Hassan (Manish Dayal) menerima pelajaran dari sang ibu bahwa dikala memasak ia harus bisa mencicipi jiwa yang terkandung dalam setiap bahannya. Terdengar aneh? Bagi aku tidak. Saya selalu percaya bahwa dalam setiap benda yang dipakai seorang seniman untuk berkarya terdapat jiwa/rasa. Perlu dicatat, aku tidak sedang membicarakan hal mistik disini. Pasti anda pernah menonton suatu fim yang terasa begitu intim dan penuh perasaan. Mungkin juga anda pernah mendengarkan melodi gitar yang petikan senarnya terdengar ibarat tangisan seseorang. Semua itu hadir alasannya ialah rasa dan cinta yang ditumpahkan sang artist kedalam karya mereka. Sebuah film bertemakan cinta mungkin bakal terdengar klise, tapi cinta bukan hanya sekedar romansa laki-laki dan wanita. Ada cinta seseorang dengan keluarganya, hingga cinta seseorang dengan semua aspek dalam hidupnya. Hal itulah yang coba ditampilkan oleh sutradara Lasse Hallstrom dalam The Hundred-Foot Journey yang merupakan hasil penyesuaian novel berjudul sama karya Richard C. Morais. Film ini pada kesannya memang berhasil menampilkan banyak sekali hal tersebut, setidaknya dalam dua per tiga awal sebelum paruh kesannya yang semakin ambisius dan justru terasa hilang arah.
Hassan beserta keluarganya dahulu sempat mempunyai sebuah restoran di Mumbai yang cukup sukses. Tapi sebuah kebakaran merenggut tidak hanya seluruh restoran, tapi juga sang ibu. Dipimpin oleh sang kepala keluarga yang dipanggil Papa (Om Puri), mereka sekeluarga mulai mengadu nasib di Eropa untuk membuka restoran disana.. Persinggahan pertama mereka ialah London yang nyatanya berujung kegagalan. Akhirnya sampailah mereka di Prancis. Tapi dikala hingga di sebuah pedesaan, rem kendaraan beroda empat yang mereka kendarai rusak. Untunglah mereka bertemu dengan Marguerite (Charlotte Le Bon) yang membantu mereka. Marguerite sendiri ternyata ialah seorang sous chef (pangka kedua dibawah chef kepala) di sebuah restoran berjulukan Le Saule Pleureur milik Madame Mallory (Helen Mirren) yang populer "sadis". Le Saule Pleureur sendiri telah mempunyai satu bintang Michelin (rating untuk restoran-restoran terbaik di seluruh dunia). Tanpa disangka, Papa justru menentukan membuka restoran kuliner India milik mereka tepat di depan restoran milik Madame Mallory. Akhirnya, terciptalah persaingan antara Le Saule Pleureur dengan kemewahannya dan restoran India tersebut yang mengandalkan kemampuan memasak Hassan.
Dengan tema restoran yang diusung, mungkin banyak penonton (termasuk saya) yang menerka film ini ialah food-porn dengan banyak kuliner khas Prancis dan India yang tidak hanya indah tapi juga mengundang selera. Tapi nyatanya tidak. Baik itu proses memasak ataupun visualnya tidaklah berpusat pada makanan. Jika dibandingkan dengan film bertemakan kuliner lain di 2014, yakni Chef, film ini jauh lebih sedikit menampilkan makanannya. Daripada menyebutnya mengecewakan, aku lebih menentukan menyatakan bahwa film ini ada diluar ekspektasi aku (bukan diatas maupun dibawah). Salah satu hal yang menjadi fokus ialah bagaimana situasi dikala dua kultur yang berbeda saling bertemu. Hal itu nampak paruh pertamanya yang banyak berfokus pada persaingan sengit dua restoran beda kultur. Tidak perlu hingga pada sajian yang terang berbeda, melihat bagaimana dua restoran itu dikemas pun nampak terang perbedannya. Restoran milik Madame Mallory penuh kesan elegan, mewah, penuh manner. Sedangkan restoran India di seberang jalan yang hanya berjarak 100 kaki (hundred-foot, got it?) itu lebih "berisik" dengan musik India yang diputar keras dan berkesan gemerlap layaknya pesta pernikahan. Sederhana, tapi disitulah kekuatan paruh pertama film ini.
Persaingan kedua belah pihak tidak jarang menghadirkan situasi menggelitik ibarat dikala Madame Mallory memborong habis semua materi kuliner Hassan, yang dibalas oleh Papa dengan melaksanakan hal yang sama. Karakter Madame Mallory yang judes sekaligus sadis diperankan dengan tepat oleh Helen Miren. Ada kegetiran mendalam yang menguatkan karakterisasinya, tapi disaat bersamaan sosoknya itu juga bisa membuat guyonan, apalagi dikala berinteraksi dengan Papa. Om Puri pun sama saja. Ada kesedihan yang ia tampilkan dengan baik, tapi daya tarik utama ialah semangatnya yang berapi-api untuk memulai "perang" dengan Madame Mallory. Pertukaran obrolan keduanya pun selalu memancing tawa, khususnya dikala tensi diantara mereka tengah meninggi. Terlalu menarik perhatiannya kedua aksara ini membuat Hassan sebagai tokoh utama justru tertutupi. Baik kisahnya untuk menjadi chef hingga romansa yang terjalin dengan Marguerite jadi kurang menggigit, alasannya ialah aku selalu merindukan pertengkaran Papa dan Madame Mallory. Tapi paruh pertamanya ini masih amat menyenangkan. Komedi yang menggelitik serta drama yang hangat membuatnya begitu menyenangkan. Saya selalu merasa dra-medi Prancis atau setidaknya yang kental nuansa Prancis selalu hangat.
Tapi kisahnya yang ambisius justru mengurangi kehangatan serta daya tarik film ini. Berbanding terbalik dengan Chef yang berkisah perihal koki restoran kelas satu yang menentukan memulai dari nol, film ini memakai formula from zero-to-hero standard. Tentu hasil kesannya sudah bisa kita ketahui, tapi kata "hero" yang coba dicapai oleh film ini nyatanya lebih dari sekedar memenangkan peperangan melawan restoran dengan satu bintang Michelin. Kita akan diajak melihat perjalanan Hassan hingga kesannya ia mencapai puncak dari segala impiannya...dan itu sama sekali tidak menarik. Saat narasinya semakin besar, semakin hilang pula kehangatan dan keintiman film ini. Tidak ada lagi canda tawa yang hadir alasannya ialah persaingan sengit namun lucu yang menyenangkan itu. Dari sebuah drama-komedi sederhana yang hanya berskala 100 kaki, secara mendadak kita diajak melompat amat jauh. Masalahnya, aku tidak pernah benar-benar dibentuk terikat dengan sosok Hassan, dan itu membuat sepertiga selesai film ini terasa lebih dingin. Untungnya lagi-lagi tensi diselamatkan oleh Helen Mirren dan Om Puri yang masih menyajikan interaksi menggelitik nan hangat meski kali ini dengan konteks yang berbeda. Tapi diluar bab selesai yang mengecewakan, The Hundred-Foot Journey secara keseluruhan masihlah tontonan yang hangat dan menghibur. Bukan perihal makanan, tapi perihal kultur, mimpi, cinta dan keluarga. Bagi aku semua itu justru lebih menarik.
Ini Lho The Hundred-Foot Journey (2014)
4/
5
Oleh
news flash