Friday, January 11, 2019

Ini Lho The Lunchbox (2013)

Apanya yang menarik dari sebuah film yang menghadirkan rantang dan surat menyurat sebagai sajian utamanya? Sutradara debutan Ritesh Batra menandakan bahwa kedua hal yang sederhana bahkan terkesan ketinggalan jaman tersebut bisa dikemas untuk menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik. Semua berawal dari renana Batra untuk menciptakan sebuah dokumenter perihal Dabbawala, yaitu para pengantar makan siang yang konon katanya tergabung dalam sebuah organisasi dengan sistem pendataan yang benar-benar efisien sehingga memungkinkan mereka mengantar makan siang tepat waktu dengan memanfaatkan banyak sekali macam jenis transportasi. Bahkan di hari yang sama pun mereka sudah pribadi mengembalikan rantang yang dikirim ke rumah masing-masing. Begitu luar biasanya sistem yang dipakai, pihak Harvard pun hingga tertarik menelitinya. Awalnya Ritesh Batra ingin menciptakan dokumenter untuk merangkum kehebatan para dabbawala ini pada tahun 2007, hingga kemudian ia justru menemukan banyak dongeng personal yang amat menarik berhasil ia temukan dari para pengguna jasa dabbawala. Batra pun memutuskan menciptakan sebuah drama romantis dengan mengakibatkan dabbawala sebagai salah satu unsur penggeraknya, dan pada risikonya jadilah The Lunchbox ini.

Diawal kita akan diajak untuk melihat Ila (Nimrat Kaur), seorang ibu rumah tangga yang sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk ia kirim menggunakan jasa dabbawala. Sekilas saja bisa ditebak bahwa Ila sedang menyiapkan kuliner untuk seorang pria, entah pacar atau suaminya. Makanan yang ia buat pun diantar melintasi banyak sekali keramaian dan kumuhnya Mumbai sebelum pada risikonya diterima oleh seorang laki-laki berjulukan Saajan Fernandez (Irrfan Khan). Makara siapakah Mr. Fernandez ini? Apakah ia suami Ila? Atau kekasihnya? Ternyata ia bukan siapa-siapa, sebab paket makan siang tersebut tidak hingga pada tujuan. Disaat Saajan mendapat rantang makan siang dari Ila, suami Ila, Rajiv (Nakul Vaid) justru mendapat kuliner dari restoran yang dipesan oleh Saajan, dengan kata lain makan siang keduanya tertukar. Berawal dari situlah keduanya memulai komunikasi mereka lewat surat yang dimasukkan dalam rantang makanan. Tanpa mereka sadari, kehadiran masing-masing telah menambal kesepian dalam hidup keduanya. Baik Ila yang tidak lagi mendapat kehangatan dari sang suami maupun Saajan yang sudah ditinggal mati sang istri. Bagi Saajan khususnya, surat-surat dari Ila perlahan mulai merubah dirinya yang tadinya masbodoh dan seolah tidak peduli dengan sekitarnya menjadi lebih ramah serta lebih sering mengumbar senyum.
The Lunchbox sudah terasa begitu menarik sedari adegan pembukanya yang dimulai dengan interaksi menarik antara Ila dan tetangganya yang ia panggil Auntie (sepanjang film Auntie tidak pernah menampakkan sosoknya, hanya suara), hingga dikala kita diajak untuk sekilas melihat bagaimana para dabbawala menjalankan tugasnya. Semuanya sederhana tapi menarik, apalagi dikala kita risikonya tahu bahwa kuliner rantang yang dikirim oleh Ila ternyata telah tertukar. Saya juga suka bagaimana pengemasan adegan yang mengungkap bahwa kedua rantangnya teertukar. Cara Ritesh Batra bertutur pada momen tersebut tidaklah terlalu gamblang tapi berhasil menjelaskan semuanya dengan terang lewat cara yang bagi saya relatif cerdas meski sederhana. Sederhana. Kata itu memang sangat tepat untuk menggambarkan banyak aspek dalam film ini, termasuk ceritanya. Sebuah kisah cinta tanpa banyak dramatisasi ditambah alur yang berjalan jauh dari kesan rumit. Yang menarik lagi yakni fakta bahwa film ini menggunakan media surat sebagai penyambung kisah romansanya di zaman kini yang bahkan e-mail pun sudah terasa sedikit kuno untuk berinteraksi. Dengan kisah perihal surat menyurat lengkap dengan segala percikan cinta yang menciptakan jantung berdebar kencang, The Lunchbox punya kisah yang berpotensi menjadi cheesy dan sangat ABG. Tapi naskah yang ditulis Ritesh Batra dan Rutvik Oza membuatnya jauh dari itu.
Film ini pun tetap terasa begitu remaja berkat selipan kisah berupa retrospeksi perihal kehidupan masing-masing karakternya yang tertuang dalam goresan pena surat mereka masing-masing (diluar huruf utamanya yang memang sudah dewasa). Tapi kekuatan utama dari The Lunchbox terletak pada bagaimana kisahnya mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Saya berulang kali dibentuk tersenyum, tertawa bahkan bisa bersorak hingga terkadang keceplosan berkata "cieeeee.." Siapa sangka film perihal dua orang yang saling surat menyurat dan menuliskan perihal hidup mereka masing-masing tanpa ada sedikitpun kata gombal bisa terasa semanis, sehangat dan seromantis ini? The Lunchbox juga berhasil memunculkan kembali memori saya perihal bagaimana mendebarkannya menunggu kata-kata dari seseorang yang saya sukai. Setiap kali Saajan mendapat rantang makan siang dan mulai mencari surat dari Ila, saya pun ikut dibentuk berdebar-debar melihatnya, menantikan sambil harap-harap cemas apakah di dalamnya ada surat dari Ila, dan bila ada ibarat apakah isinya. Berkat atmosfer film yang terasa begitu hangat inilah saya turut dibentuk peduli akan kedua huruf utamanya, dan yang niscaya benar-benar berharap keduanya bisa bersatu atau paling tidak risikonya bertemu sekali saja dalam film ini.

