Thursday, January 17, 2019

Ini Lho Norwegian Wood (2010)

"Norwegian Wood" yakni judul dari salah satu lagu milik The Beatles yang kesudahannya menginspirasi Haruki Murakami menulis sebuah novel dengan judul sama yang rilis tahun 1987. 23 tahun kemudian sutradara asal Vietnam, Tran Anh Hung mengangkat novel tersebut ke layar lebar. Tran Anh Hung sendiri mulai angkat nama semenjak film debutnya, The Scent of Green Papaya yang rilis tahun 1993 berhasil menjadi nominasi Oscar untuk Best Foreign Film. Norwegian Wood  sedniri mempunyai 2 nama besar lain didalamnya, yaitu pemain film Kenichi Matsuyama yang populer lewat kiprahnya sebagai L dalam 2 film Death Note dan 1 spin-off. Satu lagi nama besar yakni Rinko Kikuchi yang sempat meraih nominasi Oscar untuk Best Supporting Actress lewat kiprahnya sebagai gadis bisu dalam Babel.

Berkisah di Tokyo pada tahun 60-an, diceritakan Toru Watanabe (Kenichi Matsuyama) masih mencicipi kehilangan sehabis sobat baiknya, Kizuki (Kengo Kora) meninggal sehabis bunuh diri. Toru yang coba melarikan diri dari hal itu kesudahannya berkuliah di Universitas Tokyo. Suatu hari ketika sedang berjalan-jalan Toru bertemu secarar tidak sengaja dengan Naoko (Rinko Kikuchi) yang tidak lain yakni mantan pacar Kizuki. Mereka kesudahannya mulai menjalin kekerabatan yang lebih dekat. Naoko sendiri ketika itu masih mengalami teknan dan depresi akhir meninggalnya Kizuki. Hubungan Toru dan Naoko kesudahannya semakin intim dan mulai jatuh cinta satu sama lain. Tapi sehabis ulang tahunnya yang ke-20 Naoko menghilang.
Selama Naoko masih belum terdengar kabarnya, Toru bertemu dengan gadis berjulukan Midori (Kiko Mizuhara). Midori  yakni tipe gadis yang berbeda dengan Naoko. Jika Naoko yakni gadis yang muram dan cenderung gloomy, maka Midori lebih bersemangat, ceria dan percaya diri. Selama tidak ada Naoko, Midori mulai mengisi keseharian Toru. Sampai suatu hari Naoko membalas surat yang telah usang dikirim oleh Watanabe. Ternyata selama ini ia berada di sebuah sanatorium yang terletak di tengah hutan di pegunungan erat Kyoto. Kini Toru harus berada diantara 2 orang perempuan yang sama-sama ia cintai dan juga mencintainya. Kedua perempuan itu juga masing-masing punya luka dan kepedihan dalam hati mereka.
Norwegian Wood yakni wacana cinta, hasrat seksual dan janjkematian beserta obsesi tokoh-tokohnya akan ketiga hal tersebut. Ketiga hal tersebut sangat mendominasi keseluruhan film ini baik itu dari adegannya hingga dialog-dialog yang ada juga berisikan ketiga hal itu. Dan bagaimana ketiga tema tersebut kalau disatukan? Hasilnya yakni sebuah kisah yang bergulir selama 2 jam lebih dan terasa penuh dengan perasaan depresi, galau dan meninggalkan aura emo yang terpancar besar lengan berkuasa dari setiap karakternya. Saya sendiri merasa cukup lelah dengan nuansa itu apalagi durasinya hingga diatas 2 jam. Norwegian Wood bagaikan sebuah ungkapan perasaan mengenai seseorang yang merasa bingung dan murung atas kehilangan-kehilangan dan hal jelek yang terjadi di masa lalunya kemudian berbicara wacana janjkematian dan sesekali secara tersirat berharap janjkematian itu akan menjemput.

