Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Gie (2005)

Nama Soe Hok Gie akan selalu dikenal sebagai sosok aktifis mahasiswa, ikon perlawanan terhadap orde usang yang sangat kritis dan vokal, serta tentunya sebagai pelopor berdirinya Mapala UI yang dapat dibilang merupakan pionir bangun komunitas-komunitas mahasiswa pecinta alam lainnya di seluruh Indonesia. Film Gie yang dibentuk oleh duet kematian Riri Riza (sutradara & penulis naskah) dan Mira Lesmana (produser) ini yaitu film yang memenangkan kategori Film Terbaik FFI tahun 2005. Selain itu film ini juga menawarkan Nicholas Saputra piala FFI pertamanya sebagai pemain film terbaik. Dengan segala prestasi dan orang-orang andal yang terlibat, terang film yang diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran tulisan Soe Hok Gie ini cukup berpotensi sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. Saya sendiri gres pertama kali menonton Gie sekarang, sembilan tahun sehabis filmnya rilis (memalukan memang, dan banyak film lokal lain yang saya lewatkan berniat saya tonton mulai sekarang). Awalnya saya meratapi keterlambatan saya menonton film biopic yang digadang-gadang sebagai salah satu yang terbaik ini, namun kini saya justru meratapi penyesalan saya tersebut. Gie ternyata mengecewakan, dan merupakan salah satu yang terburuk dari seorang Riri Riza.

Ceritanya bermula sedari masa muda Soe Hok Gie (Jonathan Mulia) yang dari kursi sekolah populer sering melaksanakan protes dan mengecam ketidak adilan yang terjadi di sekitarnya. Berawal dari situlah ia mulai tumbuh menjadi seorang perjaka yang kritis terhadap segala hal yang ia anggap tidak adil. Hingga pada dikala memasuki masa perkuliahan, Gie (Nicholas Saputra) mulai berorganisasi bersama sahabat-sahabatnya ibarat Herma Lantang (Lukman Sardi), Denny Mamoto (Indra Birowo) dan Ira (Sita Nursanti). Bentuk organisasi mereka diawali dari pembentukan Mapala UI hingga keterlibatan mereka di senat mahasiswa. Dari sinilah perlawanan Gie dan para mahasiswa lainnya terhadap pemerintahan orde usang milik Soekarno yang dinilai penuh kediktatoran apalagi dikala ia diangkat menjadi Presiden seumur hidup dimulai. Terjadinya konflik dengan PKI pun turut memicu konflik lainnya termasuk yang melibatkan sahabat masa kecil Gie, Han (Thomas Nawilis). Tidak hanya berkisah ihwal sepak terjang Gie sebagai aktifis, kehidupan romansanya pun sedikit diangkat disini, dimana Gie bergotong-royong menyimpan rasa cinta kepada Ira namun merasa harus menghormati sahabatnya itu. Disisi lain Gie juga sempat menjalin hubungan dengan Sinta (Wulan Guritno) yang amat mengagumi Gie.

Makara kenapa saya menyebut Gie yang notabene yaitu film terbaik versi FFI 2005 dan film terbaik Indonesia versi banyak pihak sebagai salah satu karya terburuk Riri Riza? Ada beberapa faktor, tapi yang paling terang yaitu satu hal, yakni tidak adanya kekuatan aksara dari sosok Gie itu sendiri. Pengembangan aksara yang kuat yaitu aspek yang amat penting dalam film, namun kalau bicara film biopic maka tingkat kepentingan tersebut menjadi berlipat ganda. Bagaimana mungkin sebuah film biopic yang hakikatnya yaitu untuk memperkenalkan seorang tokoh faktual dapat manis kalau penggambaran karakternya dalam film tidak kuat? Dan yang paling penting yaitu menciptakan penonton merasa bahwa sosok yang diangkat memang layak dibuatkan film. Sejenak kita lupakan dulu sosok Gie yang memang sudah populer sebagai seorang aktifis mahasiswa yang vokal dan berpengaruh. Mari menganggap kita tidak banyak tahu ihwal kehebatan Gie. Dalam kondisi ibarat itu harapannya film ini mampu menciptakan penonton mencicipi betapa hebatnya sosom Gie tanpa melupakan aspek negatif yang juga dimiliki, alasannya yaitu film biopic juga akan menjadi buruk kalau terlalu andal dan menggambarkan karakternya sebagai sosok yang terlalu sempurna
Dalam film ini Riri Riza tidak berhasil menciptakan saya merasa bahwa Soe Hok Gie yaitu seorang sosok yang memang sebegitu besarnya. Yang terlihat hanyalah Gie sebagai orang yang aktif berorganisasi, pandai, dan rutin menerbitkan goresan pena di surat kabar dengan konten yang katanya kritis dan kontroversial. Kenapa saya menulis "katanya"? Karena dalam film inipun tidak diperlihatkan seberapa kontroversialnya goresan pena Gie. Dengan hanya memaparkan judul goresan pena dan sangat sedikit kutipan artikel tersebut terang tidak cukup menawarkan kesan Gie sebagai sosok yang kritis. Selain itu tidak terlalu terlihat pula sosok Gie yang dianggap dapat menggerakkan mahasiswa untuk lebih kritis. Disini ia terlihat hanya menggerakkan sahabat-sahabatnya yang hanya segelintir tersebut. Pada kesudahannya aksara Gie pun terasa kosong. Meski penyutradaraan Riri Riza tetap manis yang terlihat dari pengemasan adegan yang menarik, pemilihan gamabr yang cukup baik dan para pemainnya yang tampil lumayan, namun naskah yang ditulisnya tersa kosong. Sebuah obrolan  dari film ini yang berbunyi "Semua terasa mesra, tapi kosong" benar-benar menggambarkan keseluruhan filmnya.

