembusan angin nampak indah.

Jika kita menonton lebih mengutamakan otak daripada rasa, maka jalinan dongeng film ini mungkin bakal mengganggu. Kemunculan anjing bahari yang tiba-tiba membantu Ben di tengah laut, derma dari seorang penyihir, dan hal-hal lain yang akan terasa menyerupai penggampangan untuk resolusi konflik. Tapi ingat, ini yakni dongeng. Dongeng tidak dapat dinikmati hanya dengan otak dan logika saja, tapi lebih pada ranah rasa serta imajinasi. Jika ditilik dengan kedua hal itu, maka semua hal di atas tidak lagi menjadi masalah. Pada awal goresan pena saya sempat menyampaikan film ini layak disandingkan dengan karya dari Ghibli. Selain sebab nuansa dongeng dan keajaiban yang kental, ketiadaan sosok jahat juga kuat besar. Segala perbuatan karakternya bahkan yang dapat dibilang tidak baik sebetulnya bukan sebab mereka jahat. Ada satu alasan sama yang melatar belakangi aneka macam tindakan tersebut, yaitu cinta. Cinta tidak hanya memberi kebahagiaan tapi dapat membutakan, dan kebutaan itulah yang mendorong beberapa abjad film ini berbuat hal buruk. Kentalnya cinta, kesan imajinatif, keindahan visual, ditambah lagu "Song of the Sea" dari Lisa Hannigan yang menawarkan kedamaian harmoni, maka lengkaplah film ini menjadi salah satu animasi (bahkan film) terindah dalam beberapa waktu terakhir.

Artikel Terkait

Ini Lho Song Of The Sea (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email