Film karya Koji Shiraishi ini dirilis pada masa dimana film horor yang menggunakan teknik found footage atau disebut juga mockumentary masih belum terlalu menjamur menyerupai sekarang. Pada ketika itu belum ada Paranormal Activity dan The Blair Witch Project masih dianggap sebagai film mockumentary terbaik yang pernah ada. Seolah ingin menjawab keberhasilan Amerika memproduksi horor found footage, Koji Shiraishi kemudian membuat Noroi: The Curse yang hingga ketika ini dianggap sebagai mocku-horror terbaik yang dimiliki oleh perfilman Asia. Semenjak kesuksesan film ini juga Koji Shiraishi seolah mendedikasikan karirnya untuk menyajikan film-film dengan gaya serupa (setelah The Curse Shiraishi membuat empat film mocku-horror lagi). Seperti lebih banyak didominasi film bertemakan found footage, Noroi juga dikemas sedemikian rupa semoga terlihat menyerupai sebuah insiden kasatmata guna menambah tingkat keseraman filmnya. Jika anda termasuk orang yang gemar menonton program televisi Jepang di YouTube yang mengatakan rekaman penampakan hantu, maka anda akan menjumpai kemiripan opening film ini dengan program tersebut. Gambar yang direkam dengan kualitas tidak seberapa dan diiringi voice-over dramatis dari seorang laki-laki yng menarasikan isi dari rekaman tersebut.
Ceritanya sendiri berpusat pada penelitian yang dilakukan oleh spesialis supranatural berjulukan Masafumi Kobayashi. Kobayashi selama ini telah menerbitkan banyak sekali macam buku mengenai hal-hal yang sifatnya supranatural, dan kali ini ia berniat untuk mendokumentasikan pemeriksaan yang ia lakukan terhadap kasus-kasus paranormal yang ada. Beberapa masalah pun mulai ia selidiki, termasuk masalah yang menimpa seorang aktris berjulukan Maria Takagi dimana ia sempat keseurupan ketika menjalani shooting sebuah variety show. Awalnya banyak sekali masalah tersebut nampak tidak saling berhubungan, tapi seiring dengan penyelidikan Kobayashi yang semakin dalam, ia pun perlahan menyadari bahwa semua hal tersebut bergotong-royong saling berkaitan dan membuat misteri horor yang jauh lebih besar.
Memang film-film horor yang dikemas dengan gaya mockumentary mempunyai kelebihan dalam menghantarkan terornya pada penonton berkat kesan realistis yang ada, namun ada satu kelemahan besar yang sering saya temui dalam film-film tersebut. Kelemahan tersebut terletak pada alur dan narasinya yang begitu lambat sebelum teror bergotong-royong dimulai. Alur lambat tersebut seringkali makin diperparah oleh jalinan dongeng yang sama sekali tidak menarik. Coba tengok seri Paranormal Activity. Sebelum teror malam harinya dimulai, kita hanya akan disuguhi aktivitas sehari-hari yang kurang menarik dari karakternya. Masih untung jikalau momen tersebut berhasil membuat saya terikat dengan karakternya, masalahnya ialah momen tersebut sama sekali tidak dibentuk untuk memperkuat karakterisasi tokoh-tokoh yang ada. Kelemahan itulah yang berhasil ditambal oleh Koji Shiraishi dalam film ini. Meskipun temponya tidak berjalan dengan cepat, namun sedari awal kita sudah disuguhi oleh kepingan-kepingan misteri yang menarik untuk diikuti. Bahkan kita sudah diberikan momen-momen mengerikan yang efektif dari awal film tanpa perlu mengeksploitasi terlalu banyak bahan horornya.
Disisi lain, Noroi juga mengandung kelebihan yang dimiliki oleh horor Asia khususnya J-Horror pada umumnya, yakni atmosfer creepy yang bisa membuat jantung saya berdegup kencang meskipun tidak ada penampakan hantu yang eksplisit ataupun efek-efek bunyi mengejutkan yang sering ditemui dalam film-film horor Hollywood. Hampir semua momen yang ada dalam film ini mampu menghasilkan atmosfer yang menegangkan, meskipun itu hanya adegan seorang gadis cilik menggambar hal gila ataupun lewat tulisan-tulisan yang seringkali muncul ketika momen blackout. Saya selalu terpaku setiap kali layar film berubah gelap, menanti dengan cemas fakta apa yang akan dipaparkan oleh goresan pena yang seringkali muncul pada momen tersebut, entah fakta gres penyelidikan Kobayashi ataupun isu janjkematian misterius karakter-karakternya. Hebatnya, dari awal film ini terus stabil menyajikan suasana yang mencekam hingga kesudahannya sampailah kita pada sebuah titik puncak yang begitu menegangkan dan mengerikan. Sayangnya saya agak kurang menyukai bab ending-nya. Masih terkesan creepy namun sedikit terasa anti-klimaks sebagai sebuah konklusi dari rangkaian misteri yang telah dirangkai dengan baik tersebut. Mungkin hal ini saya rasakan alasannya ialah sebelum bab itu film ini gres saja menyuguhkan rangkaian titik puncak yang terasa begitu menegangkan.
Selain atmosfernya, Noroi juga berhasil menyajikan rangkaian dongeng misteri yang begitu menarik. Hal tersebut memang membuat filmnya terasa lebih rumit dibanding film-film horor kebanyakan khususnya yang menggunakan format mockumentary, tapi hal tersebut bisa menjaga tensi filmnya terus stabil dan tidak pernah terasa sedikitpun membosankan. Pergerakan kameranya juga nyaman untuk diikuti. Biasanya film mockumentary bermasalah dengan teknik handheld camera yang membuat penonton pusing ataupun tidak bisa menangkap secara keseluruhan apa yang terjadi di layar. Dalam Noroi, hal tersebut tidak terjadi, alasannya ialah meski pergerakan kameranya dibentuk realistis, tidak ada shaky camera berlebihan yang membuat mata saya tidak betah untuk mengikuti apa yang tersaji di layar.
Untuk makin menguatkan kesan realistis yang dimiliki oleh mockumentary, Koji Shiraishi dengan begitu jeli memasukkan beberapa scene yang seolah diambil dari rekaman televisi entah itu isu ataupun sebuah variety show. Seperti yang saya katakan di awal goresan pena ini, Noroi: The Curse terasa bagaikan sebuah episode extended dari program televisi Jepang yang menampilkan rekaman penampakan-penampakan hantu. Overall Noroi: The Curse ialah tontonan horor yang langka bagi saya. Gabungan tepat dari menu horor penuh atmosfer mencekam dengan misteri kompleks yang begitu menarik untuk dirangkai satu per satu jawabannya. Dan meskipun saya merasa konklusinya ada di bawah ekspektasi saya, namun film ini mampu mempertahankan ciri khas J-Horror yang selalu memasukkan unsur ambiguitas dalam konklusinya. Sebuah keputusan yang tepat, daripada harus menjelaskan semuanya secara gamblang namun malah berakhir dipaksakan menyerupai yang banyak terjadi pada film-film horor asal Hollywood.
Ini Lho Noroi: The Curse (2005)
4/
5
Oleh
news flash