Saturday, January 12, 2019

Ini Lho Gravity (2013)

Semenjak Children of Men sukses mempesona banyak penonton dengan kualitasnya meski gagal secara pendapatan, butuh waktu tujuh tahun bagi Alfonso Cuaron untuk merilis film lagi. Setelah melewati proses panjang selama lebih dari tiga tahun alasannya yaitu Cuaron merasa perlu menunggu perkembangan teknologi lebih jauh supaya visinya bisa tersalur dengan tepat kesudahannya Gravity pun dirilis. Beberapa nama besar sempat dikaitkan dengan film ini mulai dari Angelina Jolie, Marion Cotillard, Scarlett Johansson, Natalie Portman sampai Johnny Depp namun alasannya yaitu proses yang berjalan usang kesudahannya nama-nama tersebut batal bermain dalam film ini. Tapi toh pada kesudahannya Gravity masih mempunyai dua nama besar yang menjadi tokoh utama, yakni Sandra Bullock dan George Clooney. Dengan masa pengembangan yang lama, diisi oleh nama-nama besar, bujet $100 juta sampai banjir kebanggaan dari banyak pihak termasuk James Cameron yang memuji habis-habisan visual film ini, Gravity terang menjadi film yang tidak akan saya lewatkan begitu saja. Bahkan banyak yang menyebut film ini sebagai instant classic bahkan membandingkannya dengan 2001: A Space Odyssey milik Kubrick yang notabene dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.

Gravity intinya punya premis yang cukup sederhana mengenai dua orang astronot, Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalski (George Clooney) yang mengalami kecelakaan ketika tengah menjalankan misi di luar angkasa. Kecelakaan tersebut mengakibatkan pesawat mereka hancur dan menewaskan kru yang lain. Dengan segala keterbatasan dan kondisi luar angkasa yang penuh ancaman mereka berdua harus mencari cara supaya bisa kembali ke Bumi dengan selamat. Saya sudah dibentuk terpaku oleh Cuaron ketika Gravity gres memasuki adegan pembukanya dimana kita akan disuguhi sebuah single shot panjang yang berlangsung tidak kurang dari 15 menit. Adegan tersebut menampilkan dengan lengkap suasana luar angkasa yang gelap, sunyi dan tanpa gravitasi disaat para astronot dengan santainya melayang-layang di ruang hampa sembari saling bercengkerama satu sama lain di tengah misi mereka. Efek CGI yang menampilkan suasana luar angkasa dan Bumi dari atas sana itu memang sangat luar biasa, tapi yang paling membuat saya terkagum-kagum pada adegan tersebut yaitu pergerakan kameranya yang menakjubkan. Bagaimana Cuaron menggabungkan take panjang tersebut dengan imbas gravitasi nol di luar angkasa dalam sebuah peregerakan kamera luar biasa yang terus berputar dan membuat momen demi momen yang terasa tidak mungkin ditangkap dalam sebuah film.

Sejak adegan pembuka yang luar biasa itu, Gravity selalu menghasilkan momen demi momen yang membuat saya berdecak kagum dan terus bertanya dalam hati bagaimana cara Cuaron dan timnya menghasilkan adegan-adegan tersebut. Bahkan lewat sebuah momen sederhana pun Gravity  dapat membuat saya terpukau ibarat disaat kamera pelan-pelan mengambil sudut pandang dari dalam helm Sandra Bullock, seperti kamera tersebut masuk menembus beling helm. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, pergerakan kamera yang luar biasa tersebut juga berpadu tepat dengan sinematografi yang tidak hanya indah namun juga begitu detail. Digarap oleh Emmanuel Lubezki (sinematografer langganan Cuaron dan Terrence Mallick) Gravity bisa merangkum dengan sangat mendetail bagaimana suasana dan atmosfer yang ada di luar angkasa mulai dari langit yang gelap, penampakan Bumi yang begitu positif sampai bagaimana cahaya yang ada muncul. Semuanya begitu indah, positif dan begitu tepat dalam membangun suasana film secara keseluruhan. Lihatlah bagaimana adegan kecelakaan yang beberapa kali muncul sanggup terasa begitu mencekam disaat ribuan puing satelit meluncur dengan kecepatan tinggi. Belum lagi semua itu dibalut dengan imbas 3-D yang bukan hanya menjadi gimmick. Meski ceritanya sederhana, Gravity mempunyai kualitas teknis yang luar biasa dan turut membangun intensitas serta suasana filmnya yang menegangkan meski ceritanya sederhana dan alurnya mengalun dengan agak lambat di beberapa bagian.
Gravity memang begitu luar biasa dalam memperlihatkan kesan teror di luar angkasa yang sunyi. Tidak hanya berhiaskan sentuhan gravitasi nol, film ini juga dengan teratur membiarkan kita karam dalam sunyinya angkasa yang hampa. Bahkan jikalau bicara iringan musik, scoring ciptaan Steven Price tidak berlebihan dipakai dan hanya terdengar dalam situasi-situasi tertentu, namun sekalinya terdengar, scoring tersebut begitu megah dan efektif dalam membangun suasana yang ditampilkan filmnya. Tapi meski menampilkan kemegahan sekaligus kengerian survival film di luar angkasa, Alfonso Cuaron tidak serta merta memunculkan teknologi-teknologi canggih yang berlebihan. Dalam naskah yang ia tulis bersama sang putera Jonas Cuaron, Alfonso Cuaron mudah menampilkan banyak sekali teknologi yang terasa sangat masa sekarang dalam artian tidak ada teknologi maha super yang bisa melaksanakan banyak sekali macam hal yang terasa mustahil. Hal tersebut tidak hanya membuat filmnya terasa positif tapi juga makin membantu membuat teror alasannya yaitu hal tersebut makin memperkecil peluang bagi huruf utamanya untuk bertahan hidup. 

