Pamor Ben Stiller sebagai seorang pemain drama komedi memang tengah meredup dimana terakhir kali filmnya meraih kesuksesan ialah tdi tahun 2011 kemudian dalam The Heist. Namun mungkin banyak yang lupa bahwa pelawak satu ini punya talenta lain diluar komedian. Dia menerangkan bahwa ia bisa berakting dengan baik menyerupai dalam Greenberg. Namun bakatnya yang satu lagi ialah menjadi seorang sutradara dimana hingga sebelum ini ia sudah pernyah menyutradarai empat film. Salah satu yang paling populer tentunya ialah Tropic Thunder yang dirilis tahun 2008 kemudian dan sukses menunjukkan Robert Downey Jr. sebuah nominasi Oscar. Kali ini Ben Stiller kembali menjadi sutradara untuk kelima kalinya dalam sebuah penyesuaian dari dongeng pendek berjudul The Secret Life of Walter Mitty yang ditulis oleh James Thurber dan dipbulikasikan pada tahun 1939. Ya, ini ialah sebuah kisah klasik yang sudah berumur lebih dari 70 tahun dan sebelumnya juga pernah disesuaikan ke layar lebar pada tahun 1947. Film ini sendiri sebelum perilisannya sempat disebut-sebut sebagai salah satu yang akan meramaikan ajang penghargaan tahun ini. Pada alhasil itu memang tidak terwujud alasannya tanggapan para kritikus pada film ini terhitung mixed. Namun saya tetap tertarik melihat bagaimana visi seorang Ben Stiller terhadap kisah perihal berpadunya fantasi dan realita kehidupan ini.
Walter Mitty (Ben Stiller) ialah karyawan di majalah Life yang bertugas mengurus negatif sebuah foto yang nantinya akan ditampilkan di majalah termasuk untuk sampulnya.Walter sendiri ialah seorang laki-laki pendiam dan pemalu. Dia sering terdiam dan karam dalam lamunannya perihal aneka macam tragedi luar biasa yang ia alami. Tentu saja semua itu hanyalah imajinasi Walter semata alasannya ia sama sekali tidak punya keberanian untuk melaksanakan hal-hal tersebut termasuk salah satunya ialah mendekati Cheryl Melhoff (Kristen Wiig), rekan kerjanya yang sudah usang ia sukai. Jangankan untuk berkomunikasi langsung, hanya untuk "menyapa" Cheryl lewat sebuah situs kencan online pun Walter ragu-ragu. Suatu hari datanglah permasalahaan disaat majalah Life akan berganti format menjadi majalah online dan akan segera menerbitkan edisi terakhirnya termasuk melaksanakan banyak pemecatan terhadap karyawan yang dianggap tidak menunjukkan bantuan maksimal bagi perubahan majalah tersebut. Untuk edisi terakhir itulah akan digunakan sebuah foto dari Sean O'Connell (Sean Penn) yang selama ini telah cukup banyak menunjukkan karyanya pada Life. Namun ternyata negatif foto yang akan digunakan tidak ada dalam paket negatif yang diterima Walter. Kini Walter pun harus berpacu dengan waktu untuk menemukan negatif yang hilang tersebut. Kali ini ia pun harus menjalani sebuah petualangan konkret yang tidak hanya berasal dari imajinasinya belaka.
