Sunday, January 6, 2019

Ini Lho The Theory Of Everything (2014)

Siapa Stephen Hawking? Mayoritas orang bakal menyebut dua jawaban. Pertama, Stephen Hawking ialah seorang ilmuwan yang menderita penyakit langka dan membuatnya lumpuh. Jawaban kedua, Stephen Hawking ialah ilmuwan jenius yang memuja sains sebagai balasan atas segala hal dan membuatnya tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Tentu saja keduanya ialah balasan yang tepat. Tapi selain itu, apakah orang awam termasuk saya tahu sosoknya secara lebih personal? Banyak yang tidak. Diluar kejeniusan, kepercayaan dan penyakitnya, masih banyak orang belum mengenal sisi personal Stephen Hawking, termasuk kehidupan cintanya. Itu yang coba dilakukan James Marsh lewat The Theory of Everything yang merupakan pembiasaan dari memoir berjudul Traveling to Infinity: My Life with Stephen goresan pena Jane Wilde Hawking, mantan istri Stephen Hawking. Dengan image-nya yang identik dengan sains atau bahkan God Complex, terang film ini menjanjikan sudut pandang menarik sebagai perjuangan memanusiakan sang fisikawan.

Kisahnya dimulai pada 1963 dikala Stephen Hawking (Eddie Redmayne) masih mengejar gelar PHD di Cambridge University. Di tengah kesibukannya mempelajari matematika dan fisika untuk menuntaskan tesis, Stephen bertemu dengan Jane Wilde (Felicity Jones) di sebuah pesta. Meski berasal dari dua “dunia” yang berbeda, (Stephen orang sains/Jane orang sastra. Stephen atheis/Jane penganut Katolik yang taat) tidak sulit bagi keduanya untuk saling jatuh cinta. Tapi malang menimpa Stephen dikala ia terjatuh dan mengalami benturan keras di kepala. Dari situlah ia didiagnosa menderita motor neuron disease, sebuah penyakit yang akan menciptakan seluruh otot dalam tubuhnya tidak berfungsi, meski kemampuan otak tidak akan menurun. Dokter sendiri menyatakan bahwa Stephen tidak akan bertahan hidup lebih dari dua tahun. Dari fakta bahwa otaknya akan tetap berfungsi, Stephen terus melanjutkan penelitiannya guna menemukan theory of everything, sebuah teori yang ia percaya sanggup menjelaskan semua aspek di alam semesta. Dia tidak mengalah alasannya ialah disaat yang sama, Jane menyatakan akan tetap setia menemani Stephen dengan segala kondisi fisiknya.