Tapi Gravity tidak hanya sekedar pamer aspek teknis belaka, alasannya yaitu dibalik ceritanya yang sederhana itu terdapat sisi emosi yang cukup dalam. Ya, jikalau dibandingkan dengan film-film lain yang menampilkan kesendirian di luar angkasa ibarat Moon, Solaris maupun 2001: A Space Odyssey, apa yang ditampilkan oleh Gravity memang sangat sederhana dan tidak mempunyai twist besar yang mengejutkan meski jikalau bicara soal 2001, saya akan mencicipi beberapa kemiripan entah itu dari adegan ataupun konten ceritanya. Tapi bagaimana dongeng tersebut dikemas terasa sangat maksimal dan punya tingkat kedalaman yang baik. Selain survival film, ini juga yaitu kisah perihal bagaimana seorang insan terus berusaha tanpa kenal kata mengalah meski seolah sudah tidak ada keinginan lagi. Namun diluar itu saya merasa bahwa Cuaron coba menampilkan kisah perihal "kelahiran kembali". Saya tidak secara pribadi menyampaikan reinkarnasi namun setidaknya bagi saya Gravity terasa sebagai sebuah kisah perihal reborn. Kita akan melihat Sandra Bullock dalam posisi fetal, Sandra Bullock "muncul" di Bumi kemudian memulai semuanya dengan merayap, merangkak, kemudian berusaha berjalan secara perlahan. Mungkin terdengar sedikit dibuat-buat tapi setidaknya itulah yang saya rasakan dan penonton manapun bebas memperlihatkan interpretasi terliar mereka masing-masing.

Dalam film ibarat ini pastinya kemampuan akting para pemain akan sangat diuji, dan kebanggaan patut diberikan pada Sandra Bullock bahkan George Clooney yang punya screentime jauh lebih sedikit. Bullock mengemban kiprah berat ketika ia harus sendirian ketakutan, frustrasi, putus asa, dan "terbang" kesana kemari sepanjang film. Tapi apa yang ia tunjukkan memang setimpal dimana aktingnya berhasil memperlihatkan kedalaman emosi yang mumpuni sekaligus akting terbaik sepanjang karirnya. Sedangkan Clooney tampil sebagai penyegar suasana. Seperti sosoknya sebagai Matt yang selalu berusaha menenangkan Ryan, Clooney juga selalu berhasil mencuri perhatian dengan banyak sekali celotehannya yang tidak jarang mengundang tawa. Begitu menyenangkan melihat bagaimana keduanya saling melengkapi dengan begitu baik. Bicara perihal saling melengkapi, Gravitiy yaitu rujukan langka bagaimana semua aspek mulai dari cerita, imbas berbujet besar, sinematografi, pergerakan kamera, scoring, sampai akting para pemainnya tampil tepat namun lebih dari itu semuanya berpadu dengan serasi membuat satu kesatuan yang luar biasa. Ini yaitu teror di tengah kesendirian yang mencekam, ini yaitu drama perihal kehidupan yang mendalam, dan tentunya ini yaitu film yang luar biasa dan terus berhasil membuat saya terpana akan semua aspeknya.

Artikel Terkait

Ini Lho Gravity (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email