Ben Stiller menyatakan ini ialah proyeknya yang paling personal dan kalau melihat hasilnya saya berani menyatakan bahwa ini juga ialah proyeknya yang paling ambisius. Dengan bujet mencapai $90 juta film ini bukan hanya sekedar sajian komedi abnormal ala Ben Stiller. Bahkan taraf komedinya berkurang cukup jauh kalau dibandingkan film-film lain yang ia buat. Masih ada sentuhan komedi tentu saja, tapi secara kuantitas menurun. Semuanya diganti dengan kisah perjalanan spiritual perihal seorang laki-laki yang mencari keberanian untuk menjalani kehidupannya. Walter selama ini terus menjalani hidupnya dalam ruang lingkup yang sempit dan selalu karam dalam lamunan dan imajinasi liarnya. Film ini mengajak kita untuk menelusuri bagaimana Walter perlahan mulai mencoba menghadapi rasa ragu dan takut yang selalu ia alami dan menghalanginya untuk melangkah lebih jauh dan menciptakan hal besar dalam hidupnya. Perjalanan itu dirangkum dengan visualisasi yang indah. Dengan balutan CGI yang cukup memukau, penggambaran fantasi liar Walter hingga perjalanannya ke aneka macam kawasan mulai dari Greenland hingga Afganistan tersaji dengan begitu indah. Sinematografi garapan Stuart Dryburgh memang terasa begitu indah. Belum lagi iringan lagu-lagu serta scoring yang amat berhasil menggambarkan semangat dari filmnya.
Meski disini Ben Stiller mengurangi kadar komedinya tapi saya berhasil terhibur dengan aneka macam visualisasi fantasi abnormal dalam kepala Walter. Mulai dari yang sederhana menyerupai disapa oleh perempuan yang ia sukai hingga yang sangat abnormal menyerupai pertarungan antara Walter melawan bosnya yang bagaikan pertempuran superhero dan supervillain yang bisa memporak porandakan kota. Perjalanan yang dilakukan Walter pun selalu berhasil memukau saya dengan gambar-gambar indahnya. Namun sayangnya satu hal vital dari film ini justru terasa kurang, yakni substansi ceritanya. Apa yang harusnya bisa tersaji dalam The Secret Life of Walter Mitty ialah perasaan simpati pada sosok Walter. Kisahnya sangat bersahabat dengan kehidupan kita sehari-hari dimana saya yakin lebih banyak didominasi orang sering melongo dan membayangkan hal-hal luar biasa dan diluar kecerdikan yang ia lakukan. Saya yakin setiap orang sering takut melangkah dan mengambil resiko untuk hal besar dalam hidupnya. Namun petualangan yang dilakukan oleh Walter tidaklah sebegitu inspiratifnya bagi saya. Bagaimana ia pada alhasil bisa mengalahkan segala rasa takut tersebut dan mengambil langkah besar dalam hidupnya tidaklah terasa Istimewa dan kurang mengena. Semuanya memang terlihat indah di mata, namun kalau bicara problem rasa film ini tidaklah seindah itu.
Untungnya meski kurang maksimal dalam menghadirkan kisah inspiratifnya, The Secret Life of Walter Mitty memiliki sebuah ending yang sempurna. Sebuah adegan romantis yang terasa manis pribadi dilanjutkan dengan sebuah epilog perihal balasan dari pencarian Walter yang terasa begitu mengharukan. Ya, saya dibentuk hampir menangis dikala mengetahui apa bantu-membantu foto yang akan digunakan untuk mengisi sampul edisi terakhir dari majalah Life tersebut. Akting dari Ben Stiller mungkin tidak istimewa tapi ia berhasil menunjukkan dengan baik bagaimana transformasi sosok Walter Mitty dari seorang laki-laki pendiam, penuh keraguan dan canggung perlahan menjadi laki-laki yang kuat, penuh keberanian, charming dan tidak lagi pemalu. Mungkin pada alhasil The Secret Life of Walter Mitty gagal menjadi Life of Pi-nya tahun 2013 akhir kedalaman ceritanya yang kurang. Memang Ben Stiller mengurangi kadar komedinya namun film ini masih terasa terlalu ringan dengan segala kisahnya perihal pencarian arti kehidupan. Namun saya tetaplah menikmati film ini, apalagi dengan segala visualisasi abnormal perihal fantasi liar Walter lengkap dengan sinematografi indahnya. Jangan hanya bermimpi dan berkhayal, namun wujudkan segala cita-cita serta imajinasi liar itu dengan berani melangkah lebih jauh dalam hidup.
Ini Lho The Secret Life Of Walter Mitty (2013)
4/
5
Oleh
news flash