Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho The Look Of Silence / Senyap (2014)

Apa tujuan Joshua Oppenheimer menciptakan The Look of Silence a.k.a Senyap yang kembali menelusuri dongeng di balik pembantaian "anggota PKI"? Bukankah ia sudah mengeksplorasi begitu banyak hal lewat The Act of Killing? (review) Perlukah film itu dibentuk sekuelnya? Berbagai pertanyaan yang berputar di benak saya itu seketika menghilang sehabis selesai menonton filmnya. Kedua film Oppenheimer itu ternyata merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. The Act of Killing ibarat pembuka yang memaparkan kenyataan-kenyataan mencengangkan pada penonton sambil disaat bersamaan mengajak berkenalan pada sosok Anwar Congo sang penjagal. Kita diajak masuk ke dalam isi pikiran Anwar Congo, dan mulai diajak memahami bahkan bisa jadi turut bersimpati padanya. Sedangkan The Look of Silence mengambil sudut pandang yang bertolak belakang dengan keluarga korban pembantaian sebagai fokus utamanya. Sosok utama dalam film ini yaitu Adi, laki-laki berusia 44 tahun yang kakaknya, Ramli merupakan salah satu korban pembantaian tahun 1965 alasannya yaitu dituduh sebagai anggota PKI. 

Kisah ihwal Ramli sendiri merupakan salah satu yang paling "fenomenal" alasannya yaitu kesadisan yang ia alami sebelum karenanya dibunuh. Pada malam pembantaian Ramli sudah sempat dilukai, ditusuk, bahkan konon isi dalam perutnya sudah terburai. Tapi sebelum sempat dibunuh ia kabur dan pulang ke rumah sebelum karenanya "dijemput" oleh para pembunuhnya dengan alasan akan dibawa ke rumah sakit. Tapi pada kenyataannya Ramli dibawa ke truk, dipotong alat kelaminnya, kemudian dibunuh. Bagi sang ibu, sangat berat menjalani hari-harinya tinggal berdampingan dengan pembunuh anaknya. Lebih menyakitkan lagi, para pembunuh itu sekarang menerima pangkat dan kedudukan tinggi sebagai bentuk penghargaan atas "jasa" mereka dulu, dan mirip yang sudah kita tahu lewat The Act of Killing kebanyakan dari mereka tidak menyesal, bahkan besar hati alasannya yaitu merasa telah berjuang demi Indonesia. Adi pun memutuskan untuk mendatangi satu per satu dari mereka untuk kemudian mengajukan banyak sekali pertanyaan terkait perbuatan mereka di masa lalu. Yes, Joshua Oppenheimer did it again!

Satu hal yang menciptakan dokumenter karya Oppenheimer terasa lebih besar lengan berkuasa daripada kebanyakan dokumenter lainnya yaitu bagaimana ia bisa membawa narasinya masuk dengan begitu dalam dan memaparkan fakta lewat cara yang amat berani. Jagal memang absurd dengan menampilkan seorang pembunuh tersenyum lebar memperagakan pembunuhan yang ia lakukan, tapi Senyap membawa kegilaan itu ke tingkat yang lebih jauh lagi, lebih personal dan lebih tidak terpikirkan. Pernahkah anda berpikir akan melihat seorang pembunuh duduk berhadapan dengan keluarga korban kemudian membicarakan ihwal kasus pembunuhan itu? Setiap perbincangan yang terjadi antara Adi dan pembunuh kakaknya hadir dalam intensitas luar biasa. Keberadaan kamera dan proses pembuatan film itu sendiri menciptakan hampir mustahil bagi kedua belah pihak untuk meluapkan semua emosinya apalagi hingga bermain fisik. Tentu saja ada letupan-letupan emosi tapi secara umum dikuasai yang muncul di layar yaitu momen diam, tapi dalam kediaman itu saya bisa mencicipi adanya gejolak dalam perasaan mereka. Karena sejarah yang tertulis dan terucap sangat bisa direkayasa, maka Oppeheimer berusaha menangkap segala kesunyian dan kebisuan ini. Karena pada ketika senyap inilah kebenaran hakiki yang bersumber dari perasaan terpendam insan bisa kita observasi dan rasakan.
Lewat banyaknya momen membisu itu, penonton bisa diajak secara cermat mencicipi dan melihat perlahan perasaan macam apa yang tersembunyi dalam diri orang-orang di film ini. Bicara soal perasaan, The Look of Silence sukses mengaduk-aduk perasaan saya. Saya diajak tertawa melihat beberapa interaksi antara Adi dengan kedua orang tuanya, entah dengan sang ibu yang bicara ceplas-ceplos, atau dengan sang ayah yang sudah begitu bau tanah dan lemah tapi masih doyan bernyanyi. Saya pun dibentuk sedih ketika melihat air mata mulai mengalir dari ibu Adi, atau melihat verbal penuh kesedihan dari Adi sendiri. Saya dibentuk terkejut ketika mengetahui kebrutalan apa saja yang diterima korban pembantaian dulu. Ya, bahkan sehabis menonton The Act of Killing pun penuturan para pembunuh yang besar hati akan perbuatan kejam mereka masih menciptakan saya terperangah, bersumpah serapah. Ada pula rasa murka yang teramat sangat mendengar bagaimana mereka sama sekali tidak menyesal bahkan bersyukur telah meminum darah korban. Rasa murka ini merupakan hasil pendekatan Oppenheimer yang kali ini melihat dari beling mata korban, bukannya mengeksplorasi secara mendalam sang pembunuh mirip Jagal dimana lewat film pertama itu masih ada simpati yang muncul melihat Anwar Congo.

Secara teknis, pengemasan Oppenheimer masih menyuguhkan keindahan dibalik tragedi, bedanya kali ini keindahan itu penuh dengan kesunyian. Tanpa musik tentu saja, dan ada begitu banyak adegan bisu yang tidak menampilkan apapun kecuali gambar membisu selama beberapa detik. Film ini juga lebih banyak memperlihatkan verbal seseorang daripada objek yang sedang ia lihat, atau menjadi fokus pembicaraan Sebagai teladan ketika Adi sedang menonton rekaman seorang pelaku pembantaian yang meragakan agresi pembunuhannya, Oppenheimer lebih sering menentukan memperlihatkan verbal Adi daripada rekaman tersebut. Tujuannya jelas, yaitu untuk menelusuri lebih dalam perasaan Adi, dan mentransfer emosi itu kepada penonton. Sekali lagi Joshua Oppenheimer memaparkan fakta mencengangkan dari masa kemudian bangsa ini dan insan itu sendiri. Sekilas terlintas di benak saya apakah alasan utama para pembunuh itu melaksanakan aksinya memang demi membasmi komunisme dan berjuang untuk bangsa? Ataukah demi uang? Atau demi melampiaskan sifat natural insan yaitu kekerasan yang telah usang mereka pendam? Satu yang pasti, saya menaruh hormat sebesar-besarnya pada soso Adi, seorang insan berjiwa besar yang menciptakan saya tersentuh. Lewat dua filmnya Joshua Oppenheimer bukan bermaksud membuka luka usang mirip yang dituturkan para pembunuh itu, melainkan memaparkan fakta. Karena kebenaran yaitu hak setiap warga negara Indonesia.

Artikel Terkait

Ini Lho The Look Of Silence / Senyap (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email