Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho The Tale Of The Princess Kaguya (2013)

Isao Takahata yang film terakhirnya, My Neighbors the Yamada dirilis 15 tahun yang kemudian kali ini mengadaptasi sebuah kisah rakyat Jepang dari kala ke-10 yang berjudul The Tale of the Bamboo Cutter. Kandungan kisah dari kisah rakyat itu sendiri tidak jauh berbeda dari kebanyakan kisah rakyat milik Indonesia, yakni wacana seorang puteri kahyangan yang secara asing muncul di Bumi kemudian dirawat oleh sepasang suami istri renta miskin yang tidak memiliki anak. Dalam The Tale of the Princess Kaguya, kita akan dipertemukan dengan seorang laki-laki renta yang bekerja sebagai tukang potong bambu di sebuah pedesaan kecil erat hutan. Pria renta itu tinggal hanya berdua dengan sang istri. Sampai suatu hari dikala sedang memotong bambu ia melihat cahaya jelas dari sebuah pohon bambu muda. Dari dalamnya muncul sesosok puteri berukuran kecil. Merasa bahwa itu merupakan anugerah dari langit, sang pemotong bambu pun membawa puteri kecil itu kerumah. Bersama sang istri, mereka berdua memutuskan untuk merawat sang puteri menyerupai anak mereka sendiri. 

Tapi ada abnormalitas pada sang puteri yang dipanggil Takenoko (Little Bamboo) tersebut. Setelah bertransformasi menjadi seorang bayi, ia mulai tumbuh dengan amat cepat. Hanya butuh waktu beberapa hari hingga Takenoko hasilnya tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik. Seperti layaknya bawah umur kecil lain, Takenoko pun menghabiskan keseharian dengan bermain bersama teman-temannya, termasuk Sutemaru yang keluarganya yaitu pembuat mangkuk dari kayu. Takenoko perlahan tumbuh menjadi gadis yang semakin bagus dan persahabatannya dengan Sutemaru semakin kuat. Tapi kebahagiaan sederhana itu tidak bertahan usang sehabis suatu hari sang pemotong bambu menemukan emas dan begitu banyak kimono indah dari sebuah bambu. Penemuan itu dianggapnya sebagai menunjukan dari langit bahwa ia harus membesarkan Takenoko layaknya seorang puteri yang tinggal di rumah besar, bukannya di desa menyerupai sekarang. Dari situlah awal kisah bagaimana Takenoko dikenal sebagai Princess Kaguya dimulai.
Dengan gambar yang dikemas layaknya lukisan cat air, The Tale of the Princess Kaguya masih sama dengan kebanyakan film-film Ghibli lain, yaitu menghadirkan kesederhanaan kisah penuh makna yang indah dalam rangkaian visual yang indah pula. Gambar cat air dalam film ini mencapai puncak keindahannya dalam adegan-adegan yang mengalami pergerakan menyerupai angin berhembus di sela-sela pohon, atau dikala Takenoko/Kaguya berlari sekuat tenaga membelah hutan untuk kembali ke rumahnya di desa. Ada keindahan dan kesan natural berpengaruh yang berhasil ditampilkan oleh visualnya, berkorelasi tepat dengan salah satu tema film ini yakni wacana alam. Ceritanya memang berfokus wacana alam dan uniknya walau dibentuk pada kala ke-10 kisah yang hadir masih sangat sesuai dipandang dalam era modern ini, bahkan jauh lebih tepat menyentil aspek sosial masyarakat remaja ini. Para tokoh ningrat dan sang pemotong bambu beranggapan bahwa kebahagiaan berasal dari harta melimpah dan kehidupan mewah. Tapi tidak begitu dengan Kaguya. Sosok Kaguya sendiri bagai penggambaran dari "manusia" secara keseluruhan. Manusia memang hidup lebih "nyaman" dengan harta melimpah, tapi dalam hati mereka diisi dengan kekosongan. Mereka merasa sepi, hampa, sendiri. 
Entah bermaksud atau tidak, bagi saya film ini juga mengkritisi gaya hidup istana dan para ningrat yang lebih mementingkan manner daripada perasaan. Saya sendiri selama ini merasa kurang menyukai contoh hidup menyerupai itu lebih mementingkan tampilan luar dan menyembunyikan perasaan sejati manusia, mengekang kebebasan berekspresi. Seperti sebuah kalimat yang diucapkan Kaguya, "jika puteri hingga harus menghitamkan gigi biar tidak tertawa terbahak-bahak berarti puteri bukanlah manusia". Budaya yang ditampilkan diantara para ningrat dan orang kaya di film ini bagi saya yaitu budaya yang kurang memanusiakan manusia. Disaat seseorang dijauhkan dari emosi mereka dan dikurung di sebuah kandang emas berupa istana daripada erat dengan alam yang penuh kehidupan, dikala itulah seseorang itu kehilangan esensi mereka sebagai insan itu sendiri. The Tale of the Princess Kaguya sempurna dalam menggambarkan itu semua, menciptakan saya bersimpati pada Kaguya dan gemas dengan segala perlakuan yang ia terima demi menerima kesempurnaan sebagai seorang puteri.

Memang dengan durasinya yang mencapai 137 menit, banyak momen dalam film ini yang terasa kurang menarik bahkan membosankan. Sedikit melelahkan, tapi keindahan visualnya mampu menolong. Tapi tetap saja dengan menurunnya tensi serta daya tarik pada pertengahan film, alangkah baiknya kalau durasinya dipotong meski hanya 10-15 menit. Untungnya, menyerupai lebih banyak didominasi film produksi Ghibli lain The Tale of the Princess Kaguya berhasil ditutup dengan sebuah rangkaian adegan hingga ending yang begitu indah dan menyentuh. Simak adegan dikala Kaguya bertemu kembali dengan Sutemaru kemudian keduanya terbang bebas di angkasa penuh tawa. Begitu indahnya momen tersebut. Tapi momen tearjerker tentu saja hadir pada ending saat Kaguya terpaksa kembali dijemput oleh orang-orang dari Bulan. Musik garapan Joe Hisaishi yang mengiringi kedatangan pasukan Bulan begitu indah dan menghadirkan kesan bittersweet, karena musiknya yang punya aura ceria tapi kita tahu bahwa musik itu akan mengiringi momen menyedihkan dikala Kaguya harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Sebuah momen yang amat mengharukan. Pada hasilnya film ini punya problem yang menyerupai dengan The Wind Rises (review) yakni bab tengah yang kurang menarik, tapi lagi-lagi ending yang berpengaruh secara emosional menyelamatkan filmnya.

Artikel Terkait

Ini Lho The Tale Of The Princess Kaguya (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email