Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho The Little House (2014)

Suatu rumah sanggup merepresentasikan hidup kita. Orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut sama dengan mereka yang mengisi kehidupan kita. Sama ibarat rumah pula, dalam hidup kita seringkali ada orang yang tiba untuk singgah, dan ada pula yang pergi. Ada saatnya suatu rumah tampak begitu kokoh dan indah, disaat hal yang sama terasa dikala hidup kita memasuki masa-masa terbaiknya. Tapi ada juga waktu dimana rumah itu nampak lapuk, dan disaat itulah hidup kita memasuki masa-masa rapuh. Hal-hal itu terpancar dari film terbaru Yoji Yamada ini yang sempat berkompetisi pada Berlin International Film Festival tahun ini. Pada ajang itu pula aktris Haru Kuroki berhasil meraih penghargaan Silver Bear untuk aktris terbaik. The Little House sendiri merupakan pembiasaan dari novel berjudul Chiisai Ouchi (The Little House) karya Kyoko Nakajima. Film ini ber-setting pada tahun 1930 ketika Jepang tengah berada dalam sebuah perang melawan Cina dan akan segera menghadapi Perang Dunia II. Seperti judulnya, The Little House akan memfokuskan ceritanya pada kehidupan seorang pelayan di sebuah keluarga yang tinggal di suatu rumah kecil yang indah dengan atap berwarna merah.

Ceritanya dinarasikan oleh seorang perempuan bau tanah berjulukan Taki (Chieko Baisho) melalui autobiografi yang sempat ia tulis sebelum karenanya meninggal dunia. Disitu Taki bercerita perihal masa mudanya ketika bekerja sebagai seorang pelayan di rumah sebuah keluarga berada (Taki muda diperankan oleh Haru Kuroki). Taki sendiri yaitu seorang gadis kampung yang dengan bermodalkan keinginan besarnya tiba ke Tokyo. Keluarga daerah Taki bekerja yaitu sebuah keluarga kecil yang hidup bahagia. Hirai (Takataro Kataoka) sang kepala keluarga yaitu seorang administrator di sebuah perusahaan mainan yang cukup sukses. Sedangkan sang istri yaitu seorang perempuan muda yang sangat manis berjulukan Tokiko (Takako Matsu). Dengan seorang anak pria yang masih kecil, keluarga sederhana itu tampak hidup senang dalam kehangatan, begitu pula dengan Taki yang senang hati menjadi pelayan disana. Suatu hari masuklah seorang perjaka berjulukan Shouji Itakura (Hidetaka Yoshioka) dalam kehidupan mereka. Itakura yaitu seorang arsitek muda yang merupakan anak buah Hirai. Kehadiran Itakura itulah yang perlahan memercikkan api dalam rumah tersebut.

Cerita dalam film ini sejatinya amatlah sederhana, dan mengingatkan saya akan film-film romansa klasik dari Hollywood. Ada cinta segitiga, hasrat, dan perselingkuhan disana, semuanya sederhana tanpa ada terlalu banyak intrik atau gimmick di dalamnya. Ketiadaan aspek komedi yaitu pembeda terbesar film ini dengan romansa klasik milik Hollywood. Filmnya serius, menghadirkan banyak kesedihan tapi tanpa pernah terlalu kelam apalagi depresif. Cinta memang menjadi penggagas utama film ini, tapi The Little House tidak melulu bicara soal cinta. Ada sedikit selipan observasi perihal kehidupan rakyat Jepang pada masa perang, hingga tentunya perenungan perihal hidup dan memori masa lalu. Disinilah semuanya semakin terasa menarik. Kehidupan rakyat Jepang pada masa itu selalu kita lihat sebagai masa yang sulit (meski pasca meledaknya bom atom jauh lebih sulit), dimana hal itu direpresentasikan juga dengan kata-kata Takeshi yang memprotes penggabaran sang nenek akan masa itu. Bagi Takeshi apa yang ditulis oleh Taki terasa mengada-ada, alasannya yaitu disaat masa sulit, apa yang tergambar dalam atuobiografinya justru kehidupan yang tentram dan bahagia. The Little House seolah menggambarkan bahwa kebahagiaan memang relatif. Membayangkan kehidupan seorang pelayan di masa perang memang terdengar berat, tapi nyatanya Taki merasa bahagia, dan kebahagiaan mudah itu memperlihatkan kehangatan luar biasa pada filmnya.
Hangat. Itulah yang saya rasakan ketika menonton film ini khususnya di dua pertiga awal durasi. Saya sanggup diajak ikut mencicipi tentramnya kehidupan Taki di sebuah rumah kecil beratap merah yang nampak begitu indah, ia hidup dalam harmoni bersama satu keluarga kecil yang bahagia. Senyuman simpul Haru Kuroki menggambarkan semua itu dengan sempurna. Lewat senyumannya, lewat tatapannya, saya sanggup melihat dengan terperinci sebuah perasaan hening dan tenang yang ia alami dalam fase kehidupan tersebut. Tapi semuanya berubah ketika konflik mulai datang. Disaat cinta terlarang mulai terjalin kehangatan itu perlahan mulai menghilang. Sampai karenanya menjelang final saya diberikan momen demi momen yang begitu mengharukan tanpa pernah putus. Rasa haru yang hingga menciptakan air mata saya mengalir deras itu bukan semata-mata hadir alasannya yaitu konten ceritanya, alasannya yaitu sekali lagi kisah dalam film ini begitu sederhana, familiar dan cukup sanggup ditebak. Yang membuatnya terasa mengharukan yaitu keberhasilan Yoji Yamada memasukkan kesan "kenangan" dalam ceritanya. Fakta bahwa film ini dinarasikan oleh Taki dalam autobiografinya menciptakan The Little House tidak semata-mata hanya menjadi sebuah drama perihal kisah cinta dan kehidupan, tapi keping demi keping memori berharga dari masa kemudian yang jikalau diingat berpuluh-puluh tahun kemudian akan menciptakan orang yang mengenangnya karam dalam haru dan nostalgia.

Saya sebagai penonton merasa ada di posisi yang sama ibarat Taki. Saya bukan hanya observer, tapi juga diajak untuk mencicipi lagi perasaan yang sama ibarat ketika saya mengingat suatu insiden emosional nan berharga di masa lalu. Film ini mengajak penontonnya untuk tidak hanya mengingat, tapi kembali dan mencicipi lagi apa yang pernah terjadi di masa lalu. Penuh dengan momen emosional, The Little House menjadi bukti sanggup sejauh dan sekuat apa pencapaian dari suatu film. Film tidak hanya sanggup memperlihatkan sesuatu, alasannya yaitu film juga sanggup menjadi representasi dari aspek manapun dalam kehidupan kita, dan jikalau suatu film begitu kuat, maka akan sanggup mewakili emosi dan banyak sekali perasaan yang muncul dalam tiap sendi kehidupan kita. Pada karenanya sesudah menonton The Little House, rumah kecil beratap merah itu selalu terbayang di benak saya dan rumah itu pun menjadi identik dengan dua hal, yaitu kenangan dan kedamaian. Film yang indah.

Artikel Terkait

Ini Lho The Little House (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email