Film ini ialah sebuah remake dari film Uruguay rilisan tahun 2010 yang berjudul La casa muda (The Silent House). Remake ini sendiri sebetulnya sudah diputar perdana pada Sundance Film Festival 2011 tapi gres diputar di bioskop mulai Maret 2012. Dibintangi oleh Elizabeth Olsen yang namanya melambung berkat aktingnya di Martha Marcy May Marlene, film ini punya keunikan pada penyajiannya dimana seakan-akan filmnya berjalan secara real time dan diambil hanya dengan satu kali take yang mana mengingatkan saya pada film Rope milik Alfred Hitchcock yang juga menggunakan teknik serupa. Tentu saja sebetulnya film ini tidak di-shoot pribadi selama 88 menit, hanya saja menggunakan aneka macam trik kamera dan editing seakan-akan filmnya menyerupai itu. Film ini sendiri sebetulnya tidak terlalu sukses dengan hanya menerima $13 Juta walaupun bujetnya sendiri memang minim, hanya $2 juta. Dimata kritikus film ini juga tidak menerima review yang baik meski tidak bacin juga. Tapi saya tetap ingin tau dengan sanksi single take-nya dan juga dengan penampilan Elizabeth Olsen disini.
Sarah (Elizabeth Olsen) bersama John, ayahnya (Adam Trese) dan Peter, pamannya (Eric Sheffer Stevens) sedang memperbaiki rumah usang yang mereka miliki namun sudah usang tidak mereka tempati untuk kemudian akan dijual. Sebuah pertengkaran antara John dan Peter menciptakan Peter pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan Sarah berdua dengan ayahnya. Awalnya tidak terjadi hal yang absurd disana hingga Sarah mulai mendengar beberapa bunyi misterius yang ternyata hanyalah awal dari sebuah teror mengerikan yang akan dialami olehnya. Membaca judulnya saya berasumsi kalau ini ialah film ihwal rumah renta yang berhantu. Sebuah kisah yang terang bukan barang baru. Tapi kemudian melihat trailer-nya, film ini justru agak terasa menyerupai sebuah film slasher dengan menunjukkan Sarah yang bersembunyi dari sosok misterius yang lebih terlihat menyerupai insan daripada hantu ala film Hollywood. Butuh waktu untuk mengetahui kepastiannya alasannya hal itu ialah bab terbesar dari twist yang dimiliki oleh film ini.
Selain teknik continous shot yang harus diakui terlihat baik dan diedit dengan sangat rapih (benar-benar terlihat menyerupai sebuah single shot selama 88 menit), Silent House juga menyimpan sebuah misteri yang sebetulnya cukup menarik. Kita diajak menebak-nebak ihwal fakta sebenarnya. Tapi sayangnya film ini terlalu berbaik hati dengan menunjukkan kita beberapa hint yang mau tidak mau menciptakan penontonnya mengira-ngira ihwal twist-nya. Saya sendiri tidak terlalu terkejut dengan twist tersebut alasannya selain sudah ada petunjuk yang tersebar, kejutan macam itu juga sudah sering digunakan dalam banyak film. Bahkan bisa dibilang kejutan tersebut juga punya banyak lubang yang tersebar. Sulit rasanya menjelaskan hal ini tanpa menunjukkan major spoiler tapi kurang lebih penjelasannya menyerupai ini. Kejutan atau twist sebuah film memang bertujuan untuk mengejutkan penonton, tapi ada kalanya kejutan itu akan terasa tidak sinkron dengan plot-nya dan terasa absurd kalau kita meninjau ulang filmnya dari awal dan mengaitkannya dengan twist ending tersebut. Dalam Silent House memang saya tidak hingga terasa dibohongi namun tetap ada pertanyaan besar mengenai "kapan" dan "bagaimana". Karena kontinuitas dalam dunia yang dibangun dalam film ini akan terasa absurd kalau kita menerapkan twist tersebut didalamnya.
