Wednesday, January 9, 2019

Ini Lho Ida (2013)

Judul film karya sutradara Pawel Pawlikowski ini memang sangat pendek dan simpel. Ditambah lagi dengan durasi yang hanya 80 menit dan penggunaan warna hitam putihnya makin membuat Ida terasa begitu minimalis. Tapi meski dikemas secara minimalis, film yang bakal menjadi perwakilan Polandia pada ajang Oscar tahun 2015 nanti ini punya kompleksitas yang tidak mengecewakan berkaitan dengan pergolakan batin dalam diri karakter-karakternya. Ida akan membawa kita pada aneka macam pertanyaan serta kontradiksi yang terjadi apabila kita sedang membicarakan perihal duduk masalah kepercayaan, duduk masalah agama. Penonton akan diajak untuk mengamati dua perspektif perihal agama yang amat bertolak belakang. Film ini ber-setting di Polandia pada kala 1960-an dimana meskipun perang dunia telah berakhir tapi efek dan "peninggalannya" masih terasa begitu kental. Disana kita akan melihat Anna (Agata Trzebuchowska) seorang biarawati novice yang gres akan mengambil sumpah. Tapi sebelum itu ia diperintahkan oleh biarawati senior untuk bertemu dengan satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup.

Anna pun berangkat untuk menemui bibinya, Wanda (Agata Kulesza) yang selama ini belum pernah ia temui. Jika Anna ialah seorang biarawati yang pendiam dan selalu yakin untuk hidup di jalan Yesus, maka sang bibi begitu  bertolak belakang. Wanda ialah perempuan yang "liar", alkoholik dan bahagia bercinta dengan pria-pria yang ia temui di bar. Tapi pertemuan itu tidak berakhir hanya sebagai reuni belaka, alasannya ialah Anna menemukan banyak diam-diam mengejutkan perihal dirinya dan identitas kedua orang tuanya dari Wanda. Nama orisinil Anna ternyata ialah Ida Lebenstein dan kedua orang tuanya ialah Yahudi yang terbunuh di ketika perang. Bersama dengan Wanda, Ida pun hasilnya tetapkan untuk mencari makam orang tuanya. Kedua perempuan yang begitu bertolak belakang ini pun melaksanakan perjalanan panjang bersama yang nantinya akan besar lengan berkuasa besar kepada cara berpikir serta keyakinan yang selama ini mereka anut.
Salah satu aspek yang menjadi pondasi kuat bagi film ini ialah observasi perihal bagaimana dua orang dengan jalan hidup serta kepercayaan berbeda harus bersama, mengalami benturan sampai hasilnya mulai mempertanyakan apa yang mereka percayai. Ida merupakan biarawati yang tentu saja yakin bahwa ia harus hidup sesuai dengan pemikiran agama. Dia benar-benar percaya akan hal itu tanpa harus pernah mencicipi cara hidup yang bertolak belakang menyerupai yang dijalani oleh sang bibi. Sedangkan Wanda yakin bahwa untuk mencicipi hidup yang sebetulnya ia harus "menggila" dan tentu saja tidak menutup diri menyerupai Ida. Seiring dengan perjalanan yang mereka lalui, hasilnya banyak hal yang "menampar" kepercayaan mereka tersebut. Satu hal yang menarik ialah Ida dan Wanda entah itu mereka sadari atau tidak sama-sama ialah orang yang kesepian, tapi mereka berusaha atau memang tidak menyadari itu alasannya ialah keteguhan masing-masing akan kepercayaan yang dianut. Melihat bagaimana keduanya berbenturan baik secara pribadi (pertengkaran) maupun tidak pribadi (saling mengamati) membuat dinamika yang menarik sepanjang film.

Ida memang bicara perihal sebuah momen disaat sebuah kepercayaan dipertanyakan, tapi naskah yang ditulis oleh duet Pawel Pawlikowski dan Rebecca Lenkiewicz ini bukan "hanya' menyorot kepercayaan yang mulai hilang. Sebaliknya film ini justru memperlihatkan dengan baik bagaimana sebuah kepercayaan itu dipertanyakan supaya seseorang sanggup lebih meyakini dan mantap memegang kepercayaan tersebut. Film ini seolah berkata "darimana kau tahu apa yang kau yakini itu yang terbaik, paling benar dan paling sesuai jikalau kau buta akan hal-hal lain di sekitarmu?" Proses mempertanyakan yang terjadi memang bukan dimaksudkan untuk meninggalkan kepercayaan tapi sebaliknya untuk membuat seseorang semakin mengerti dan hasilnya semakin yakin dengan hal tersebut. Hal inilah yang membuat Ida menjadi tontonan yang manis dan cukup berbeda dengan film lain yang bicara perihal "kepercayaan yang dipertanyakan". Film ini tidak berusaha menyerang pihak manapun meski yang paling ndeso sekalipun, alasannya ialah pada pada dasarnya Ida bukanlah perihal kepercayaan yang hilang tapi justru menguatnya sebuah kepercayaan dalam diri seseorang.
Meski disajikan dalam format monochrome, bukan berarti aspek visual film ini membosankan. Justru sebaiknya Ida nampak begitu indah dengan gambar-gambar yang terkesan puitis sekaligus kelam disaat bersamaan. Banyak memperlihatkan keindahan alam Polandia, duo sinematografer Lukasz Zal dan Ryszard Lenczewski memang lebih banyak mengambil fokus kepada latar belakang dari tiap-tiap lokasi yang ada. Kameranya pun lebih banyak diam, bahkan tiap objek yang ada di dalam frame termasuk para pemain hanya memperlihatkan gerakan kecil yang seperlunya. Hal tersebut mengakibatkan gambar demi gambar yang hadir dalam Ida terasa menyerupai lukisan yang memberikan kesunyian dan kelamnya hidup. Hal itu jugalah yang ingin dibangun lewat pemilihan warna hitam putih disini. Saya pernah berdebat dengan seorang sinematografer dimana beliau kukuh bahwa dalam video/film visualnya akan semakin baik jikalau kamera semakin banyak digerakkan, sedangkan aku menyangkal pendapat itu. Ida memberikan bukti dari pernyataan saya, yaitu sebuah film sanggup terlihat indah dan tetap hidup/dinamis meski kamera lebih banyak membisu meski mengambil objek yang juga diam/tidak banyak bergerak.

Akting dari dua aktris utamanya pun bagus. Agata Trzebuchowska sebagai Ida lebih banyak diam, menampilkan lisan yang datar namun memancarkan kesan kolam malaikat yang begitu kuat. Ada aura kepolosan yang begitu kuat dan sangat tepat menggambarkan sosok Ida yang oleh Wanda dikritisi akan pilihannya sebagai biarawati yang tertutup meski belum pernah mencicipi "kehidupan" yang sesungguhnya. Berkat sosoknya itu, disaat Wanda menyayangkan sang ponakan yang tertutup (khususnya duduk masalah rambut) aku tidak sanggup untuk tidak ingin melihat menyerupai apa Ida dalam dandadan perempuan pada umumnya. Sedangkan Agata Kulesza juga tepat sebagai perempuan yang menyimpan rasa sakit dan kesepian serta kadangkala sedikit bitchy tanpa perlu terasa menyebalkan. Kolaborasi keduanya semakin membuat Ida terasa menarik meski berjalan lambat dan sunyi. Mempunyai sebuah twist tak terduga diujung film yang berujung pada beberapa hal mengejutkan lain, ending-nya memperlihatkan konklusi yang sama-sama tepat dari pertanyaan kepercayaan kedua karakternya.

Artikel Terkait

Ini Lho Ida (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email