Kyoto Arc jelas merupakan bab terbaik dari seluruh kisah Rurouni Kenshin. Kisah ini menyajikan begitu banyak huruf memorable, jalan dongeng yang menarik, serta tentunya banyak sekali pertarungan epic. Tentu saja arc terakhir yaitu yang paling emosional dan menyempurnakan kisah Kenshin Himira, tapi semoga bagaimanapun, Kyoto yaitu klimaksnya. Maka bukan suatu keputusan mengejutkan dikala pembiasaan live action-nya bakal memakai kisah ini sebagai puncak. Film pertamanya sendiri cukup memuaskan. Meski ada beberapa karakterisasi yang terasa berbeda dan agak mengganggu (seperti Sanosuke), film itu tetaplah pembiasaan yang setia dengan sumbernya. Tapi mengadaptasi kisah Kyoto bukanlah hal yang mudah, malah bisa dibilang sangat sulit. Banyaknya huruf dan skalanya yang besar merupakan halangan utama, jadi merupakan langkah yang masuk logika untuk memecah ceritanya kedalam dua film, dan Kyoto Inferno ini yaitu bab pertama.
Makoto Shishio (Tatsuya Fujiwara) merupakan "penerus" Kenshin (Takeru Sato) sebagai seorang pembantai sehabis ia menanggalkan gelar Battousai. Tapi berbeda dengan Kenshin yang membunuh demi perdamaian dan orang lemah, Shishio melaksanakan itu demi kepuasan langsung dan kejayaan, sesuatu yang mendorong pihak pemerintah memutuskan membunuh kemudian memperabukan mayatnya. Tapi diluar dugaan Shishio masih hidup dan bertransformasi menjadi "monster" haus darah yang sekarang berniat menggulingkan pemerintahan Meiji. Untuk itulah ia mulai menghimpun pasukan termasuk menciptakan Juppongatanya yang terdiri dari 10 pendekar pedang terbaik yang tidak segan membunuh siapa saja yang mengalangi mereka. Kenshin yang awalnya menolak undangan pemerintah untuk membunuh Shishio risikonya mulai tergerak sehabis melihat kekejamannya. Bersama pihak kepolisian yang dipimpin Saito (Yosuke Eguchi), Kenshin pun menuju Kyoto yang akan dijadikan lautan api oleh Shishio.
Asalkan Kyoto Inferno tidak "mengacau seenaknya" film ini setidaknya berpotensi menghadirkan tontonan yang menghibur, dan itulah yang berhasil dicapai oleh sutradara Keishi Ohtomo. Berbekal dasar dongeng yang kuat, film ini masih berusaha sebisa mungkin setia dengan sumbernya, sehingga walaupun ada beberapa penyesuaian, saya sebagai penggemar manga-nya masih bisa cukup memaafkan. Kesetiaan pada sumber itu tidak hanya mempunyai kegunaan untuk membangun kisah yang baik tapi juga membangkitkan memori indah dikala membaca Kyoto Arc dulu. Melihat huruf demi huruf serta momen-momen dalam komik berhasil diwujudkan menjadi konkret oleh Keishi Ohtomo yaitu kesenangan tersendiri bagi saya. Saya yakin dikala menonton film ini dalam benak lebih banyak didominasi penggemar Rurouni Kenshin akan sering terbersit "ah, huruf ini", atau "ah, saya ingat momen ini...". Tapi tentu saja Kyoto Inferno bukan pembiasaan yang sempurna, dan problem utama film ini memang hadir alasannya aspek yang telah saya sebut diatas, yakni banyaknya karakter, subplot, serta skala yang besar.
Karakter Kenshin terperinci tergali, begitu pula dengan Shishio yang tiap kemunculannya sudah bisa menghadirkan aura angker meski belum banyak mengatakan aksinya. Tapi lihat huruf menarik lainnya yang punya tugas besar dalam Kyoto Arc seperti Juppongatana misanya. Mereka yaitu para villain dengan kemampuan serta tampilan unik. Masing-masing pertarungan yang melibatkan mereka berdampak besar pada pengembangan huruf utama, menyerupai patahnya pedang Kenshin, Sanosuke yang menguasai jurus andalannya, Saito dengan prinsip keadilannya, resolusi konflik Kenshin-Aoshi, hingga Kaoru yang berkesempatan hadir sebagai heroine tangguh. Sayang lebih banyak didominasi dari aspek itu tidak dihadirkan disini. Saya tidak tahu apakah semua itu gres akan dimunculkan di film ketiganya, tapi bila tidak tentu saja itu yaitu penyia-nyiaan potensi cerita. Bahkan sosok Aoshi gres diperkenalkan dan dikembangkan di film ini, sesuatu yang seharusnya sudah dilakukan dari film pertama.
Aohsi punya tugas cukup besar di arc ini, khususnya di klimaks. Maka dari itu pengenalannya di tengah dongeng terasa dipaksakan dan kurang mendalam. Aneh memang, alasannya arc Aoshi sebenarnya digunakan untuk film pertama, tapi entah kenapa kiprahnya di film itu dihilangkan dan justru gres muncul disini. Meski masih ada satu film, saya ragu salah satu tokoh terbaik di Rurouni Kenshin ini pada risikonya bisa termaksimalkan. Sayang sekali, padahal Aoshi punya kepribadian dan latar belakang menarik dengan bencana kelam disana. Tapi bicara momen emosional, Keishi Ohtomo nampaknya memang sengaja melucuti hal itu dari triloginya ini dan lebih berfokus pada agresi dan bagaimana menyuguhkan tampilan huruf semirip mungkin dengan komiknya. Padahal Rurouni Kenshin sejatinya punya banyak momen emosional dalam komiknya. Patut disayangkan, tapi toh apa yang dijadikan fokus itu berhasil tergarap maksimal. Desain karakternya manis berkat production value yang memuaskan, dan adegan aksinya pun benar-benar menghibur.
Kyoto Inferno memang risikonya tida menampilkan titik puncak yang memuaskan, alasannya memang layaknya film pembiasaan novel Hollywood yang membagi kisah risikonya menjadi dua, film pertama lebih kepada penghantar untuk titik puncak sebenarnya di film kedua. Banyak kekecewaan hadir, tapi secara keseluruhan film ini yaitu hiburan yang menyenangkan. Durasinya yang mencapai 138 menit tidak terasa membosankan berkat keseruan dan kesan nostalgia yang hadir. Poin plus juga turut hadir berkat keberhasilan Keishi Ohtomo dalam usahanya menyebabkan hampir semua kemunculan Shishio terasa mengerikan, termasuk lewat opening yang mendekati suasana horror. Scoring yang terdengar tiap kemunculan Shishio pun begitu megah dan mengerikan disaat bersamaan. Sebagai bonus, menonton film yang menghadirkan Emi Takei terperinci merupakan hiburan menyenangkan bagi para penonton laki-laki (berani taruhan banyak yang susah mengatur fokus). Kyoto Inferno adalah pengantar yang menyenangkan menuju The Legend Ends.
Ini Lho Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno (2014)
4/
5
Oleh
news flash