Dibintangi oleh Daniel Radcliffe yang masih berusaha keras untuk melepaskan imej Harry Potter selama tiga tahun terakhir (yang ia lakukan dengan cukup baik) serta disutradarai oleh Alexandre Aja yang lebih dikenal sebagai seorang sutradara film horror menciptakan Horns semakin punya daya tarik disamping premis yang memang sudah unik. Diangkat dari novel berjudul sama karangan Joe Hill, film ini menceritakan ihwal seorang laki-laki berjulukan Ig Perrish (Daniel Radcliffe) yang sedang menjadi tersangka atas pembunuhan terhadap Merrin (Juno Temple) yang tidak lain ialah kekasih Ig sendiri. Meski keduanya sudah saling mengasihi semenjak kecil, hampir semua orang percaya bahwa Ig ialah pembunuhnya, sesuatu yang terus disangkal oleh Ig. Walau sudah menerima sumbangan dari seorang pengacara yang juga teman masa kecilnya, Lee (Max Minghella), posisi Ig tetap saja tersudut, apalagi sehabis kehadiran seorang saksi gres yang berkata melihat Ig menyeret Merrin ke dalam mobilnya pada malam terjadinya pembunuhan. Meski begitu Ig tetap menyanggah semua tuduhan.
Di tengah kebingungan yang ia alami, Ig justru mendapati sesuatu yang absurd terjadi pada dirinya dikala suatu pagi ia terbangun dan dua buah tanduk telah tumbuh di kepalanya. Tapi tidak hanya itu saja kecacatan yang terjadi, alasannya ialah semenjak tumbuhnya tanduk tersebut, Ig sekarang bisa mengendalikan sikap seseorang, bahkan menciptakan mereka menyampaikan rahasia-rahasia yang selama ini telah dipendam. Meski awalnya merasa terganggu dan berniat menyingkirkan tanduk tersebut, pada karenanya Ig justru memanfaatkan kemampuan barunya itu untuk mencari siapa bahwasanya yang bertanggung jawab atas janjkematian Merrin. Kaprikornus kurang lebih Horns berkisah ihwal seorang laki-laki yang tiba-tiba memiliki tanduk, dimana tanduk itu memberikannya kekuatan untuk mengendalikan sikap dan pikiran orang lain. Tidak butuh fatwa lebih untuk mengetahui bahwa tanduk dan kekuatannya itu ialah representasi sosok setan. Apalagi dengan kehadiran sebuah "trisula", ular dan kulit terbakar Ig yang berwarna merah, menjelaskan bahwa Horns adalah kisah ihwal setan, ihwal fallen angel yang bukan digambarkan sebagai sosok jahat, melainkan anti-hero yang bertindak atas dasar dendam dan cinta.
Naskah yang ditulis oleh Keith Bunin terang bukan sesuatu yang berkualitas bagus. Banyak kebodohan, banyak hal-hal yang dipaksakan, banyak pula inkonsistensi yang hadir di dalamnya ibarat apa bahwasanya kekuatan milik Ig? Jika dalam beberapa kesempatan ia bisa mengontrol sikap (tidak hanya menciptakan mereka membeberkan rahasia) kenapa tidak melaksanakan itu saja terus untuk mempermudah segalanya? Tentu saja dalam sebuah film kita harus bisa memaafkan banyak sekali hal yang terkesan dipaksakan terjadi guna memperlihatkan sentuhan konflik, tapi apa yang nampak dalam film ini terang dipaksakan. Kebodohan demi kebodohan juga menjadi hal yang bisa nampak dalam naskah film ini. Tapi untungnya Alexandre Aja menyadari kebodohan itu, dan ia sendiri bukan orang gres dalam hal menyutradarai naskah kolot untuk kemudian menyulapnya menjadi hiburan brainless yang menyenangkan ibarat Piranha 3D atau High Tension. Keberhasilan Aja dalam menggarap Horns adalah bagaimana ia memaksimalkan unsur brainless horror saat menampilkan sosok setan, adegan penuh darah ibarat kepala pecah, hingga sentuhan komedi yang menjadi menunjukan bahwa film ini memang sadar bahwa dirinya bukan sebuah film pintar.
Dengan banyak sekali aspek tersebut, Alexandre Aja sukses menyebabkan filmnya ini sebagai sebuah guilty pleasure bagi saya. Disatu sisi saya tahu ada begitu banyak kebodohan dan hal dipaksakan yang amat mengganggu, tapi disisi lain pengemasan dari Aja begitu sulit untuk ditolak. Tapi bahwasanya rasa bersenang-senang merupakan suatu hal yang bisa dibutuhkan dari film garapan Aja, tapi tidak begitu dengan romansa/drama. Diluar dugaan film ini punya drama yang cukup berpengaruh berkaitan dengan romansa antara Ig dan Merrin. Dengan sturtktur yang non-linear, film ini kadang kembali ke masa kemudian untuk memperlihatkan flashback percintaan kedua karakternya tersebut. Kita diajak untuk melihat momen keduanya pertama bertemu dikala masih kecil, tumbuh arif balig cukup akal bersama, hingga karenanya hubungan itu harus berakhir dengan tragis. Memberikan kesan romansa yang hangat, saya pun dibentuk amat bersimpati pada sosok Ig. Tentu ada kemungkinan Ig memang ialah pembunuh Merrin, tapi melihat romansa mereka dan kondisi yang menempatkan Ig sendirian "melawan dunia", dengan gampang saya pun dibentuk mendukung dia.
Kuatnya aspek drama juga didasari oleh akting elok Daniel Radcliffe. Tanpa mengesampingkan pemain lain yang juga bermain baik, Dan Radcliffe memang bintang utama film ini. Dengan terang beliau bisa memperlihatkan sosok Ig yang rapuh, terluka dan penuh amarah. Pada dikala ia telah bertansformasi menjadi "setan" pun, Daniel Radcliffe sanggup memperlihatkan aura yang cukup mencekam dari karakternya (mari bersyuku Shia LaBeouf tidak jadi memerankan Ig). Kini hanya fans berat, ignorance, atau orang yang tidak pernah menonton film saja yang terus menyampaikan bahwa "Radcliffe masih belum bisa menghilangkan imej Harry Potter". Tentu hingga kapanpun ia akan paling dikenang sebagai abjad itu, tapi dalam segi karir, ia sudah berhasil lepas. Sosok Ig dan tanduknya ialah citra dari perspektif lain akan sesuatu yang selama ini dianggap buruk/jahat. Horns menitik beratkan setan sebagai fallen angel daripada sosok murni jahat. Secara keseluruhan Horns adalah film yang harus anda tonton tanpa banyak berpikir kalau ingin bisa menikmati secara maksimal hiburan kolot yang diberikan Alexandre Aja. Sebuah kejutan yang menyenangkan.
Ini Lho Horns (2013)
4/
5
Oleh
news flash