Naskahnya diangkat dari buku yang menurut catatan harian Gie. Yang namanya catatan harian pastinya tidak akan menggambarkan dengan begitu detail layaknya buku-buku otobiografi. Pasti banyak dongeng yang hanya ditulis singkat, sekilas bahkan mungkin ada rentetan timeline yang tidak dituliskan. Ya, alasannya yaitu semuanya hanya sebagai bentuk curahan perasaan penulis untuk eksklusif terlepas dari nantinya catatan itu akan dijadikan buku. Apa yang terjadi dalam Gie pun terasa ibarat sebuah catatan harian. Filmnya secara umum dikuasai terasa ibarat rangkaian montage belaka. Hal itu menciptakan kedalaman emosinya sangat kurang dan menciptakan banyak insiden yang terasa melompat. Bahkan beberapa aksara jadi terasa menghilang tiba-tiba disaat filmnya melompat begitu saja dari satu waktu ke waktu yang lain. Ambil pola dikala tiba-tiba Gie sudah berpisah dengan sahabatnya termasuk Herman Lantang yang sudah lulus padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih bersama-sama. Atau lihat bagaimana tersia-siakannya konflik dan problem yang dialami Gie dikala sahabat masa kecilnya menjadi anggota PKI. Kita tidak sempat mencicipi kuatnya persahabatan mereka di masa kecil dulu hingga dan dikala muncul konflik dengan PKI, sisi emosionalnya menjadi tidak terasa. Bahkan film ini ditutup dengan adegan simbolisme yang menampilkan kedua sahabat ini. Akhirnya adegan epilog itu terasa hampa alasannya yaitu saya tidak terikat dengan persahabatan mereka.

Tapi untunglah masih ada beberapa aspek positif dalam film ini. Mulai dari lokasi dan arti direction-nya cukup baik, begitu pula sinematografinya. Begitu pula aspek musiknya yang mana film ini diisi begitu banyak lagu-lagu manis dengan penempatan yang sesuai pula. Ada lagu ibarat Donna Donna, Like A Rolling Stone sampai Nurlela yang begitu mengena. Bahkan momen syahdu dikala lagu Donna Donna dimainkan dengan iringan gitar di suatu malam yaitu momen paling emosional yang menciptakan saya merinding dan terharu. Akting Nicholas Saputra pun manis disini, walaupun dengan fakta bahwa aksara Gie kurang dieksplorasi oleh naskahnya. Akhirnya saya menghabiskan tiga paragraf untuk membahas aspek negatif film ini namun hanya setengah paragraf membahas aspek positifnya. Itu alasannya yaitu semoga bagaimana pun segala kebaikan yang ditawarkan tidak mampu menutupi kekurangannya. Karena kekurangan yang ada merupaka aspek yang paling vital khususnya dalam film biopic. Saya akui Gie sanggup menciptakan saya menyadari beberapa hal ihwal esensi politik, kekuasaan dan perlawanan namun sekali lagi ini yaitu film ihwal Soe Hok Gie, bukan ihwal esensi politik. Gie adalah film yang ambisius, besar namun terasa begitu kosong. Tidak buruk namun  sangat overrated bagi saya.  Daripada film ini bagi saya Janji Joni jauh lebih pantas jadi yang terbaik tahun 2005 lalu.

Artikel Terkait

Ini Lho Gie (2005)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email