Beberapa pihak mengkritisi film ini alasannya ialah terlalu berfokus pada romansa dan menepikan sosok Stephen Hawking sebagai ilmuwan jenius penuh gagasan luar biasa. Bagi saya itu kurang tepat. Suatu film haruslah mempunyai fokus utama. Sedangkan dalam film dengan unsure biopic menyerupai ini, merupakan hak prerogratif seorang sutradara untuk memilih aspek mana yang akan dieksplorasi dalam hidup subjeknya. Harus selalu ada fokus, alasannya ialah untuk meng-cover segala sisi kehidupan seseorang dalam satu film, mungkin butuh durasi diatas 3 jam, itu pun masih tetap harus dibarengi dengan pemaksimalan setiap aspeknya. Kaprikornus sah-sah saja disaat naskah pembiasaan Anthony McCarten dan sutradara James Marsh lebih banyak berfokus pada kehidupan cinta Stephen Hawking. Jangan lupa bahwa film ini juga diubahsuaikan dari buku Jane Wilde yang lebih banyak bertutur perihal korelasi mereka berdua. Lagipula Marsh dan McCarten tidak sama sekali menepikan sisi Hawking sebagai ilmuwan. Diluar romansa, masih ada quality time yang diberikan untuk menuturkan kejeniusan Hawking menyerupai dikala ia menemukan teori black hole misalnya.
Sebagai sajian romance, film ini terang berhasil menangkap cerita cinta yang menyentuh dari Stephen dan Jane. Dengan menunjukkan bahwa keduanya punya sisi yang amat berbeda tapi tetap bisa menyatu dan bagaimana Jane yang (pada awalnya) bersedia mendapatkan kondisi Stephen sudah berhasil menciptakan saya terikat, peduli pada korelasi keduanya. Karena diangkat dari cerita kasatmata pula romansa yang hadir tetap membumi. Layak disebut cerita cinta yang luar biasa, tapi amat manusiawi.  Kesan membumi terpancar dari bagaimana kerapuhan yang dirasakan Jane (pada khususnya) dikala kesepakatan nikah mereka memasuki masa sulit. Fakta bahwa ada bab dalam dirinya yang “terpukul” alasannya ialah harus merawat Stephen lebih dari dua tahun mengakibatkan cerita cinta ini tidak terlalu “muluk”. Menimbulkan kesan cynical terhadap sebutan “cinta sejati” atau “pengorbanan” dalam cerita romansa indah memang. Baik Jane, Stephen, atau korelasi cinta mereka terang tidak sempurna, tapi film ini bisa meyakinkan bahwa keduanya saling mencintai. Saya pun turut merasa patah hati dikala mereka risikonya berpisah, sebelum sebuah ending yang bittersweet.
Jika ada aspek yang kurang dieksplorasi dalam film ini ialah aspek lain yang melandasi konflik antara Jane dan Stephen. Disini kita hanya melihat bahwa Jane lelah mengurusi sang suami, dan tiba laki-laki lain disaat yang tepat. Tapi gotong royong lebih dari itu. Ada kontradiksi yang terjadi alasannya ialah benturan kepercayaan mereka berdua. Jane dengan agama yang cukup berpengaruh sering terganggu dengan ketidak percayaan Stephen akan Tuhan yang menurutnya sering menciptakan sang suami merasa menyerupai Tuhan itu sendiri. Tapi dihilangkan/diminimalisirnya kehadiran konflik itu bisa saya maklumi alasannya ialah The Theory of Everyhting intinya coba bertutur bahwa kekuatan cinta tidak terhalang kepercayaan. Cerita dan naskah yang cukup berpengaruh sampai penyutradaran cermat memang beberapa kelebihan film ini, tapi tidak bisa dipungkiri kekuatan terbesar ada pada kualitas akting pemainnya.

Eddie Redmayne dan Felicity Jones masing-masing menerima nominasi Oscar untuk Best Actor dan Best Actress lewat akting mereka. Redmayne sebagai Stephen sebelum menderita penyakit bisa menghadirkan gesture, tatapan mata dan gestur yang ada diantara canggungnya seorang “kutu buku”  dan kesan charming seorang laki-laki jenius yang tengah jatuh cinta. Mengesankan, tapi tidak ada yang melebihi performanya sebagai Stephen pasca motor neuron disease. Aktingnya berpotensi jatuh menjadi hanya sekedar modeling dangkal, tapi Redmayne masuk lebih dalam. Gestur, ekspresi dan cara bicaranya sebagai Stephen yang lumpuh bukan sekedar “tiruan” tapi definisi tepat dari “menjadi”. Dengan akting luar biasa itu, cukup mengejutkan juga dikala Felicity Jones tidak pernah “tenggelam”. Mungkin tidak berada pada tingkatan yang sama dengan Redmayne, tapi apa yang dihadirkan Jones tetap memikat. Matanya sudah menawarkan citra lengkap perihal tiap-tiap fase kehidupan dan rasa yang tengah ia alami.

Pendekatan yang cenderung kearah romansa daripada kerumitan teori fisika menciptakan The Theory of Everyhting lebih ringan dan gampang dinikmati, meski untuk menjadi salah satu nominator Best Picture yang "mengalahkan" Gone Girl jelas film ini kurang pantas. Tapi bukan berarti filmnya dangkal, alasannya ialah cerita romansanya sanggup hadir dengan berpengaruh dan menghadirkan beberapa momen menyentuh yang cukup mengharukan. Saya selalu suka sebuah ending dengan recollection of memory, alasannya ialah mengenang banyak sekali kenangan indah di masa kemudian selalu menyentuh perasaan, dan film ini menawarkan itu. Mungkin kita tidak akan pernah bisa mengerti semua hal dalam hidup ini, tapi untuk mendekati pemahaman itu tidak ada salahnya menengok sejenak ke masa kemudian disaat semuanya berawal. Dari situ mungkin kita bisa lebih memahami segalanya. Menonton film ini terbersit pertanyaan mendasar, “mungkinkah theory of everyting yang terus dicari oleh Stephen Hawking sejatinya ialah cinta itu sendiri?”

Artikel Terkait

Ini Lho The Theory Of Everything (2014)
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email