Tapi yang patut dicatat yakni memang kisah dalam film ini bukan bertujuan untuk memperlihatkan kekerabatan cinta yang biasa saja, yaitu bukan kekerabatan cinta yang hanya mempertimbangkan siapakah yang kesudahannya akan menjadi cinta sejati dan akan dipilih oleh Toru. Sama sekali bukan menyerupai itu. Norwegian Wood lebih mengetengahkan sebuah kisah coming-of-age karakternya. Bagaimana mereka bisa bertahan atau tidak dari masa kemudian yang menghantui mereka. Apakah kesudahannya mereka akan terus hidup dan bertambah renta atau mengakhiri hidup dan tetap berusia 20 tahun menyerupai Kizuki yang tetap berusia 17 tahun sehabis ia meninggal. Dua sosok Midori dan Naoko yang berada dalam hidup Toru juga bagaikan refleksi sebuah masa kemudian suram yang dimiliki oleh Toru ketika Kizuki meninggal dimana hal itu direfleksikan dalam diri Naoko dan juga refleksi dari masa depan yang berpotensi cerah baginya yang tergambar dalam diri Midori. Tapi tidak semua orang akan lebih menentukan masa depan andaikan ia yakni seorang gloomy atau emo yang menikmati terjebak dalam kesakitan hatinya.

Tapi harus diakui durasi 128 menit yakni terasa usang untuk sebuah kisah menyerupai dalam film ini. Begitu gelap dan nuansanya bagaikan terasa bukan kisah antara insan tetap lebih menyerupai antara makhluk-makhluk mistik yang gila dan terkesan aneh. Walaupun begitu, mengurangi durasi nampaknya juga bukan pilihan bijak sebab film ini sekali lagi yakni pembiasaan novel yang tidak bisa seenaknya diperpendek atas nama durasi. Karena itulah harus diakui mengadaptasi Norwegian Wood bukanlah pekerjaan yang mudah. Untungnya film ini punya aspek sinematografi yang luar biasa. Mark lee Ping Bin sang sinematografer sukses mengahdirkan aneka macam macam gambar-gambar luar biasa indah dan mendukung jalinan kisahnya yang terasa puitis. Keindahan gambar itu jugalah yang pada kesudahannya bisa membuat saya bertahan dan tidak terlalu bosan mengikuti kisahnya yang buat saya sendiri agak bertele-tele dan melelahkan sebab sisi depresifnya.

Selain sisi sinematografi yang indah, Norwegian Wood juga beruntung mempunyai Rinko Kikuchi. Bukann saya mengesampingkan akting pemain lainnya, tapi harus diakui Rinko yakni yang paling bersinar. Dari dirinya abjad seorang Naoko yang tengah depresi berat begitu terpancar. Meskipun tengah memancarkan senyum sangat terang ada sebuah "kegelapan"  dan kesedihan luar biasa dalam dirinya yang membuatnya seolah selalu tidak tertarik untuk hal lain selain hasratnya akan cinta dan hal seksual. Interaksi yang unik sekaligus abnormal antara Naoko dengan Toru itulah yang membuat suasana yang bagaikan kisah mengenai makhluk-makhluk mistik menyerupai yang saya bilang tadi. Sebuah hal yang sulit disampaikan dengan kata-kata dalam posting ini tapi akan dengan mudahnya dirasakan oleh orang yang telah menonton filmnya.

Norwegian Wood terang sebuah film artistik yang tidak gampang diikuti bahkan oleh orang yang menggemari film arthouse sekalipun. Hal itu sebab film ini bukanlah hanya memperlihatkan sajian seni yang mungkin sulit diikuti penonton awam macam The Tree of Life, tapi juga mengandung nuansa yang berat untuk diikuit oleh penonton manampun yaitu nuansa yang gloomy dan cukup depresif. Hal itu sendiri jadi kelebihan sekaligus kekurangan utama film ini. Tapi dibalut dengan sinematografi indah dan akting menawan Rinko Kikuchi, Norwegian Wood tetap sebuah sajian yang tidak mengecewakan menarik hanya kalau anda bersabar dalam menontonnya dan mau meresapi aneka macam hal yang ada didalamnya.

RATING:

Artikel Terkait

Ini Lho Norwegian Wood (2010)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email