"Untuk siapa kita hidup?" begitu pertanyaan dalam Siti karya Eddie Cahyono. Pertanyaan tersebut memang kerapkali hadir dan kita mulai bertanya-tanya apakah segala usaha kita selama ini memang demi kebahagiaan serta impian kita atau justru untuk orang lain? Kaprikornus apakah pada kesannya usaha berat itu memang patut untuk terus kita usahakan? Perjuangan itulah yang sekarang sedang dilakukan oleh Siti, seorang perempuan sekaligus ibu dari seorang putera berjulukan Bagas yang masih SD. Siti terpaksa harus menanggung semua beban ekonomi keluarganya sesudah sang suami, Bagus mengalmi kelumpuhan dalam sebuah kecelakaan ketika sedang melaut. Di sebuah rumah kecil bersahabat pantai Parangtritis, Siti hidup bersama suami, anak dan ibu mertuanya. Setiap pagi bersama sang ibu mertua Siti harus berjualan peyek di pantai, meski tentu saja penghasilannya tidak seberapa.
Beban yang harus ditanggung Siti semakin berat sebab hutang sebesar lima juta rupiah melilit keluarganya sesudah sang suami sempat berhutang untuk mendapat sebuah kapal yang pada kesannya justru hilang di tengah laut. Untuk menambah penghasilan Siti juga bekerja sebagai pelayan di sebuah kawasan hiburan karaoke. Disaat Siti berjuang untuk mendapat uang, sang suami justru murka pada keputusan Siti bekerja di kawasan karaoke tersebut dan menentukan untuk tidak berbicara dalam waktu lama. Meski merasa kesal dengan tingkah Bagus, Siti tetap tidak tega untuk sekedar marah, meluapkan kekesalannya pada sang suami. Dia pun menentukan menanggung semua beban itu sendirian. Ujian pun seolah tidak kunjung berhenti ketika kawasan karaoke itu terpaksa tutup sebab digrebek oleh pihak kepolisian. Dalam situasi teramat berat itulah giliran kesetiaan Siti kepada Bagus diuji dengan kehadiran Gatot, polisi muda tampan yang telah usang menyukai Siti.
Saya suka kesederhanaan dan kesan minimalis dalam setiap aspek film ini. Lihat saja sisi teknis berhiaskan visual hitam putih, minim scoring, minim pencahayaan, dan pergerakan kamera sederhana berisi banyak adegan statis ataupun long shot sederhana dengan mengikuti pergerakan tokohnya dari satu kawasan ke kawasan lain. Ceritanya pun sederhana lewat konflik yang tidak lagi baru, menyerupai usaha ibu merawat anak dan menanggung beban ekonomi keluarga sendiri hingga terpaksa melaksanakan pekerjaan yang sering dianggap "tidak bermoral" hingga suatu ujian kesetiaan. Saya suka kesederhanaannya sebab Eddie Cahyono -juga selaku penulis naskah- memanfaatkan semua itu untuk menyebabkan Siti sebagai sebuah suguhan membumi, bersahabat dengan realita. Film ini memperlihatkan banyak kedekatan dengan realita daripada berusaha dramatis atau terlihat indah. Eddie Cahyono lebih menentukan mengemas filmnya dengan kumuh, kotor, tapi bersahabat dengan kenyataan. Interaksi antar-karakter pun bersahabat dengan keseharian kita, meski hebatnya tetap sanggup menghadirkan rangkaian obrolan "renyah" pemancing tawa.
Salah satu adegan favorit saya yaitu obrolan Siti dengan Sri di pinggir pantai yang berujung pada sebuah "latihan marah". Adegan itu begitu hidup, menggelitik, tapi juga begitu bersahabat dengan kehidupan nyata, khususnya diantara mereka orang-orang kalangan menengah kebawah. Wajar saja kalau salah satu quote paling memorable bagi saya dalam film ini yaitu "Asu kowe mas!" Saya selalu suka adegan sunyi berisi pergerakan kamera minim dan suasana tanpa obrolan dimana hanya gestur atau lisan huruf saja yang ditonjolkan. Momen demikian justru seringkali berhasil menangkap emosi dan kondisi seseorang secara jujur serta nyata. Siti pun banyak menghadirkan adegan semacam itu, meski sayang tidak kesemuanya berhasil memaksimalkan kesan tersirat dari perasaan terpendam karakter. Kemudian kalau kembali bicara perihal "realistis", konklusi film ini pun menghadirkan itu. Tidak ada romantisme berlebih atau hal muluk, hanya seorang perempuan yang sudah lelah dengan semuanya, dan keputusannya logis terjadi dalam kenyataan.
Dalam sebuah sesi tanya jawab seusai pemutaran Eddie Cahyono sekilas menuturkan kekagumannya pada Ingmar Bergman, dan memang Siti sedikit banyak memancarkan kekaguman itu: gambar hitam putih, plot bertempo lambat dan sunyi, hingga huruf utama wanita. Memang seksualitas "andalan" Bergman tidak menonjol, tapi ada beberapa momen menyinggung hal tersebut, menyerupai satu insiden di toilet karaoke. Sedangkan untuk huruf lainnya, film ini berhasil menyebabkan mereka semua menjadi sosok "abu-abu" Tidak ada sosok murni jahat, sebab mereka punya alasan besar lengan berkuasa dalam setiap tindakan yang diambil. Mungkin Siti tidak berhasil memaksimalkan adegan-adegan penuh kesunyiannya dengan keindahan berjulukan emosi tersirat, tapi film ini tetaplah sajian memuaskan berhiaskan akting kuat, naskah penuh obrolan ringan tapi mengena, hingga aneka macam aspek sederhana lain yang bersinergi dengan baik menjadi sebuah drama kehidupan perihal insan (bukan hanya wanita) dan pertanyaan perihal eksistensinya.
Ini Lho Siti (2014)
4/
5
Oleh
news flash