Dalam sebuah wawancara, duo sutradara Chris Kentis dan Laura Lau menyampaikan mereka mencoba menggunakan beberapa simbol dan metafora. Bagi saya mereka juga terlihat menerapkan teori ala Mulholland Drive meski hanya secuil dan aplikasinya berbeda alasannya Silent House terang punya twist yang jauh berbeda. Tapi hal itu sangat terasa kalau kita membahas ihwal siapa sosok gadis kecil tersebut? Siapa sosok laki-laki misterius itu? Siapa sebetulnya Sophia? Saya merasa teringat pada teori yang digunakan Lynch di filmnya. Hal itu diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada duo sutradara film ini. Harus diakui itu perjuangan yang cukup kreatif, namun pada eksekusinya menjadi tidak sempurna sasaran. Selain sosok gadis kecil, saya rasa penonton tidak akan berasumsi menyerupai apa yang diperlukan oleh kedua sutradaranya. Benar-benar terasa dipaksakan apa yang coba disimbolkan oleh mereka dalam film ini.
Tidak hanya lemah dalam ending, film inipun lemah dalam hal menakut-nakuti penontonnya. Sedari awal penonton diajak masuk dalam rumah yang katanya menakutkan itu saya tidak mencicipi aura yang menyeramkan. Yang ada hanyalah rumah yang gelap namun terasa begitu ramah tanpa sedikitpun nuansa creepy didalamnya. Padahal membangun tensi lewat nuansa dan situasi sekitar ialah hal yang sangat penting dan efektif untuk menciptakan penonton tegang dan takut. Tapi lingkungan dalam film ini terasa nyaman-nyaman saja. Begitu pula ketika film ini mencoba mengaget-ngageti penontonnya. Momen yang harusnya menciptakan jantung serasa mau copot itu terasa terlalu lembut dan pelan. Tidak sedikitpun terasa mengagetkan. Pembangungan suasana, pergerakan kamera dan penerapan musik ketika adegan yang niatnya mengagetkan tersebut terasa terlalu lamban dan tidak pas. Padahal mengageti penonton ialah cara termudah bagi sebuah horor untuk meningkatkan tensi, dan bila sebuah film gagal melaksanakan hal gampang itu berarti memang ada yang salah dengan film tersebut. Saya tidak peduli dengan teknik continous shot-nya yang memang bagus alasannya tidak ada artinya sebuah horror dengan segi teknis yang bagus tapi tidak menakutkan sama sekali. Saya lebih suka horor yang punya dongeng bodoh, akting jelek, teknis menggelikan tapi bisa menciptakan saya ketakutan.
Tapi tidak semua yang ada dalam film ini buruk. Selain continous shot yang tampil meyakinkan, masih ada satu lagi kelebihan yang menciptakan saya betah menonton film ini, yaitu Elizabeth Olsen. Saat menyebut Olsen sebagai kelebihan film ini, maksud saya ialah dalam semua aspek. Dari segi akting terang Olsen berakting baik. Ketakutannya terasa nyata, ketika ia kaget seolah ia memang kaget, ketika ia menangis takut memang terasa Olsen menyerupai sedang diteror sungguhan, dan ketika memasuki ending ia juga bisa membuatnya terlihat meyakinkan. Kemudian ditinjau dari aspek fisinya, Olsen juga bisa menciptakan saya betah dengan melihat wajah cantiknya dan sebuah "tonjolan" lain yang bisa ikut menonjol disamping aktingnya. Sebuah "tonjolan" yang mencuri perhatian jauh lebih banyak dari dongeng filmya yang membosankan. Yang jelas, berakting dalam film yang punya banyak take panjang ialah tidak mudah, dan Elizabeth Olsen bisa melakukannya dengan baik. Coba ganti Olsen dengan aktris berilmu balig cukup akal amatiran lain ala film-film horror Hollywood, maka Silent House benar-benar menjadi film yang buruk.
Ini Lho Silent House (2011)
4/
5
Oleh
news flash