Rasanya hampir semua orang pernah mencicipi kondisi dimana mereka begitu murka dan benci pada orang lain hingga ingin membunuh mereka. Tapi tentunya membunuh bukanlah hal yang dapat begitu saja dilakukan sehingga cita-cita tersebut hanya akan terpendam dan tidak akan terlalu ditanggapi serius atau benar-benar ditindaklanjuti. Tapi bagaimana kalau ada seseorang yang berani melaksanakan itu? Bagaimana kalau ada seseorang yang sudah begitu muak dengan segara acara-acara ndeso di televisi dan banyak sekali pop culture lainnya yang jelas-jelas terasa membodohi masyarakat, kemudian kemudian orang itu tetapkan membunuh siapa saja yang ia anggap bertanggung jawab atas kebobrokan yang terjadi? Bobcat Goldthwait yang dulu mempersembahkan pada kita sebuah komedi hitam "gila" lewat Wolrd's Greatest Dad kali ini kembali bermain-main di ranah dark comedy. Bobcat akan membawa kita pada sosok Frank Murdoch (Joel Murray), laki-laki paruh baya yang bekerja sebagai sales asuransi dan sedang berada dalam fase kehidupan yang membuatnya frustasi. Dia sudah ditinggal oleh istri dan puterinya dimana sang mantan istri akan segera menikah dengan laki-laki lain.
Kehidupan Frank makin terasa tidak menyenangkan alasannya ialah ia selalu terganggu oleh tetangga yang tinggal sempurna di sebelahnya (hanya terpisah tembok). Tetangganya tersebut ialah sepasang suami istri yang selalu meributkan gosip-gosip dari infotainment. Kebencian Frank terhadap banyak sekali program televisi pada jadinya makin menjadi. Dia membenci segala macam program pop culture yang tidak bermutu dan baginya hanya membodohi masyarakat. Dia sangat berkeinginan membunuh orang-orang yang ia anggap sampah tersebut, tapi tentunya tidak semudah itu dilakukan. Sampai jadinya ia didiagnosa menderita tumor parah dan akan segera meninggal. Hal itulah yang pada jadinya memantapkan niat Frank untuk melaksanakan "eksekusi massal" yang telah usang ia ingin lakukan. Tapi Frank tidak sendiri alasannya ialah ia kemudian bertemu dengan gadis 16 tahun berjulukan Roxy (Tara Lynne Barr) yang ternyata juga sama gilanya dengan Frank. Akhirnya mereka berdua bahu-membahu melaksanakan sanksi massal tersebut. Ya, ibarat pasangan Bonnie dan Clyde.
God Bless America memperlihatkan saya sebuah pengalaman menonton yang membingungkan. Membingungkan disini bukan dalam artian plotnya yang rumit, namun gundah untuk memilih apakah saya menyukai atau justru membenci film ini. Disatu sisi saya pernah mencicipi apa yang dialami oleh Frank, (yang dimainkan dengan begitu baik oleh Joel Murray) dimana beberapa pop culture atau orang-orang yang begitu memuakkan menciptakan saya begitu benci dan serasa ingin membunuh mereka. Beberapa pihak yang disindir dan masuk daftar "layak bunuh" dalam film ini memang sering menciptakan saya muak. Tapi disisi lain saya merasa beberapa sosok yang dibenci Frank bukanlah sosok yang seharusnya patut untuk begitu dibenci hingga layak dibunuh. Hal itu menciptakan saya terkadang bersimpati pada Frank dan terasa menyenangkan melihat aksinya, tapi sering juga Frank muncul sebagai sosok yang luar biasa menyebalkan alasannya ialah terkesan terlalu menutup mata pada hal yang tidak ia sukai Terkadang Frank terlihat ibarat sebuah penggambaran umum dari sekumpulan masyarakat yang sudah begitu muak terhadap banyak sekali pembodohan televisi dan bermacam pop culture bobrok. Tapi terkadang juga Frank terlihat hanya sebagai seseorang yang terlalu sinis dan negatif dalam memandang dunia.
Tentu saja film ini akan begitu subjektif bagi para penontonnya. Penonton yang punya kebencian yang sama dengan apa yang dibenci Frank akan merasa film ini sebagai sebuah surat cinta bagi mereka, alasannya ialah sosok Frank seolah sudah mewakili kebencian dan hasrat menghabisi orang-orang yang mereka benci. Tapi bagi penonton yang tidak sepaham dengan Frank semisal bukan pembenci acara-acara televisi, American Idol, reality show atau bahkan tidak peduli dengan segala hal di televisi ataupun pop culture mungkin akan sering berpikir "Apaan sih, gitu aja kok hingga dipermasalahkan banget?" Saya sendiri sempat memikirkan sebuah ironi dalam film ini dimana Frank yang membenci segala hal yang ia anggap amoral justru melaksanakan tindakan amoral dengan menghabisi nyawa mereka begitu entengnya. Tapi kemudian saya sadar bahwa God Bless America bukanlah berfokus pada bagaimana membentuk moral, tapi lebih kepada meuwujudkan hasrat absurd untuk membunuh sosok-sosok yang disindir dalam film ini, dimana saya yakin banyak orang yang juga mencicipi dan ingin melaksanakan hal yang sama dengan Frank.
Menyaksikan agresi Frank dan Roxy memang terasa menghibur terlepas dari apakah saya baiklah atau tidak dengan anggapan mereka perihal sosok mana saja yang patut dibunuh. Meski tidak ada yang segila adegan pembuka (bayi yang ditembak hingga hancur itu sangat gila!) tapi tetap saja agresi mereka berdua cukup terasa kegilaannya. Nuansa dark comedy juga cukup kental dan di beberapa bab mampu menciptakan saya tertawa. Walaupun begitu untuk ukuran sebuah komedi hitam bagi saya jalinan plotnya minim kejutan absurd ibarat yang jamak ditemui dalam film Bobcat sebelumnya, World's Greatest Dad. Tapi toh intinya God Bless America sudah punya dasar dongeng yang cukup gila. Pada jadinya God Bless America memang tidak akan memuaskan semua orang alasannya ialah tidak semua orang membenci hal yang sama dan ingin melaksanakan tindakan se-ekstrim Frank. Mungkin God Bless America akan "menjebak" penonton dalam dilema perihal budpekerti dan kebencian, namun setidaknya film ini sudah niscaya menjadi film yang tidak membosankan untuk diikuti.
Ini Lho God Bless America (2011)
4/
5
Oleh
news flash