Tuesday, January 8, 2019

Ini Lho A Most Wanted Man (2014)

Bahkan sampai ketika ini masih terjadi kontroversi serta ambiguitas dalam peperangan terhadap terorisme khususnya yang mengatas namakan diri mereka sebagai mujahidin (jihad). Dampak dari hal itu menjadi amat panjang. Banyak yang beranggapan hal tersebut sebagai bentuk perjuangan untuk menjatuhkan umat Islam, dan memang cukup banyak terjadi kasus orang Islam di negeri Barat dianggap sebagai teroris meski mereka sama sekali tidak terlibat. Bagi para pelaku terorisme sendiri, kalau anda mengikuti pemberitaan mengenai hal itu niscaya tahu kalau banyak dari mereka memang beranggapan tindak terorisme itu sebagai bentuk jihad. Masih banyak lagi kontroversi yang mengiringi kasus tersebut, dan membuat sebuah film atau karya apapun yang memasukkan terorisme yang melibatkan kaum muslim punya beban yang lebih. Mereka harus dapat menyajikan film itu tanpa membuat satu pihak merasa dilecehkan (tentu saja saya yakin tetap akan ada beberapa ekstrimis berpikiran sempit yang tetap mencap "sesat" film itu). Tema itulah yang diangkat Anton Corbijn dalam A Most Wanted Man, sebuah pembiasaan dari novel berjudul sama karangan John le Carre. 

Gunter Bachmann (Phillip Seymour Hoffman) ialah seorang kepetangan Jerman yang bertugas memimpin operasi dalam pencegahan tindak terorisme di Hamburg. Tim yang dipimpin Gunter bekerja secara rahasia dengan cara memasukkan intel ke dalam banyak sekali tempat, salah satunya ialah komunitas muslim disana. Salah satu sasaran utama operasi tersebut ialah Dr Abdullah (Homayoun Ershadi), seorang gemar memberi kaya dalam komunitas tersebut yang disinyalir memperlihatkan banyak suntikan dana pada Al Qaeda. Disaat penyelidikan tengah dilakukan, muncul Issa Karpov (Grigoriy Dobrygin) seorang imigran gelap dari Chechnya yang konon sempat berada di penjara Rusia jawaban tinda terorisme dan ingin memulai hidup gres di Hamburg. Untuk itulah ia meminta pinjaman pada seorang pengacara muda, Annabel Richter (Rachel McAdams) guna mendapat suaka dan menghubungkannya dengan seorang pemilik bank berjulukan Tommy Brue (Willem Dafoe) yang berdasarkan Issa bakal membantunya. Gunter dan timnya pun berusaha mendapat Issa guna memancing Dr. Abdullah. 
A Most Wanted adalah tipikal film-film thriller politik yang berjalan dengan lambat, kompleks, dan berbasis pada obrolan yang menyimpan banyak kunci penting mengenai alurnya. Anda tidak akan menemukan banyak letupan maupun intensitas yang terus menghantam ibarat pada jenis thriller yang "lebih populer". Kisahnya benar-benar digiring oleh plot dan akan terasa rumit sebab penonton dilarang sedikitpun mengalihkan fokus demi dapat menggali satu demi satu fakta yang muncul pada dialognya. Dialog dalam naskah goresan pena Adrew Bovell ini bagaikan puzzle yang kalau berhasil terkumpul semua dan disatukan bakal menjadi keseluruhan plot dalam film, memperlihatkan jawaban atas segala pertanyaan yang muncul. Semua fakta sebenarnya sudah ada, hanya saja film ini tidak akan menyuapi penonton. Kitalah yang harus merangkumnya satu demi satu. Bagi yang belum terbiasa mungkin bakal dibentuk galau dan bosan oleh film ini. Anton Corbijn sendiri mampu mengemas film ini dengan begitu rapih tanpa menyisakan kawasan bagi lubang dalam plot. Aspek demi aspek dituturkan secara perlahan, satu demi satu tanpa pernah terburu-buru sampai membuat kesatuan runtut yang amat menarik meskipun rumit.
Secara keseluruhan ada beberapa adegan kejar-kejaran tapi jangan harap anda akan menemukan adegan itu dikemas layaknya film blockbuster yang penuh ledakan, kebut-kebutan atau musik yang berdentum keras. Bahkan sampai kepingan titik puncak sekalipun A Most Wanted Man tidak memiliki tempo yang cepat tapi tetap terasa menegangkan. Saya dibentuk sesekali menahan nafas ketika melihat Gunter dan timnya mengamati dari CCTV, menunggu dengan cemas apakah Dr. Abdullah akan membubuhkan tanda tangan yang bakal menjadi bukti keterlibatannya dalam agresi terorisme. Ya, klimaksnya hanya berisikan adegan "menunggu seorang laki-laki menandatangani sebuah surat", mudah tapi begitu intens. Sampai hasilnya film ini ditutup dengan adegan paling "menggelegar" sepanjang dua jam durasinya. Sebuah epilog yang menghadirkan twist mengejutkan, kelam dan berhasil membuat saya tercekat. Bagi saya ending mengejutkan milik film ini terperinci salah satu yang terbaik tahun ini. Menghancurkan sebuah harapan, ending-nya memperlihatkan bahwa mereka tertuduh teroris ataupun yang mengejar teroris tidak ada yang benar-benar hitam maupun putih, semuanya abu-abu. 

Sebagai salah satu film terakhir dari Phillip Seymour Hoffman terperinci sebuah momen menyenangkan menyaksikan akting manis sang pemain film disini. Saya suka bagaimana Hoffman memperlihatkan sosok yang begitu hening tapi sebenarnya menyimpan amarah dan kesedihan dalam hati, dan semua itu memuncak pada ending-nya yang memilukan. Interaksinya dengan Willem Dafoe pun selalu mencuri perhatian. Saat keduanya tengah berada dalam satu layar, ingin rasanya porsi adegan itu terus bertambah. A Most Wanted Man secara keseluruhan memperlihatkan pertanyaan "bagaimana cara membuat dunia menjadi kawasan yang lebih aman?" Kita akan melihat bahwa setiap cara memiliki resiko, punya kelebihan sekaligus kekurangan. Bahkan benarkah terorisme ialah murni terorisme pun akan tetap selalu menjadi satu hal yang sulit dijawab secara pasti. Satu yang pasti, Anton Corbijn kembali berhasil menyajikan sebuah thriller bertempo sedang cenderung lamban dengan begitu baik dan solid.

Artikel Terkait

Ini Lho A Most Wanted Man (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email