Tidak hanya menjual kehangatan romantisme, The Lunchbox juga cukup baik dalam mengeksplorasi tiap-tiap karakternya Kita akan melihat bagaimana Saajan yang begitu masbodoh dan terlihat anti-sosial perlahan mulai berubah dan seolah mendapat harapan. Hal yang sama juga terjadi pada karakter-karakter lainnya, yang menyampaikan bahwa gotong royong ini yakni film perihal mereka yang tengah berada dalam fase berat hidupnya akhir kesendirian dan kesepian. Pada risikonya hal yang menciptakan mereka bisa bertahan yakni cinta. Terkesan klise memang, tapi berkat karakter-karakter yang menarik, film ini sama sekali tidak terasa klise. Saat saya menyampaikan karakternya menarik, saya tidak hanya merujuk pada Saajan dan Ila yang diperankan dengan baik oleh Irrfan Khan dan Nimrat Kaur tapi juga para pemain drama pendukungnya, mulai dari Shaikh yang begitu mencuri perhatian hingga sang Auntie yang selalu menarik bahkan memiliki backstory yang cukup mendalam meski sepanjang film hanya terdengar suaranya saja. The Lunchbox bisa saja menjadi film yang tepat bila bukan sebab ending-nya. Saya sama sekali tidak anti dengan ending yang memunculkan kesan ambigu, bahkan dalam kisah romantis saya begitu menyukainya ibarat Before Sunrise sebagai contoh. Saya sendiri tidak menyatakan bahwa ending film ini buruk, hanya saja sulit bagi saya menyukainya sebab sedikit "mengkhianati" pengharapan saya. Tapi itu tidak merusak The Lunchbox secara keseluruhan sebagai film Bollywood paling romantis yang pernah saya lihat...dan tanpa nyanyian atau tarian. Can you fall in love with someone you haven't met?

Artikel Terkait

Ini Lho The Lunchbox (2013)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email