Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho Rob The Mob (2014)

Ada sepasang kekasih yang sedang membutuhkan uang. Dahulu mereka sempat menjadi seorang perampok kelas teri dan kesannya harus mendekam dalam penjara. Begitu keluar, meski telah menerima pekerjaan mereka sadar penghasilan yang didapat tidaklah cukup untuk menghidupi keduanya. Akhirnya, sang laki-laki menerima wangsit untuk merampok sejumlah social clubs tempat kawanan berandal New York berkumpul. Meski terdengar berbahaya, alasan mereka berani bertindak gila itu cukup "beralasan". Pertama, semua club itu tidak memperkenankan pengunjungnya membawa senjata dala bentuk apapun. Kedua, berandal tidak akan melapor pada polisi kalau uang mereka dirampok. Ketiga, mungkin para berandal akan mencari mereka untuk dibunuh, but everybody dies. Terdengar gila dan mengada-ada? Wajar saja, bahkan sutradara Raymond De Felitta yang menciptakan film ini menyampaikan sendiri bahwa sangat konyol kalau ada orang yang mengarang dongeng tersebut. Tapi pada kenyataannya, kisah gila diatas merupakan kenyataan. Rob the Mob yang bertutur perihal dongeng tersebut memang didasari oleh kisah positif perihal Tommy Uva (Michael Pitt) dan Rosie Uva (Nina Arianda) yang melaksanakan itu semua pada awal 90-an sebelum ditembah mati oleh berandal pada malam natal 1992.

Tanpa perlu disebutkan oleh filmnya sekalipun, sosok Tommy dan Rosie akan terasa ibarat Bonnie dan Clyde. Sepasang kekasih yang saling mencintai, mengabdikan hidup untuk satu sama lain dan melaksanakan perampokan bersama, merubah tindak kriminal menjadi sebuah romansa yang begitu menyentuh hati. Di kehidupan nyata, sosok Tommy dan Rosie pun disandingkan dengan Bonnie dan Clyde, yang berarti Rob the Mob punya "tanggung jawab" untuk mengemas kisahnya ibarat itu. Tapi Raymond De Felitta tidak sepenuhnya berhasil mengedepankan romansa yang terjalin antara dua huruf utamanya. Sepanjang film kita memang diajak untuk melihat bagaimana Tommy dan Rosie berusaha memperbaiki hidup mereka. Kita pun dibentuk mencicipi bahwa mereka yaitu pasangan yang gila tapi saling mencintai. Lihat Michael Pitt dn Nina Arianda. Dari keduanya terang terpampang sepasang kekasih yang putus asa, saling mencintai, nekat, bodoh, tidak pikir panjang, gila. Keduanya memang menjadi citra tepat dari esensi kisah Tommy dan Rosie, tapi tidak begitu dengan pengemasan filmnya.
Secara keseluruhan, momen yang bisa menciptakan penonton berujar "it's so romantic" hanyalah beberapa menit montage menjelang film berakhir. Dampaknya, ketika memasuki ending, tidak begitu terasa kesan "romansa tragis" yang coba dibangun. Tapi untungnya Rob the Mob punya kelebihan lain yang ditawarkan, menciptakan saya bisa memaafkan kekurangan pada aspek romansanya. Sebagai sebuah film kriminal berlatarkan para berandal kota New York, apa yang hadir cukup unik. Kita diajak melihat sisi lain para mafia. Meski masih tampak sebagai sosok yang tidak segan membunuh demi tercapainya tujuan dan punya kekeluargaan yang erat, berandal disini lebih sering muncul sebagai sisi yang lemah. Mereka dipermalukan oleh perampok amatir, mereka (literally) ditelanjangi, bahkan mereka harus bersusah payah hanya untuk mencari sasaran yang tinggal hanya tiga blok dari salah satu social club mereka. Satu lagi hal yang begitu saya sukai yaitu bagaimana para berandal ini tetap ditampilkan sebagai sosok yang punya harga diri dan merupakan family man. Setidaknya itulah yang terasa dalam sosok Big Al (Andy Garia). Hilangkan statusnya sebagai bos mafia, da Big Al hanyalah spesialis memasak masakan Italia dan kakek yang begitu menyayangi cucunya. 
Untuk menyimpulkan apa yang coba disampaikan oleh film ini, cukup dengan dua hal yang diugkapkan oleh Big Al. Pertama, "you pay the price for the things you do wrong". Pada kesannya semua huruf yang ada membayar setiap perbuatan yang mereka lakukan. Kalau ditelaah lagi sebetulnya hampir semua orang yang ada disini punya keburukan atau kesulitan hidup di masa lalu. Kemudian semuanya mendapatkan kesempatan kedua yang dimanfaatkan secara berbeda oleh masing-masing dari mereka. Ungkapan kedua dari Big Al yaitu prinsipnya bahwa untuk memasak Arancini yang enak, hal paling penting yaitu cinta. Jadi, intinya apa yang terjadi pada Rob the Mob memang didasari oleh cinta. Tommy dan Rosie melaksanakan perampokan atas nama cinta mereka, sedangkan dalam sebuah monolog perihal backstory-nya, Big Al bertutur bahwa salah satu penyebab beliau kesannya menjadi seorang bos berandal yaitu rasa sayang akan keluarganya. Big Al begitu ingin menghidupi keluarganya, bahkan sekedar membelikan sepeda bagi puteranya memperlihatkan kebahagiaan luar biasa.

Melihat kegilaan Tommy dan Rosie memag amat menghibur, belum lagi ditambah sentuhan komedi yang seringkali hadir ketika Tommy melaksanakan perampokan. Sebagai seorang amatiran, selalu ada hal-hal diluar dugaan yang beliau alami, ibarat ketidak mampuannya memakai senjata otomatis, tidak tahu harus berkata apa ketika merampok, hingga mendapati bahwa sasaran perampokannya hanya berisi tiga orang bau tanah yang bahkan sudah sulit untuk sekedar berjalan. Semua itu yaitu sentuhan komedi menyegarkan yang cukup efektif menghidupkan suasana. Mungkin Rob the Mob kurang berhasil memaksimalkan unsur traged-romansa yang hadir pada kedua huruf utama, menjadikannya bukan sebuah film yang mendalam. Tapi film ini masih berhasil menjadi hiburan super menyenangkan. Penuh kegilaan dan hal-hal yang mungkin sulit diterima, tapi pengemasannya sebagai based on true story secara tidak pribadi menciptakan saya sebagai penonton bisa mendapatkan itu. Seperti yang dikatakan Coen Brothers ketika menyelipkan kalimat based on true story dalam Fargo (which is not), penggunaan kalimat itu bisa menciptakan penonton lebih mendapatkan hal-hal asing diluar nalar yang hadir dalam film.

Artikel Terkait

Ini Lho Rob The Mob (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email